Pariwisata Super Premium Komodo: Seperti Apa Dampaknya bagi Warga dan Pelaku Wisata?  

Sunspirit – Divisi Riset dan Advokasi Sunspirit kembali menyelenggarakan diskusi Zoom in on Flores edisi kedua pada Kamis 28 Januari 2021. Diskusi dengan tema “Pariwisata Superpremium Komodo: Seperti Apa Dampaknya bagi Warga dan Para Pelaku Wisata?” itu berlangsung selama kurang lebih tiga jam ini dihadiri oleh 30an peserta dari berbagai unsur seperti warga Komodo, pelaku wisata, organisasi-organisasi konservasi, peneliti dan dosen.

Hadir sebagai pemantik dalam diskusi ini adalah Bidong M. Said, warga Komodo sekaligus sebagai pelaku usaha souvenir di Loh Liang dan Rikar Bon, seorang pelaku wisata di Labuan Bajo.

Diskusi ini merupakan respon atas rencana Pemerintah untuk menjadikan Pulau Komodo sebagai destinasi wisata eksklusif kelas dunia. Sebagaimana yang telah diketahui, sebagai bagian dari pengembangan Taman Nasional Komodo dan sekitarnya sebagai apa yang disebut dengan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), Pemerintah mengelola Pulau Komodo secara eksklusif.

Penataan eksklusif ini akan melibatkkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi NTT. Tiket masuk ke Pulau itu juga akan dipatok 1000 USD by membership yang menargetkan turis dari kalangan berduit.

Sebagai bagian dari penataan ini, ada juga rencana kontroversi lain yang hingga kini tengah menjadi polemik. Para pelaku usaha souvenir di Loh Liang rencananya akan dipindahkan ke Pulau Rinca, sementara perusahaan-perusahaan swasta akan dibawa masuk untuk mengelola wisata di Pulau Komodo.

Sejauh ini Pemerintah telah memberi izin kepada PT Komodo Wildlife Ecoutourism (PT KWE) untuk membangun resort-resort eksklusif di area Loh Liang, di atas lahan seluas 151,94 hektar. Ada juga PT Flobamora (BUMD Provinsi NTT) yang tengah dalam proses mengurus perizinan untuk mengelola wisata di Pulau Komodo.

Baca: Prahara Keranga: Refleksi Kasus Tanah di Labuan Bajo-Flores

Dalam pengantar, Bidong, mewakili para pelaku souvenir Loh Liang, pertama-tama menyatakan kegelisahannya akan kesimpangasiuran rencana pemindahan souvenir Loh Liang ke Pulau Rinca. Soalnya menurut Bidong, dalam kunjungannya ke Pulau Komodo pada akhir 2020, Dirjen KLHK Wiratno dan anggota DPR RI Komisi IV, mengatakan bahwa UMKM souvenir tidak dipindahkan, yang ada hanya penataan.

Sementara itu, lanjut Bidong, tidak lama sebelum itu, Kepala Humas Provinsi NTT, Marianus Jelamu, justeru mengatakan bahwa sebagai bagian dari penataan eksklusif Pulau Komodo UMKM di Loh Liang akan dipindahkan ke Pulau Rinca yang kini sedang ditata.

Namun meski rencana ini masih kabur, Bidong sangat mengkhawatirkan keberlanjutan usaha wisata orang-orang Komodo, jika Pemerintah benar-benar mematok tiket sebesar 1000 USD ke Pulau itu. Sebab menurutnya, kebijakan ini tentu membuat kunjungan ke Pulau Komodo akan sangat terbatas.

Ini jelas akan sangat berdampak buruk bagi para pelaku usaha souvenir di Loh Liang, para pengrajin patung di Kampung Komodo, Jasa Homestay, Kuliner dan warung-warung yang selama ini sangat bergantung pada sektor pariwisata, lanjut Bidong.

Baca: Mencermati Praktik Ekoturisme Masyarakat Pulau Komodo

Pada bagian lain, Rikar, mewakili para pelaku wisata di Labuan Bajo juga mengutarakan beberapa point penting terkait dampak negatif dari kebijakan ini terhadap para pelaku wisata di Labuan Bajo.

Pertama, kebijakan ini berpontensi besar membawa dampak buruk bagi branding pariwisata Labuan Bajo yang selama ini sangat mengandalkan alam Taman Nasional Komodo sebagai produk utama. Daya tarik utama wisata Flores adalah alam Taman Nasional Komodo.

Bukti yang tak terbantahkan adalah grafik kunjungan ke Taman Nasional Komodo yang terus meningkat dalam bebrapa tahun terakhir. Dalam kaitannya dengan itu, Pulau Komodo dan Pulau Padar yang akan dikelola secara eksklusif merupakan dua destinasi favorit ke  dalam Taman Nasional Komodo. Dengan demikian, pembatasan kunjungan ke dua Pulau itu jelas akan berdampak buruk bagi branding destinasi wisata Labuan Bajo dan Flores-NTT secara umum.

Kedua, tiket 1000 USD yang berdampak pada kunjungan yang terbatas, jelas akan mematikan aliran penghasilan bagi para pelaku wisata di Labuan Bajo. Kebijkan ini akan mematikan aliran penghasilan dalam market linkage pariwisata Labuan Bajo antara berbagai elemen pelaku wisata seperti jasa perjalanan wisata, pemandu wisata, kapal wisata, angkutan wisata darat, jasa akomodasi, warung-warung dan sebagainya. Sementara itu pada sisi yang lain, pendapatan pariwisata akan dikuasai oleh para pemodal yang sudah mengantongi izin untuk berinvestasi di dalam kawasan Taman Nasional Komodo.

Ketiga, kebijakan ini juga akan sangat kontrakdiktif dari sisi konservasi. Sebab selama ini pemerintah sangat menekankan pentingnya menjaga konservasi di dalam Taman Nasional Komodo, sementara pemerintah yang sama juga yang membawa masuk perusahaan-perusahaan untuk berinvestasi di dalam kawasan Taman Nasional Komodo.

Sementara itu, terkait pariwisata super premium Komodo, para peserta diskusi menyampaikan kritikan serta anjuran sebagai berikut.

Baca: Pariwisata Super Premium dan Penguasaan Sumber Daya di Flores

Pertama, pariwisata super premium Komodo merupakan bentuk dari sentralisasi kebijakan pariwisata di Labuan Bajo yang menyebabkan hilangnya otonomi Pemerintah Daerah setempat dan marjinalisasi ekonomi bagi masyarakat setempat.

Kedua, berkaca pada pengalaman pariwisata di tempat lain seperti di Afrika, konsep pengembangan pariwisata super premium sangat merugikan masyarakat setempat pada satu pihak dan hanya menguntungkan korporasi sebagai pengelola pada pihak lain.

Ketiga, sebagai bagian dari langkah mempersiapkan diri menyambut pariwisata super-premium, selain terus bersuara secara kritis, perlu juga mengusahakan langkah antisipatif lain seperti memperkuat diri dalam ekonomi komunitas melalu kerja-kerja pemberdayaan.

Keempat, sebaiknya pemerintah dengan melibatkan banyak pihak seperti akademisi, para penggiat lingkungan, para pelaku wisata dan warga setempat, mengevaluasi kembali secara komprehensif kebiijakan ini agar sungguh membawa dampak baik bagi semua pihak.

Sunspirit 2021

 

 

Publikasi Lainnya