Cowangdereng, 7 April 2016 — Sebuah diskusi publik bertema “Gagal Tanam di Lumbung Padi” digelar sore ini di Rumah Kreasi – Baku Peduli, Cowangdereng, Manggarai Barat. Diskusi yang berlangsung dari pukul 17.00 hingga 20.00 WITA ini menghadirkan suara-suara kritis dari petani, akademisi, dan pejabat daerah, membongkar mitos Lembor sebagai lumbung padi Nusa Tenggara Timur.
Diskusi ini mempertemukan beragam perspektif, mulai dari Gregorius Afioma (peneliti Sunspirit for Justice and Peace), perwakilan Aliansi Petani Lembor dan Komunitas Daulat Tani, Dinas Pertanian Manggarai Barat, hingga Ketua Komisi C DPRD Manggarai Barat. Hadir pula para undangan dari LSM Yakines, Mabar Watch, Kevikepan Labuan Bajo, dan Bolo Lobo Community.
Salah satu isu utama yang diangkat adalah kegagalan kebijakan pembangunan pertanian yang berbasis pada logika produktivitas semata. Dalam konteks program Nawacita yang mendorong perluasan lahan pertanian, diskusi ini mempertanyakan bagaimana visi besar itu dapat berpijak pada realitas sosial-ekologis petani di lapangan.
TOR Diskusinya sebagai berikut:
GAGAL TANAM DI LUMBUNG PADI
Sebagai daerah lumbung beras di provinsi NTT, ucapan seorang petani di Lembor ini sungguh mengejutkan. Avent Turu, petani di desa Siru di wilayah hilir persawahan Lembor mengatakan, “Sekarang tidak hanya gagal panen, tetapi gagal tanam”.
Untuk para petani di daerah hilir di persawahan Lembor, ancaman gagal tanam umumnya sudah nyata. Persoalannya adalah air. Berbeda dengan daerah hulu, daerah hilir selalu berhadapan dengan persoalan kekurangan air. Jika petani daerah hulu bisa mengalami dua kali musim tanam dalam setahun, sementara para petani daerah hilir untung-untungan bisa dilakukan dua kali. Umumnya hanya satu kali. Pada musim tanam kedua, tanam padi tidak bisa dilakukan. Debit air tak cukup. Beberapa petani membiarkan sawahnya tak dikelolah dan mengering lantaran tak cukup mendapat pasokan air.
Di tengah persoalan itu, para petani khususnya daerah hilir semakin “terganggu” dengan keberadaan berbagai proyek irigasi pemerintah. Meski silih berganti tiap tahun, asas manfaat dari proyek itu masih dipertanyakan. Debit air tidak pernah bertambah. Apalagi kualitas bangunan irigasi tidak bertahan lama. Sebagai akibatnya, datangnya proyek seperti momok yang menakutkan karena disertai ancaman penutupan air. Padahal hasil perbaikan itu tidak pernah berkonstribusi secara signifikan.
Akumulasi dari semua persoalan itu seolah menemukan pembenaran dalam fakta soal kemiskinan di Lembor. Lima belas desa di Lembor adalah langganan penerima beras raskin. Untuk desa Siru, misalnya, rata-rata sebanyak 424 kepala keluarga yang menerima beras raskin tiap tahun.
Bertolak dari kenyataan itu, benarkah Lembor sebagai lumbung padi? Lebih jauh, di tengah-tengah persoalan ketidakadilan distribusi air, bagaimanakah para petani dan pemerintah lokal menanganinya? Sementara itu, di tengah-tengah pengejaran pencapaian target produktivitas pertanian dalam program Nawacita, di antaranya perluasan lahan pertanian, bagaimanakah kebijakan di lingkup lokal mempertemukan antara visi produktivitas dan kenyataan miris di lapangan?
Galeri Foto selama Diskusi:

Poster dari diskusi gagal tanam di lumbung padi

Suasana selama diskusi yang berlangsung selama dua jam

Peserta dari diskusi