Sunspirit – Pembangunan infrastruktur dan pengembangan bisnis wisata di Taman Nasional Komodo, baik oleh negara maupun perusahaan swasta, tidak begitu saja dibenarkan, walau diklaim telah sesuai dengan regulasi. Sebab dalam banyak hal, regulasi dapat saja dirancang untuk memuluskan kepentingan akumulasi segelintir orang yang mengabaikan keberlanjutan konservasi dan ekonomi komunitas.
Untuk mencermati hal ini, forum virtual Zoom in on Flores, edisi Kamis, 25 Februari 2021, membahas tentang bagaimana regulasi-regulasi terkait Taman Nasional Komodo diproduksi untuk makin berpihak pada investasi yang mengancam keberlanjutan konservasi dan ekonomi komunitas. Diskusi yang diikuti oleh kurang lebih 30 peserta ini menghadirkan dua orang narasumber. Ada Antonius Aditantyo Nugroho, peneliti pada Indonesian Center for Environment Law (ICEL)-Jakarta. Ia banyak meneliti tentang genealogi regulasi yang menjadi payung bagi pembangunan infrastruktur investasi wisata alam di Taman Nasional Komodo. Narasumber kedua adalah Andreas Budi Widyanta, dosen sosiologi di Universitas Gadjah Mada-Yogyakarta. Ia banyak melakukan riset terkait isu-isu lingkungan dari perspektif sosiologi.
Dalam pemaparannya, Antonius mengutarakan beberapa point kontroversi yang memperlihatkan keberpihakan regulasi terhadap pembangunan infrastruktur untuk mendukung investasi bisnis wisata alam di Taman Nasional Komodo. Menurut Anton, ada semacam relaksasi regulasi untuk mempercepat seluruh proses pengurusan pembangunan yang ada. Hal ini tentu membawa konsekuensi yang sangat buruk bagi keberlanjutan konservasi.
Pertama, masifnya pembangunan infrastruktur di Taman Nasional Komodo hari ini, baik yang diinisiasi oleh negara seperti pembangunan Sarpras (Jurassic Park) di Pulau Rinca maupun oleh pembangunan resort oleh perusahaan-perusahaan swasta (Pulau Rinca, Komodo, Padar dan Tatawa), sangat tidak terlepas dari disahkannya sejumlah produk regulasi dalam sepuluh tahun terakhir. Dari telusur kronologi, tampak sekali terlihat bahwa regulasi-regulasi tersebut didesain dalam rangka mengubah status Taman Nasional Komodo dari kawasan konservasi menjadi kawasan investasi pariwisata.
BACA: Komodo di Parlemen: Ada Harapan?
Meski telah dimulai sejak lama, keran investasi di dalam kawasan Taman Nasional Komodo tampak makin intensif dibuka ketika pada tahun 2008 Pemerintah menerbitkan PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Melalui PP ini selain sebagai Kawasan Lindung Nasional, Taman Nasional Komodo juga mulai ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional. Tak lama setelah itu, pada tahun 2011, Pemerintah menerbitkan lagi PP No. 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010 – 2025. Dalam PP ini, Taman Nasional Komodo tercatat sebagai salah satu dari 88 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN).
Melalui kedua regulasi ini, status Taman Nasional Komodo sebagai kawasan konservasi pelan-pelan terancam oleh investasi dalam sektor pariwisata. Buktinya pun jelas, bersamaan dengan dikeluarkannya dua regulasi ini, pada tahun 2010 pemerintah mengeluarkan dua regulasi khusus yang menjadi awal dari babak baru investasi dalam Kawasan Taman Nasional Komodo. Pada tahun 2010 Pemerintah mengeluarkan PP Nomor 36 tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam. Selanjutnya PP ini diturunkan ke dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.48/Menhut-II/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam. Kedua produk regulasi ini menawarkan model investasi baru bagi pihak swasta melalui Ijin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) yang terdiri dari Izin Pengusahaan Sarana Pariwisata Alam (IUPSWA) dan Izin Pengusahaan Jasa Wisata Alam (IUPJWA).
Menariknya, penerbitan kedua produk regulasi ini langsung diikuti dengan perubahan zonasi di Taman Nasional Komodo. Pada tahun 2012, KLHK mengeluarkan sebuah SK Dirjen PHKA No. SK.21/IV-SET/2012 untuk menambah zona pemanfaatan wisata daratan di Pulau Padar dan Tatawa. Persis setelah perubahan zonasi ini, KLHK menerbitkan dua izin perusahaan swasta yaitu PT Sagara Komodo Lestari di Pulau Rinca dan PT Komodo Wildlife Ecotourism di Pulau Padar dan Komodo pada tahun 2014.
Investasi di kawasan Taman Nasional Komodo makin digenjot seiring dengan penetapan Labuan Bajo sebagai salah satu dari 10 kawasan KSPN prioritas melalui Perpres No. 3 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Dalam rangka mempercepat laju investasi di Taman Nasional Komodo dan sekitarnya, Pemerintah juga telah membentuk Badan Otorita Pariwisata (BOP) Labuan Bajo – Flores melalui Perpres No. 32 Tahun 2018. Bersamaan dengan itu pula, pada tahun 2019 Pemerintah telah menyiapkan sebuah Raperpres tentang Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Kawasan Taman Nasional Komodo yang semakin menargetkan kawasan konservasi ini sebagai area investasi wisata super premium.
Kedua, keberpihakan regulasi pada investasi juga terlihat dari pengecualian dari kewajiban Amdal atas pembangunan infrastruktur di dalam Kawasan Taman Nasional Komodo. Terkait pembangunan Sarpras di Pulau Rinca misalnya, KLHK melalui sebuah dokumen yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem No S.576/KSDAE/KKJKSA.1/7/2020 dengan merujuk pada Permen LHK No. 36/Menlhk/Setjen/Kum.1/7/2019 menegaskan bahwa pembangunan tersebut dikecualikan dari kewajiban Amdal. Pengecualian yang sama juga berlaku untuk pembangunan resort oleh perusahaan-perusahaan swasta. Melalui keputusan kontroversi ini, pemerintah tampak ingin mempercepat seluruh proses pengurusan pembangunan di dalam kawasan Taman Nasional Komodo.
BACA: Utak-Atik Zonasi untuk Investasi di Taman Nasional Komodo
Ketiga, pengarusutamaan investasi di Taman Nasional Komodo juga tampak jelas dari perubahan regulasi yang membuat negara tampak sangat lunak untuk menjatuhkan sanksi bagi perusahaan-perusahaan swasta yang berinvestasi di dalam Taman Nasional. Dalam konteks Taman Nasional Komodo misalnya, jika berdasarkan Peraturan Pemerintah PP No.36/2010 mengatur seharusnya pemerintah sudah mencabut izin PT SKL dan PT KWE sebab telah melebihi batas waktu untuk segera merealisasikan proyek pembangunan. Namun dalam peraturan turunan Permenhut No.P.48/2010 sanksi ini diperlemah dengan hanya mewajibkan pihak perusahaan untuk memberi tanggapan atas peringatan yang diberikan oleh Pemerintah. Itulah yang menyebabkan kedua perusahaan ini masih bisa bertahan hingga sekarang ini, meski telah berkali-kali mendapat penolakan keras dari warga Flores dan publik internasional.
Keempat, dalam Raperpres tentang Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Kawasan Taman Nasional Komodo, tampak sekali pemerintah mengabaikan prinsip-prinsip dasar konservasi sebagai pertimbangan utama dari setiap pembangunan dalam kawasan Taman Nasional. Hal itu antara lain tampak jelas dari peraturan perundang-undangan yang dicantumkan pada bagian pertimbangan (konsiderans) pada draft Raperpres tersebut. Dalam Raperpres ini peraturan perundang-undangan yang dijadikan sebagai pertimbangan adalah UU No. 32/2014 tentang kelautan. Semestinya, mengingat keberadaan Taman Nasional Komodo sebagai kawasan konservasi, Raperpres ini mesti lebih banyak merujuk pada peraturan perundang-undangan terkait konservasi. Satu di antaranya yang paling utama adalah UU No. 5/1990 tentang kawasan Taman Nasional Komodo sebagai Kawasan Pelestarian Alam.
Selanjutnya kepingan-kepingan cerita soal keberpihakan regulasi pada investasi di Taman Nasional Komodo, dipertegas oleh Andreas Budy Widyanta sebagai konsekuensi dari ideologi neoliberal yang menjadi pandu pembangunan di Indonesia sejak era reformasi. Dalam watak pembangunan neoliberal, regulasi-regulasi dirancang untuk makin membuka ruang bagi negara untuk semakin berkolaborasi dengan pihak swasta untuk mengutamakan pertumbuhan ekonomi melalui laju investasi.
Pembangunan di kawasan Taman Nasional Komodo misalnya, sangat tidak terlepas dari master plan MP3EI yang mulai diterapkan di Indonesia pada masa pemerintahan SBY. Melalui desain ini, Taman Nasional Komodo dan sekitarnya ditargetkan sebagai kawasan untuk mendukung investasi pada sektor pariwisata.
Kondisi ini kemudian diperburuk dengan disahkannya UU Omnibus Law. Melalui Undang-Undang yang mendapat penolakan keras oleh publik Indonesia ini, Pemerintah menargetkan sektor perkebunan dan Kehutanan, Ekstraktif, Pariwisata dan IT sebagai target baru investasi. Di era Omnibus Law ini, pengrusakan lingkungan serta peminggiran ekonomi komunitas akan jauh lebih masif lagi terjadi.
Lantas, berhadapan dengan situasi buruk seperti ini, peserta diskusi yang lain mencoba merumuskan beberapa strategi advokasi, secara khusus terkait dengan persoalan di Taman Nasional Komodo.
Pertama, pentingnya berjuang melaluim pengetahuan dengan cara terus memproduksi wacana sebagai counter discourse atas versi pembangunan neoliberal.
Kedua, sebagai warga kita perlu menuntut keterbukaan informasi dari pemerintah terkait dengan pembangunan-pembangunan dalam kawasan Taman Nasional Komodo.
Ketiga, mendesak pemerintah untuk mendorong keterlibatan warga dalam mengkawal proses-proses pembuatan regulasi terkait pembangunan di dalam kawasan Taman Nasional Komodo.
Sunspirit 2021