Floresa.co – Sebagai daerah lumbung beras di Manggarai Raya, bahkan di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), ucapan seorang petani di Lembor ini sungguh mengejutkan.
Avent Turu, salah satu petani di Desa Siru di wilayah hilir persawahan Lembor mengatakan, “Sekarang bukan gagal panen lagi, tetapi gagal tanam.”
Untuk para petani di daerah hilir persawahan Lembor antara lain di Desa Siru, Benteng Dara, Tangge, Daleng, Wae Bangka dan Watu Rambung, ancaman gagal tanam sudah nyata.
Salah satu persoalannya adalah krisis air. Berbeda dengan daerah hulu, daerah hilir selalu berhadapan dengan persoalan ini. Semakin ke hilir, debit air semakin berkurang.
Akibatnya, jika petani di daerah hulu bisa mengerjakan sawah dua kali musim tanam dalam setahun, sementara para petani daerah hilir umumnya hanya satu kali.
Pada musim tanam kedua, mereka tidak bisa lagi menanam padi. Hanya sekitar seperempat saja dari luas lahan sekitar 3528 ha yang bisa dikerjakan. Debit air tak cukup. Beberapa petani membiarkan sawahnya tak dikelola dan mengering lantaran tak cukup mendapat pasokan air.
Hal ini selalu diwarnai cerita miris. Karena berebutan air, tak jarang para petani bertengkar.
Mikael Hamsu dari Raminara bercerita, “saya sampai mau angkat parang bertengkar dengan kampung tetangga”.
Sementara itu, sudah umum bagi petani, tidak tidur hingga dini hari lantaran berebutan air.
Ada cerita yang lucu. Seorang pemuda di Raminara yang mengurusi air pernah dituduh melakukan pelecehan seksual. Dia mendapat tugas mengatur jadwal bukan tutup air.
Ketika suatu saat, air macet, ia segera mengeceknya. Ternyata seorang wanita sedang mengalihkan aliran air ke sawah miliknya. Ia beradu mulut dengan ibu itu. Akan tetapi, ibu itu kontan berteriak minta tolong seolah terjadi pelecehan seksuasl. Pemuda itu pun didenda.
Persoalan bertambah rumit karena tak pernah tersentuh kebijakan. Contohnya, soal debit air. Dengan kondisi iklim yang sudah banyak berubah, debit air semakin berkurang. Bukannya konservasi di area hulu sungai yang diperlukan, bantuan pemerintah selalu hanya berpusat pada perbaikan saluran irigasi.
Ketika seorang petani mengusulkan perlu ada program konservasi dalam pertemuan sosialisasi di kantor kecamatan, Camat Paulus Malu langsung mengamini. Hal penting tersebut, menurutnya, jarang disentil dalam berbagai pertemuan.
Sementara itu, ada banyak kejadian yang membutuhkan penyelesaian yang komprehensif, namun dianggap kejadian insidentil saja.
Jika dua petani bertengkar karena berebut air, tinggal memanggil tentara untuk mendamaikannya. Padahal, pertengkaran karena perebutan air sudah berulang-ulang. Diselesaikan saat ada kejadian. Lalu, akan berulang kembali.
Momok Proyek Saluran Irigasi
Di tengah persoalan air itu, proyek perbaikan irigasi dari pemerintah terus bergulir tiap tahun. Anggarannya sangat besar.
Untuk lima tahun terakhir, mencapai angka 50 miliar. Tahun 2016 ini, akan diperbaiki lagi memakan anggaran sebesar 4 miliar.
Apakah proyek air irigasi meningkatkan debit air ke daerah areal persawahan?
“Kami pikir perbaikan irigasi, setidaknya memperlancar aliran air ke sawah. Ternyata sama saja. Tidak mengubah apapun,” kata Aven ketika ditanya demikian.
Para petani lain dalam kelompok petani Weang Gerak justru menyoalkan, mengapa tiap tahun ada proyek? Mereka juga mempersoalkan, mengapa perbaikan selalu di tempat yang sama?
Pada Jumat, 18 Maret 2016, para petani Weang Gerak menunjukkan beberapa lokasi irigasi yang dinilai abal-abal di daerah Raminara, Desa Siru.
Tampak tembok saluran irigasi retak panjang. Di bagian lain, lapisan semen terluar terkelupas. Menurut mereka, semua saluran itu baru diperbaiki tahun sebelumnya.
Mengenai hasil dari proyek abal-abal itu, mereka umumnya menaruh curiga. Demi keuntungan yang besar, para kontraktor bisa saja memeras biaya antara lain dengan menurunkan kualitas bangunan.
Lebih mengherankan mereka, meskipun ada pengawas dari Dinas Pekerjaan Umum yang memeriksa bangunan, semuanya diloloskan begitu saja.
Buntut dari semua kekecewaan petani terhadap proyek demikian, terlihat dalam pertemuan Sosialisasi Proyek Perbaikan Irigasi di Kantor Camat Lembor pada Sabtu, 19 Maret 2016.
Kepada kontraktor, Benediktus Pambur, ketua Aliansi Petani Lembor (APEL) bertanya, “berapa tahun Anda jamin kekuatan perbaikan ini?”
Kontraktor itu tidak bisa menjawab pertanyannya. Ia hanya menjelaskan bahwa sistem pengerjaan proyek itu sudah berbeda dari proyek yang lain. Menurutnya, mereka tidak memakai sistem subkontraktor lagi.
Terkait subkontraktor itu, sudah menjadi rahasia umum di kalangan petani. Sistem subkontraktor bisa mencapai lebih dari satu turunan. Akibatnya, dana pembangunan real hanya tinggal sedikit dari alokasi sebenarnya setelah dipotong demi jasa kontraktor.
Bertolak dari fakta demikian, pembangunan tidak lagi menggembirakan bagi petani.
Apalagi, perbaikan irigasi selalu saja dibarengi dengan kegiatan tutup air yang seringkali menyebabkan lahan mengering dan tak bisa dikerjakan.
Ketika terjadi perbaikan saluran irigasi Wae Raho dan Wae Kanta pada tahun 2014, sekitar 1.755 hektar menjadi kering kerontang. Tutup air demi proyek irigasi adalah momok yang menakutkan bagi petani.
Sebenarnya, berhadapan dengan berbagai tawaran proyek, petani bisa saja menolak setiap bantuan yang ada. Namun, sayangnya, petani seolah tak punya pilihan lain.
Kata Frans dari Desa Liang Sola, “kita selalu dijelaskan oleh pemerintah, kalau kamu tidak terima bantuan ini, akan diberikan ke daerah lain. Tapi, untuk beberapa tahun ke depan, bantuan tidak akan ada lagi di sini”.
Dari narasi proyek irigasi demikian, keberadaan proyek air justru menambah ekstrem persoalan air irigasi di Lembor.
Tentang ironi proyek air tersebut, Asrida Elisabeth, teman yang turut mendatangi lokasi persawahan Lembor, mengilustraasikannya dengan menarik.
Katanya, “sebagaimana aliran air yang semakin sedikit ke daerah hilir karena dicuri oleh petani lain sepanjang selokan itu berada, demikian pun nasib bantuan pemerintah. Di petani, hanya tinggal sebagian kecilnya saja.”
Lantas, benarkah Lembor adalah lumbung padi?
Kesan bahwa Lembor adalah lumbung padi seolah betul dalam panen raya pada bulan November 2015. Acara itu dihadiri oleh Menteri Pertanian, Amran Sulaiman.
Dari hasil panen itu, digembar-gemborkan bawa hasil panen sekitar 10, 4 ton per hektar setiap kali musim tanam.
Bagi APEL, hasil demikian tidaklah representatif. Dari hasil penelitian APEL, pada saat bersamaan dengan panen raya tersebut, ada banyak petani yang mengalami gagal panen. Alasannya, suplai air tidak mencukupi.
“Ukuran mereka mungkin karena mengambil sampel dari sawah yang hasilnya bagus” kata Benediktus Pambur.
Katanya lagi, jika hasilnya demikian, tidak mungkin masyarakat Lembor menerima beras raskin.
Faktanya sampai sekarang, lima belas desa di Kecamatan Lembor masih menerima beras miskin (raskin). Untuk Desa Siru, misalnya, rata-rata 424 kepala keluarga yang menerima raskin tiap tahun. Tahun lalu, akibat gagal panen, Lembor terpaksa mendapat bantuan beras dari Bima.
Dengan krisis air yang mereka alami selama ini, beras raskin seolah tidak bisa dihindari tiap tahun. Ini tentu menjadi ironi bagi daerah penghasil beras seperti Lembor.
Lantas, bagaimanakah nasib lumbung padi di Lembor ke depannya? Masihkah areal persawahan yang dibuka sejak tahun 1980-an ini dapat menjadi harapan penduduk Lembor?
Peran Pemerintah Lokal
Dengan area seluas lebih dari 3.528 hektar, persawahan Lembor sudah lama menjadi perhatian pemerintah pusat. Lembor amat strategis menyokong ketahanan pangan nasional dan menyukseskan program Nawacita selama pemerintahan Jokowi-Kalla.
Tidak heran, jika daerah persawahan Lembor dikunjungi Menteri Pertanian, Amran Sulaiman. Pada tahun 2012, pernah dikunjungi mantan Presiden Susilo Bambang Yudoyhono.
Lebih konkret lagi, perhatian itu berupa aliran bantuan yang cukup besar. Dalam kunjungan itu, Menteri Pertanian menjanjikan anggaran sebesar 1 trilliun untuk menambah areal persawahan sebesar 36 ribu hektar di Provinsi NTT.
BACA: Menteri Pertanian Janjikan Rp 1 Triliun untuk Pengembangan Sawah di NTT
Selain itu, tentunya sudah banyak bantuan yang tergolong bantuan intensifikasi pertanian seperti penerapan teknologi, bantuan pupuk, benih, dan lain-lain.
Ekspansi bantuan itu sangat ironis di tengah persoalan petani yang mengalami krisis air. Tidak hanya itu, ketergantungan petani terhadap bantuan dari pemerintah sudah semakin tinggi. Dalam soal bibit saja, petani mesti membeli bibit yang disediakan pemerintah.
Lantas, bagaimanakah pemerintah lokal memperlakukan bantuan tersebut di tengah-tengah realitas ironis tersebut?
Kejadian baru-baru ini sudah lebih dari cukup sebagai jawabannya. Di Raminara, beberapa petani penggarap menangis sembari menahan amarah ketika tanaman mereka digusur demi cetak sawah baru di Raminara.Luasnya sekitar 50 hektar. Tidak menunggu panen apalagi melalui sosialisasi terlebih dahulu, semuanya itu digusur yang melibatkan tentara.
Para petani sendiri sangsi dengan upaya tersebut di tengah krisis air yang mereka alami. Di tempat itu sudah pernah dibukakan lahan persawahan pada tahun 1990-an, namun terbelengkalai karena kurang air.
Sementara untuk bantuan bibit, pupuk dan bantuan peralatan teknologi pertanian, seringkali hanya menghasilkan cerita piluh pertengkaran antara petani, memanasnya konflik horisontal karena kepentingan-kepentingan mendapatkan dana dari pemerintah.
Dari berbagai cerita tersebut, menarik untuk menyimak sikap pemerintah lokal.
Camat Lembor, Paulus Malu dalam sosialiasi perbaikan irigasi, Sabtu 19 Maret 2016, misalnya, mengatakan, sosialisasi perbaikan irigasi bukanlah kenyataan baru. Tidak perlu diperdebatan. “Buang-buang waktu, buang-buang energi.”
Sebaliknya, katanya, “kita bersyukur ternyata persawahan Lembor ini mendapat perhatian dari pemerintah pusat.”
BACA: Demi Program Jokowi, Tanaman Petani di Lembor Digusur
Dalam kesempatan yang sama, meskipun keluhan terkait krisis air mencuat, Fatinci Reynilde, perwakilan dari Dinas Pertanian tetap menegaskan bahwa tahun 2016 ini dilaksanakan cetak sawah baru.
“Untuk tahun 2016 ini, untuk Manggarai Barat, kita coba dulu dengan 100 hektar,” katanya.
Ucapannya itu berujung pada penggusuran tanaman petani di Raminara.
Sekilas kesan bahwa aparatur negara di tingkat lokal lebih banyak berperan bagaimana menyukseskan program pemerintah pusat daripada mendekteksi persoalan di tengah petani.
Tidak sampai mencari tahu akar persoalan, mengapa petani selalu menerima beras raskin, apa saja faktor budaya dan politik yang menyebabkan petani miskin, dan lain-lain.
Revolusi Pertanian
Dari cerita demikian, dapat ditarik kesimpulan demikian.
Pertama, negara tidak hadir dan membiarkan rakyat berjuang sendirian melawan penderitaannya. Ketidakhadiran negara misalnya, terlihat dalam soal kebijakan pengaturan musim tanam. Dalam pertemuan di sekretariat APEL di Pocokoe pada 12 Maret 2016 yang dihadiri sekitar 50 petani, disepakati bahwa pada musim tanam kedua perlu adanya giliran antara petani di daerah hulu dan hilir.
Jika tahun sebelumnya, hanya petani di daerah hulu bercocok tanam, sementara di tahun berikutnya hanya petani di daerah hilir.
Mengingat debit air semakin berkurang, mau tak mau pilihan demikian dilakukan.
Di sini dibutuhkan intervensi otoritas pemerintah untuk mengatur. Tidak bisa dibiarkan sesama petani yang mengatur. Sebab tidak mudah bagi petani di daerah hulu mengubah status quo.
Sementara itu, kesan proyek asal jadi sudah tentu menyengsarakan petani. Tidak ada pilihan selain petani menanggung penderitaan dari proyek asal jadi tersebut. Mengapa ditolak saja proyek asal jadi tersebut? Selalu terdengar ucapan yang kalau saya rumuskan sebagai berikut, “Hendak ditolak, tetapi saluran irigasi memang perlu diperbaiki. Membiarkan diperbaiki berarti siap diperbaiki lagi tahun berikutnya.” Atau bantuan siap mengalir ke daerah lain.
Kedua, di tengah-tengah ekspansi bantuan pemerintah, petani kehilangan kedaulatannya. Petani tidak sedang menjalankan apa yang mereka impikan. Berkali-kali ketua APEL, Rikard mengatakan, “kami sedang dijajah”. Sementara Pak Aven mengatakan, “Kami yang kerja, kok yang kaya distributor pupuk.”
Semua pernyataan itu merujuk pada realias pertanian yang sudah hilang kedaulatannya. Untuk urusan apa saja yang terkait pertanian, hampir pasti petani mesti berharap banyak pada pemerintah dan mengeluarkan biaya yang mahal. Sekarang ini, kebutuhan mulai dari benih, pupuk, dan lain-lain harus dibeli di toko dan mengeluarkan biaya yang mahal.
Akibatnya, program dari pemerintah ibarat lain gatal, lain digaruk. Tidak ada titik temu antara petani dan kebijakan pemerintah. Sebagai contoh, di tengah krisis air, bukannya pengaturan musim tanam, malahan diupayakan cetak sawah baru.
Dari dua kesimpulan itu, maka kebijakan pemerintah terkait pertanian sudah semestinya berbenah. Pendekatan yang lebih tepat sasaran adalah mengevaluasi seluruh kebijakan dan praksisnya sembari membuka peluang membangkitkan gairah petani. Rakyat tidak boleh lagi menjadi korban.
Peningkatan produksi tak melulu bersangkut paut dengan teknologi, invasi dan program baru. Harus ada perubahan kebijakan yang berporos pada kesejahteraan petani secara berkesinambungan dan tetap sasaran.
Pemerintah sudah waktunya mengubah alokasi subsidi yang selama ini digunakan untuk membeli sarana produksi (pupuk, obat-obatan, alat, dan mesin pertanian) yang terbukti tak banyak mendongkrak produktivitas dan malahan menempatkan petani pada posisi tawar rendah.
Ini menghendaki revolusi mindset para pengambil kebijakan dan keberanian keluar dari jebakan streorip mendorong produksi dengan mengandalkan intensifikasi (asupan teknologi modern) berbagai macam subsidi dan regulasi tidak tepat.
Revolusi mindset itu sekurang-kurangnya melalui tiga jalan berikut. Pertama, pemerintah tidak menjadi tukang perintah yang mengontrol apa yang seharusnya dilakukan petani. Relasi asimetris demikian mesti dipertipis. Pemerintah sudah saatnya bertindak dan mengarahkan petani kepada tujuan-tujuannya sendiri. Dan pemerintah mesti belajar dari kearifan dan refleksi para petani.
Ketika petani sudah sadar bahwa kedaulatan mereka hilang karena ketergantungan berlebihan kepada pemerintah dan mulai diusahakan model pertanian alternatif, bukannya didukung malahan dijungkirbalikkan.
Yang digusur demi cetak sawah baru adalah sorgum, jagung, kacang panjang, dan kacang hijau. Sorgum adalah benih lokal. Di tengah-tengah ancaman benih hibrida dan ketergantungan kepada beras, para petani mulai mengkonservasi benih lokal dan organik. Di antaranya sorgum. Persis, sorgum digusur demi pembukaan sawah baru di Raminara.
Kedua, pembangunan jangan direduksi hanya soal bangunan fisik seperti perbaikan saluran irigasi. Pemeritah seakan-akan mengurusi proyek bangunan saja atau lebih buruk lagi menfasilitasi pengurusan proyek oleh para kontraktor.
Akibatnya, persoalan kemiskinan para petani tidak terjawab, seperti persoalan keadilan ekonomi, akses kepada sumber daya, keadilan agraria, kapasitas petani, kebijakan subsidi, pengorganisasian petani,hak atas air, dst.
Ketiga, berhenti melihat kemiskinan hanya soal angka atau teknikalisasi masalah kemiskinan. Kemiskinan hanya dilihat sebagai kondisi kekurangan yang solusinya adalah subsidi barang dan modal. Misalnya, bantuan beras miskin (raskin).
Jika demikian, kemiskinan hanya dilihat sebagai prasyarat pembangunan, penghasil proyek-proyek. Kemiskinan adalah angka-angka yang kemudian menjadi uang untuk diproyekkan. Kemiskinan itu tetap ada dan selalu ada, dalam angka-angka itu, dan tiap tahun menjadi alasan untuk proyek yang sama.
Masyarakat diberi label miskin dan dijadikan angka untuk menciptakan proyek anti-kemiskinan, tanpa dipikirkan mengapa mereka miskin, bagaimana mereka menjadi miskin, apa saja faktor-faktor ekonomi, politik, dan budaya yang menyebabkan mereka menjadi miskin.
Dengan demikian, apakah kebijakan di tingkat lokal mampu menghadapi tantangan tersebut dan menangkap setiap kearifan dan refleksi dari petani sendiri, misalnya petani yang menginginkan terbentuknya tim pengawas proyek dari kelompok tani sendiri?
Pembangunan yang Emansipatif dan Partisipatoris
Kebijakan di tingkat lokal berada di pusaran tegangan antara bagaimana menghadapi tuntutan produktivitas dari pemerintah pusat dan realitas sumber daya pertanian yang kian merosot di persawahan Lembor. Menghadapi tuntutan demikian, diharapkan selalu dihasilkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat dan melibatkan partisipasi petani.
Karena itu, di tingkat kebijakan ini, tidak saja menjadi urusan pemerintah lokal, seperti dinas dan instansi terkait, birokrat, dan DPRD tentunya, tetapi juga menjadi urusan bersama semua pihak baik LSM, organisasi tani, maupun petani sendiri.
Di atas segalanya, dari bentuk kerja sama itu, kebijakan itu mestinya mencerminkan refleksi petani itu sendiri.
Setelah bergulat bertahun-tahun dengan persoalan yang sama, petani di Lembor sudah menghasilkan keputusan-keputusan penting yang bercorak revolusioner bagi keberlangsungan merea.
Berhadapan dengan proyek irigasi yang abal-abal, misalnya, petani di Raminara mengusulkan terbentuknya tim pengawas proyek dari organisasi tani sendiri.
Kebutuhan demikian menjawab kenyataan bahwa meskipun ada pengawas proyek dari pemerintah namun tidak begitu signifikan cara kerjanya di lapangan.
Bahkan, petani sendiri mengusulkan bahwa untuk proyek skala kecil, perlu dikerjakan oleh petani sendiri. Pengerjaan itu akan selalu disertai rasa tanggung jawab sedemikian sehingga mampu menjaga kualitas bangunan proyek.
Sementara, persoalan ketergantungan petani terhadap benih-benih hibrida dan bantuan pemerintah, petani APEL menginisiasi adanya pengembangan benih lokal.
Isu utama dalam budidaya benih lokal tersebut adalah kedaulatan petani. Jika masih melulu bergantung pada bantuan pemerintah terutama penyediaan benih dan pupuk yang biasanya berbiaya mahal, ketergantungan petani semakin tinggi.
BACA: Petani Lembor: Budidaya Benih Lokal, Tinggalkan Benih Hibrida
Petani menjadi tidak berdaya. Ditambah lagi, benih hibrida masih riskan terhadap hama. Melalui pengembangan benih lokal, petani memperjuangkan emansipasi dari belenggu beras, mengembangkan pangan alternatif, dan mempromosikan cara hidup sehat. Karena benih lokal biasanya organik.
Di samping itu, petani sendiri sudah mulai mengkonservasi daerah hulu aliran sungai, dengan penaman pohon di sekitar daerah aliran sungai.
Karena itu, besar harapan bahwa pemerintah lokal, DPRD, LSM, dan semua pihak yang berkehendak baik melihat dan menangkap buah dari kearifan dan refleksi para petani di lumbung padi itu dalam pengembangan pertanian ke depan.
Jika tidak, anggapan bahwa Lembor itu lumbung padi hanya kenangan. (Gregorius Afioma/ARL/Floresa