Komodo di Parlemen: Ada Harapan?

Sunspirit 2021 Polemik model pembangunan di Taman Nasional Komodo antara Pemerintah yang menginginkan investasi berbasis korporasi vs warga Kepulauan Flores yang mempertahankan konservasi dan pariwisata berbasis komunitas telah menarik perhatian DPR-RI. Selain melakukan kunjungan kerja ke Labuan Bajo pada 28 November 2020, sebuah Rapat Dengar Pendapat (RDP) diadakan Komisi IV DPR RI pada 23 November 2020. Selain itu polemik Taman Nasional Komodo juga sudah banyak dibicarakan di berbagai pertemuan DPR yang lain.

Seperti apa konservasi dibicarakan dalam hubungannya dengan ekonomi pariwisata serta penghidupan masyarakat di TN Komodo? Adakah harapan bahwa proses-proses politik di DPR ini akan berpihak pada konservasi serta ekonomi pariwisata berkelanjutan di Taman Nasional Komodo?

Pada Kamis, 4 Februari 2021 Zoom in on Flores mengadakan diskusi bertajuk “Komodo di Parlemen: Ada Harapan?”, untuk  membedah seperti apa polemik Taman Nasional Komodo dibicarakan di parlemen. Yang hadir sebagai pemantik dalam diskusi ini adalah Akbar Al Ayubbi, tokoh muda kampung Komodo sekaligus sebagai peserta aktif RDP dan Ignasius J. Juru, peneliti pada PolGov (Politics and Government) Fisipol UGM, Yogyakarta.

Baca Juga: Utak-Atik Zonasi untuk Investasi di Taman Nasional Komodo

Akbar membuka diskusi ini dengan kilas balik cerita tentang warga Kampung Komodo atau yang lebih dikenal sebagai ata modo sebagai masyarakat adat yang mewarisi tanah Komodo yang atas nama konservasi mengalami peminggiran di atas tanah leluhurnya sendiri. Sebelum Taman Nasional Komodo terbentuk yang diawali dengan pembetukan Cagar Alam pada akhir 1960an, ata modo sudah lama mendiamai Pulau Komodo dengan hidup secara terpencar-pencar di Pulau itu. Antropolog Verheizen bahkan mencatat bahwa ata modo mendiami Pulau itu sejak 2000an tahun lalu. Mereka juga adalah masyarakat yang hidup dengan bertani dan berburuh, identitas yang membedakan mereka dengan masyarakat adat Suku Bajo yang menghuni Pulau-Pulau terdekat (Rinca, Papagarang dan Mesa).  Ata Modo juga mewarisi sebuah legenda tentang kedekatan dengan binatang Komodo yang hingga sekarang menjadi bagian penting dari kosmologi mereka sebagai masyarakat adat.

Namun semua itu serentak berubah sejak Taman Nasional Komodo mulai terbentuk pada akhir tahun 1960an. Tanah-tanah mereka dirampas, dan mereka yang mulanya secara terpencar-pencar mendiami Pulau itu secara paksa dipindahkan di satu tempat yang sekarang dikenal sebagai Kampung Komodo, di bawah pengawasan ketat otoritas Taman Nasional Komodo.

Baca Juga: Pernyataan Sikap Garda Pemuda Komodo

Di tengah situasi itu untuk tetap dapat bertahan hidup, ata modo bergeser mata pencaharian menjadi nelayan dengan belajar pada suku Bajo dan Bima. Akan tetapi, atas nama konservasi, situasi lagi-lagi tidak berpihak pada ata modo. Perluasan wilayah konservasi di Taman Nasional Komodo ke wilayah laut (marine area) pada tahun 1990an, yang juga diperketat oleh aturan zonasi, semakin mempersempit ruang tangkapan ikan dari warga setempat. Sejak era 2000an masyarakat Komodo pun teribat dalam industri pariwisata dengan terlibat dalam usaha wisata komunitas dengan menjual souvenir dan menjadi pengrajin patung, jasa homestay, kuliner, serta menjadi bagian penting dari penjaga konservasi di dalam kawasan Taman Nasional Komodo.

Atas semua peristiwa yang hingga kini menyisakan trauma mendalam atas diri ata modo, mewakili masyarakat Komodo, Akbar pun mengeritik keras konsep pariwisata super-premium yang sangat tidak konsisten berpihak pada konservasi serta pengembangan wisata komunitas yang berbasis konservasi. Menurut Akbar, ini jelas sesuatu yang tidak adil, sebab pemerintah memberlakukan standar ganda terkait konservasi. Masyarakat disingkirkan atas nama konservasi, sementara dengan desain pariwisata super premium, Pemerintah jelas sedang memperlihatkkan sebuah bencana untuk konservasi.

Sementara itu pada bagian kedua, Ignasius Juru menyampaikan tiga point kritis terkait seperti apa polemik Taman Nasional Komodo dibicarakan di Parlemen.

Pertama, sebagai sebuah proses politik RDP itu sendiri merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari gerakan di level civil society sebagai bentuk nyata kontrol popular atas urusan publik. Ini juga bentuk sikap responsif dari parlemen untuk memposisikan polemik Taman Nasional Komodo sebagai masalah publik. Sebab itu, menurut Igansius RDP ini merupakan momen penting untuk bagaimana merumuskan kepentingan publik.

Baca Juga: Pariwisata Super Premium dan Penguasaan Sumber Daya di Flores

Kedua, kendati demikian, seperti urusan publik terkait Taman Nasional Komodo dirumuskan dalam RDP Parlemen ini menjadi hal penting untuk dikritisi. Menurut Ignasius keseluruhan proses RDP di Parlemen memperlihatkan dengan jelas bagaimana pengetahuan tentang lingkungan hidup dan pariwisata berbasis investasi begitu dominan diproduksi sebagai kekuatan yang mengeksklusi persoalan lain yang lebih popular tekait dengan hak-hak dasar warga (pembangunan, pelayanan kesehatan) dan akses terhadap pembangunan pariwisata yang adil.

Dalam RDP itu, perwakilan Universitas (UGM, UI, IPB) dan dari lembaga-lembaga penelitian (LIPI dan Komodo Survival Program), merasa diri paling berwewenang untuk membicarakan tentang pengetahuan konservasi di dalam kawasan Taman Nasional Komodo. Karena itu pengetahuan-pengetahuan biologi seperti ekosistem, rantai makanan, keliaran satwa Komodo menjadi hal yang jauh lebih penting dibicarakan ketimbang hal-hal yang lain yang lebih popular. Menurut Ignasius, di tangan para ahli inilah, polemik Taman Nasional Komodo direduksi sebagai masalah teknis, masalah sains.

Sementara  perwakilan Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo menggambarkan betapa pentingnya pariwisata NTT yang berbasis investasi sebagai motor penggerak utama kemajuan. Menariknya meski warga disertakan dalam pembangunan pariwisata model ini, namun itu tak lebih dari bagian dari skrup kecil yang hanya siap memperkuat pariwisata yang berbasis korporasi. Konsep pembangunan pariwisata seperti ini, perlu dikritisi, mengingat secara kultural basis utama ekonomi masyarakat Flores adalah petani dan nelayan.

Baca Juga: Pariwisata Super Premium Komodo: Seperti Apa Dampaknya bagi Warga dan Pelaku Wisata? 

Sedangkan perwakilan masyarakat sipil yang diwakili oleh Sunspirit for Justice and Peace dan masyarakat Komodo mengutarakan sebuah persoalan yang jauh lebih popular yaitu terkait dengan bagaimana pembangunan pariwisata di dalam kawasan Taman Nasional Komodo harus tetap mengedepankan konservasi. Karena itu pemerintah sebenarnya harus lebih mendorong pengembangan pariwisata komunitas berbasis konservasi. Pemerintah juga didorong untuk mengutamakan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat dalam kawasan Taman Nasional Komodo.

Pada bagian akhir presentasinya Ignasius menyampaikan semacam ada optimisme atau harapan dari anggota DPR ketika terus menekankan tentang adat, budaya, keadilan ekonomi serta kelestarian lingkungan sebagai panduan penting pembangunan dalam kawasan Taman Nasional Komodo.

Sementara itu, para peserta diskusi yang lain terus menekankan pentingnya pembangunan pairwisata yang berkelanjutan di dalam kawasan Taman Nasional Komodo. Selain itu, proses di Parlemen ini harus terus dikawal untuk kemudian bisa berujung pada sebuah kebijakan yang mampu menghubungkan antara konservasi, pariwista serta kesejahteraan komunitas setempat.

Litbang Penelitian Sunspirit 

Publikasi Lainnya