Sunday, February 28, 2021
  • ABOUT US
  • RESEARCH
    • Research in Progress
    • Working Paper
    • Journal Articles
    • Flores Studies
    • Books
  • JARINGAN KERJA RAKYAT
    • Taman Nasional Komodo
    • Advokasi Lawan Privatisasi Pantai Pede
    • Geothermal Wae Sano
    • Flores Lawan Oligarki
    • Gerakan Alternatif
  • PUBLIKASI
    • Press Release
    • News
    • Catatan Peduli
    • Gallery
    • INFOGRAFIK
  • PERTANIAN ORGANIK
No Result
View All Result
Sunspirit
No Result
View All Result
Home PUBLIKASI Catatan Peduli

Utak-Atik Zonasi untuk Investasi di Taman Nasional Komodo

February 5, 2021
in Catatan Peduli, Taman Nasional Komodo
0
Share on FacebookShare on TwitterEmailLine

Sunspirit 2021 – Tanggapan pemerintah yang selalu saja berdalih pada zona pemanfaatan untuk membiarkan pembangunan infrastruktrur dalam rangka mendukung investasi di Taman Nasional Komodo, lantas tak diamini begitu saja oleh publik atas nama sebuah pembangunan yang sesuai prosedur regulasi.

Pasalnya, selain karena pertimbangan dasar soal dampak buruk investasi bagi ruang hidup alami satwa Komodo, bukti-bukti juga secara jelas menunjukkan bahwa beberapa kali perubahan zonasi di Taman Nasional Komodo itu dilakukan demi memuluskan kepentingan investasi.

Terkait ini, studi-studi pasca pembangunan telah lama mengingatkan bahwa regulasi merupakan salah satu kekuatan yang mengeksklusi (power of exclusion), sebab seringkali didesain dalam rangka untuk mempercepat proses alih kepemilikan dan akses atas sumber daya tertentu ke tangan segelintir orang untuk tujuan akumulasi (Hall, Hirsch &  Li, 2011).

Paling kurang dalam tiga tahun terakhir, regulasi zona pemanfaatan selalu saja menjadi tameng Pemerintah untuk tutup mata dan telinga atas gelombang perlawanan rakyat terhadap invasi investasi perusahaan swasta di dalam kawasan Taman Nasional Komodo.

Pemerintah kerap beralasan bahwa investasi perusahaan-perusahaan swasta tersebut telah sesuai prosedur regulasi yakni Permen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) No. 36 No. 2010 yang mengizinkan setiap badan usaha atau koperasi untuk melakukan bisnis pariwisata alam dengan memanfaatkan zona pemanfaatan di dalam sebuah kawasan Taman Nasional.

Terhadap gelombang penolakan publik atas pembangunan rest area oleh PT Sagara Komodo Lestari (SKL) di Pulau Rinca dan PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) di Pulau Padar dan Komodo pada tahun 2018, Dirjen KSDAE Wiratno selalu saja beralasan bahwa pembangunan sarana penginapan dan restoran itu telah sesuai prosedur konservasi, sebab dilakukan di atas zona pemanfaatan.

Seperti Dirjen, David Makes, pemilik PT Sagara Komodo Lestari yang juga menjabat sebagai Ketua Tim Percepatan Ekowisata Nasional Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif juga mengklaim bahwa izin penyediaan sarana wisata alam oleh perusahaan miliknya telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang sah.

Tak hanya terhadap perusahaan-perusahaan swasta, regulasi zona pemanfaatan juga kerap menjadi senjata utama Pemerintah untuk mati-matian membela pembangunan Jurrasic Park oleh APBN di Pulau Rinca, kendati situasi di lapangan secara jelas menunjukkan bahwa pembangunan itu sangat berdampak buruk bagi lingkungan setempat.

Dirjen Wiratno berkali-kali mengatakan bahwa pengembangan wisata alam itu sangat dibatasi hanya pada zona pemanfaatan.[3] Senada dengan itu, Direktur Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo-Flores, Shana Fatina juga mengklaim  bahwa pembangunan Jurassic Park di Pulau Rinca sudah sesuai aturan karena dilakukan di kawasan khusus yaitu zona pemanfaatan yang tidak mengganggu ekosistem.

Utak-Atik Zonasi

Menariknya hingga kini publik memilih untuk tidak mempedulikan alasan regulasi di balik pembangunan-pembangunan yang membahayakan konservasi di dalam kawasan Taman Nasional Komodo. Selain karena alasan mendasar soal dampak buruk pembangunan terhadap keberlangsungan ekosistem alami di Taman Nasional Komodo, publik juga sudah sejak awal mendeteksi bahwa utak-atik zonasi di dalam kawasan Taman Nasional Komodo sering kali dilakukan demi memuluskan kepentingan investasi pada satu sisi dan mempersempit ruang ekonomi komunitas pada sisi yang lain.

Protes publik terhadap aturan zonasi di dalam kawasan Taman Nasional Komodo sebenarnya sudah dimulai sejak The Nature Conservancy (TNC) mulai terlibat dalam menajemen pengelolaan TNK pada tahun 1995. Kendati atas nama konservasi, publik menilai bahwa keterlibatan organisasi global yang banyak terlibat dalam bisnis konservasi ini dalam mengatur zonasi di dalam Taman Nasional Komodo justeru  semakin membuka peluang privatisasi aset Taman Nasional Komodo untuk tujuan investasi pariwisata. Resistensi publik terus muncul hingga organsasi ini bubar tanpa pertanggungjawaban yang jelas pada tahun 2011.

Sementara itu gelombang protes publik dalam tiga tahun belakangan ini mengeritik keras kebijakan pemerintah yang mengutak-atik zonasi di Pulau Padar dan Pulau Tatawa demi memuluskan investasi sejumlah perusahaan swastas. Sebelum 2012, diketahui bahwa Pulau Padar hanya terdiri dari zona inti dan zona rimba. Perubahan lantas terjadi pada tahun pada tahun 2012 ketika pihak KLHK melalui SK No. SK.21/IV-SET/2012 tentang zonasi TN Komodo mengkonversi 303,9 hektar lahan di Pulau itu menjadi zona pemanfaatan wisata darat.

Lalu, berdasarkan desain tapak, zona pemanfaatan ini dibagi  menjadi 275 hektar untuk ruang usaha dan 28,9 hektar untuk ruang wisata publik. Persis setelah desain tapak ini dibuat, pada tanggal 23 September 2014, PT Komodo Wildlife Ecotourism mengantongi konsensi di atas lahan seluas 274,13 hektar.

Kasus Pulau Tatawa menjadi lebih menarik lagi, ketika zona di pulau itu berkali-kali diutak-atik untuk memuluskan investasi PT Synergindo Niagatama. Pada tahun 2001, melalui perubahan peta zonasi Kawasan Taman Nasional Komodo, Pulau Tatawa tercatat sebagai Zona Rimba. Perubahan terjadi ketika setetelah tahun 2012, pihak KLHK melalui SK No. SK.21/IV-SET/2012 tentang zonasi TN Komodo mengkonversi 20,944 hektar lahan di Pulau itu menjadi zona pemanfaatan wisata darat. Berdasarkan desain tapak, zona pemanfaatan ini dibagi menjadi 14,454 untuk ruang publik dan 6,490 untuk ruang usaha.

Setelah itu pada tahun 2014, PT Synergindo Niagatama mendapat konsensi di atas lahan seluas 6,490 hektar. Tak lama setelah itu, pada tahun 2018, melalui Keputusan Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi No: SK. 38/PJLHK/PJLWA/KSA.3/7/2018 mengubah desain tapak di Pulau Tatawa menjadi 3,447 ruang publik dan 17,497 ruang usaha. Persis setelah perubahan ini terjadi pada tanggal 24 April 2020, KLHK menerbitkan ulang izin usaha PT Synergindo Niagatama di atas lahan seluas 15,32 hektar.

Utak-atik zonasi di dalam kawasan Taman Nasional Komodo untuk tujuaan investasi tampaknya akan lebih masif lagi dalam beberapa tahun ke depan. Ini dipicu oleh penetapan Labuan Bajo dan sekitarnya sebagai apa yang disebut dengan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN).

Melalui kebijakan ini Taman Nasional Komodo ditetapkan sebagai episentrum investasi pariwisata super-premium. Dan seperti pengalaman sebelumnya, Pemerintah pasti akan selalu diadili akal sehat publik atas alasan klisenya untuk membenarkan semua pembangunan yang membahayakan konservasi dan pariwisata berkelanjutan di dalam kawasan Taman Nasional Komodo atas nama regulasi.

Litbang Penelitian Sunspirit

 

Tags: Floreslabuan bajoManggarai BaratNTTSunspiritTaman Nasional Komodo

ArtikelLain

Mencermati Status Legal Tanah Kerangan

February 22, 2021

Sengketa tanah Kerangan kini tengah ditangani pihak Kejati Nusa Tenggara Timur. Sejauh ini pihak Kejati NTT telah menetapkan 20 tersangka...

Komodo di Parlemen: Ada Harapan?

February 6, 2021

Sunspirit 2021 - Polemik model pembangunan di Taman Nasional Komodo antara Pemerintah yang menginginkan investasi berbasis korporasi vs warga Kepulauan...

Prahara Keranga: Refleksi Kasus Tanah di Labuan Bajo-Flores

January 23, 2021

SUNSPIRIT_2021 - Forum diskusi virtual Zoom in Flores mengadakan diskusi bertajuk “Prahara Kerangan: Refleksi Kasus Tanah di Labuan Bajo-Flores” pada...

Komodo Vs Pembangunanisme Kolonial

January 6, 2021

Foto seekor Ora atau Sebae—nama asli untuk Varanus komodoensis— berhadap-hadapan dengan sebuah dumptruck di Pulau Rinca telah menjadi salah satu...

Next Post

Komodo di Parlemen: Ada Harapan?

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

SUNSPIRIT for justice and peace is a civil society organization working in the area of social justice and peace in Indonesia.

KONTAK KAMI:

BAKU PEDULI CENTER: Jl. Trans Flores Km. 10, Watu Langkas, Desa Nggorang, Labuan Bajo, Manggarai Barat, Flores, NTT

EMAIL: sunspiritindonesia@gmail.com

© 2019 Sunspirit for Justice and Peace

No Result
View All Result
  • ABOUT US
  • RESEARCH
    • Research in Progress
    • Working Paper
    • Journal Articles
    • Flores Studies
    • Books
  • JARINGAN KERJA RAKYAT
    • Taman Nasional Komodo
    • Advokasi Lawan Privatisasi Pantai Pede
    • Geothermal Wae Sano
    • Flores Lawan Oligarki
    • Gerakan Alternatif
  • PUBLIKASI
    • Press Release
    • News
    • Catatan Peduli
    • Gallery
    • INFOGRAFIK
  • PERTANIAN ORGANIK