SUNSPIRIT_2021 – Forum diskusi virtual Zoom in Flores mengadakan diskusi bertajuk “Prahara Kerangan: Refleksi Kasus Tanah di Labuan Bajo-Flores” pada Kamis malam, 21 Januari 2021. Diskusi ini diselenggarakan kurang leibh 3 jam itu merupakan respons atas sengketa Tanah Keranga yang kini tengah ditangani oleh pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Timur (NTT).
Diskusi ini dihadiri oleh lebih dari sekitar 70 orang dari berbagai kalangan seperti mahasiswa, akademisi, praktisi hukum dan pelaku wisata di Kota Labuan Bajo.
Hadir sebagai pemantik dalam diskusi ini adalah Yosef Sampurna Nggarang, Pembina Himpunan Pemuda Mahasiswa Manggarai Barat Jakarta (Hipmmabar-Jakarta) sekaligus sebagai Sekjen Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR) serta Iren Surya, salah satu praktisi hukum yang berdomisili di Labuan Bajo.
Dalam pemaparannya, Yos Nggarang menyampaikan kronologi singkat sengkata lahan tersebut hingga menyebabkan munculnya klaim kepemilikan yang berbeda-beda atas tanah 30 hektar yang terletak di Kelurahan Labuan Bajo itu.
Klaim tersebut, menurut Yos, disebabkan oleh beberapa hal, yakni perubahan alas hak, memuluskan pembuatan sertifikat dengan batas-batas lahan yang tidak jelas dan pemalsuan tanda tangan para fungsionaris adat.
Selain itu juga, ia juga menyoroti kinerja ATR BPN Mabar di mana ada dugaan kuat, terdapat oknum di dalam lembaga tersebut yang memfasilitasi sehingga membuat maraknya masalah tanah di Labuan Bajo, termasuk atas lahan Kerangan ini.
“Bayangkan, penyidik menyita uang dalam jumlah banyak pada salah satu tenaga honorer di ATR BPN Mabar,” kata Yos. Disebutnya, honorer tersebut memiliki hubungan khusus dengan atasnya di lembaga tersebut.
Yos juga menyampaikan, dengan ditetapkannya Labuan Bajo sebagai destinasi Super Premium, maka akan ada banyak orang, khususnya pemodal atau investor yang memanfaatkan kedekatan mereka dengan kekuasaan untuk menguasai tanah-tanah yang ada di Labuan Bajo, termasuk aset-aset publik.
“Ini yang saya sebut sebagai kerja-kerja ekstraktif. Memanfaatkan jaringan kekuasaan untuk melancarkan kepentingannya,” tambahnya.
Menariknya menurut Yos, belajar dari sengketa Tanah Kerangan, penguasaan atas tanah-tanah ini berlangsung cepat dengan memanfaatkan lemahnya tata kelola admministrasi tanah di Kabupaten Manggarai Barat, tidak jujurnya kerja insititusi-intitusi yang mengurus pertanahan seperti BPN serta klaim kepemilikan atas tanah ulayat yang berbeda-beda.
Sementara itu, Iren menyatakan, sengketa klaim kepemilikan yang terjadi atas tanah tanah Keranga ini merupakan salah satu tipologi kasus tanah di Kabupaten Manggarai Barat.
“Selain itu ialah sengketa tanah warisan, penjualan berkali-kali, sertifikat ganda dan klaim penguasaan atas tanah tanpa bukti fisik,” ujarnya.
Menurut Iren Surya, penyelesaian kasus tanah di Labuan Bajo, dapat dilakukan dengan cara menata kembali administrasi tanah mulai dari tingkat Desa hingga ke tingkat Kabupaten.
Begitu pun dengan ATR BPN Mabar, harus kerja jujur, transparan serta memiliki system yang dapat mengatasi banyak masalah tanah di Labuan Bajo.
“Kalau boleh dibilang, BPN ialah lembaga paling buruk yang ada di republik ini,” tegasnya.
Ia mengaku memiliki pengalaman pahit saat mengurus sertifikat tanah di lembaga tersebut di mana harus menunggu selama enam tahun baru mendapatkan sertifikat.
Sementara itu peserta diskusi yang lain, dengan berangkat dari Kasus Tanah Kerangan, merekomendasikan beberapa hal penting berikut, seperti pentingnya penataan seecara serius soal administrasi tanah di Labuan Bajo, mulai dari tingkat desa hingga ke tingkat Kabupaten.
Kedua, agenda konsolidasi budaya yang mempertemukan segenap pemangku adat di Kota Labuan Bajo dan sekitarnya perlu dilakukan dalam rangka memperjelas alas hak ulayat atas tanah-tanah.
Ketiga, peran civil society dan lembaga negara seperti DPR untuk mengawas aset-aset tanah milik negara atau publik untuk tetap diperuntukan bagi kepentingan publik.
Sunpsirit 2021