(Bagian 1) Suara dari Taman Nasional Komodo

sunspiritforjusticeandpeace.org – Sejak ditetapkan sebagai daerah konservasi sumber daya alam berlabel Taman Nasional Komodo (TNK), kondisi kehidupan masyarakat yang berdiam di dalam kawasan belum banyak berubah. Kesejahteraan hidup masih jauh dari yang diharapkan. Beragam konflik dibarengi tindak kekerasan kerapkali mewarnai perjalanan hidup masyarakat setempat. Berbagai system, regulasi dan kebijakan yang diterapkan pemerintah seperti zonasi dengan membagi-bagi kawasan laut pun darat, secara langsung atau tidak langsung berdampak luas terhadap akses masyarakat terutama para nelayan mendapatkan sumber-sumber penghidupan yang layak.

Atas nama konsevasi, aset-aset masyarakat lokal seperti tanah, hutan, air dan sumber daya alam lainnya diambilalih secara sepihak oleh pemerintah tanpa ganti rugi atau kompensasi. Kini, seiring pesatnya perkembangan industri pariwisata, masyarakat dalam kawasan mengalami banyak perubahan baik positif maupun negative. Sebut misal perubahan mata pencaharian dari sebelumnya berburu dan meramu, menjadi nelayan dan belakangan menjadi pemahat atau penjual souvenir. Sebagian masyarakat lokal bahkan terpaksa beralih profesi menjadi buruh kasar di kota-kota. Berikut rangkuman wawancara kami dengan sejumlah tokoh masyarakat di kawasan TNK yang dikemas dalam gaya bertutur:

Baco Ahmad (Ketua BPD) Desa Pasir Panjang, Pulau Rinca:

Masalah kawasan ini memang sulit. Peran daerah (pemerintah) sangat tidak ada, karena sifatnya vertical. Sering kita sampaikan kepada mereka tapi kita masyarakat kecil mau ketemu menteri saja sulit. Pemerintah kabupaten dan daerah tidak punya kewenangan sehingga harus bertemu langsung dengan kementerian. Tahun kemarin, untuk masyarakat di Loh Liang (masalah tanah) juga belum ada realisasi.

Semua masyarakat di sini bergantung pada laut dan musiman. Kalau musim angin sangat kencang atau musim paceklik kita menderita. Mata pencaharian cadangan tidak ada, jadi kita kesulitan. Padahal, harapan kami masyarakat khususnya di Kampung Rinca agar yang punya lahan apalagi yang sudah ada tanaman, harus bisa digarap lagi. Katanya, tidak bisa disertifikat, asal bisa dikelola untuk membantu ekonomi masyarakat. Bulan sebelas sampai bulan tiga, itu musim angin, masyarakat mau ke mana? tapi kalau punya lahan, mereka bisa kelola, mereka bisa tanam sayur dan jagung untuk menanti laut kembali tenang. 

Berkaitan dengan taman nasional, kami ke laut tidak ada kesulitan, hanya dipariwisata harapan kami juga supaya ke depan kami masyarakat Rinca juga jangan jadi penonton. Supaya pemerintah di sini juga kelola pariwisata yang ada. Bukan hanya menjadi penonton. Mudah-mudahan saja dalam waktu dekat dermaga sudah dibangun.Kapan hari dari BUMN yang datang, hanya proses pemerintah memang lama. Tetapi mereka sudah pastikan dermaga itu jadi. Di Komodo, orang lokal diperbolehkan untuk menjual di Loh Liang tapi kami orang Rinca tidak diperbolehkan.

Saya tidak tahu persis apakah diperbolehkan atau karena mereka di sana juga sudah bisnis. Kita punya mau, kalau masyarakat juga ambil bagian di situ.  Jangan sampe persaingan yang tidak sehat. Artinya, pihak mereka (TNK) menjual, apa yang kita jual akan terjadi persaingan yang tidak sehat. Kalau kita ambil bagian maka seperti di Loh Liang yang jual sovioner itu masyarakat sedangkan pihak balai tidak bisa jual. Biarkan masarakat yang adu nasib. Kita tidak diperkenankan dan tidak dipersiapkan untuk lakukan. Di Loh Buaya itu tidak dikasih, baik itu sovioner maupun jualan minuman, semua mereka yang kelola karena mereka punya koperasi. Mungkin juga karena mereka punya koperasi  jadi kalo kita juga jual di situ, rasanya bagaimana.

Kita punya mau, mereka petugas hanya menjaga dan mengamankan sedangkan masyarakat yang kelola untuk menjua sovioner atau minuman. Ini, mereka semua yang ambil. Semua masyarakat di sini kehidupan nelayan tok, tidak ada yang jual sovioner, hanya betul-betul nelayan jadi saya sendiri belum merasa kehadiran TNK selama dibentuk. Kayak Komodo, mereka sudah mulai merasakan pariwisata bahkan mungkin tingggal 10% yang melaut sedangkan 90% bergerak dibidang pariwisata karena peluang mereka ada. Dari jumlah KK di sini yang hampir 400 KK guidenya hanya beberapa. Ada anak-anak dari sini yang ikut tes pegawai tapi semuanya gugur yang banyak masuk hanya anak-anak dari Labuan Bajo. Untuk masuk daftar harus memenuhi persyaratan ini-itu, jadi yang masuk orang luar kawasan.

Jadi mungkin bisa kerjasama dengan kita, bagaimana baiknya masyarakat yang ada di sini yang betul-betul di kampung Rinca yang tergolong dalam kawasan, karena mohon maaf, kami punya tanah sendiri, orang lain yang dapat nikmatnya. Contoh, tamu Labuan Bajo ke Loh Buaya, orang Labuan Bajo yang dapat untung, padahal kami punya Pulau Kalong, masyarakat hanya tinggal nonton kapal yang belabuh, sedikitpun yang kami dapat tidak ada. Jadi, yang kami harapkan agar rute perjalanan tamu, kalau sudah ada dermaga ini selesai, mungkin kami akan upayakan dan saya komitmen mewakili masyarakat dan kalau dermaga selesai akan usahakan agar tamu dari Labuan Bajo hanya sampai di dermaga Rinca, kami yang antar tamu ke Loh Buaya.

Kalau tidak direspon oleh daerah atau taman nasional, maka kami akan blok. Itu saya siap dan teman-teman akan saya ajak. Hanya kendala kami sekarang adalah dermaga. Kita punya boath dan masyarakat siap 2-3 boath. Kalau mereka berlabuh di Labuan Bajo, kapan baru ada tamu. Misalnya Labuan Bajo Loh Buaya satu juta rupiah, ya kami empat ratus ribu, mereka enam ratus ribu. Jadi, ini supaya ada kerjasama dan kebersamaannya. Bukan hanya orang Labuan Bajo yang diutamakan tetapi juga orang pulau Rinca. Kalau saya, sejak munculnya zonasi kalau memang ada aturanya kami tidak pernah tahu. Hanya kami didatangi, kami hanya ditunjuk gambar atau peta bahwa ini zona inti, zona rimba, zona bahari, zona pemanfaatan tapi kami tidak pernah duduk bersama seperti ini, lalu kita bicarakan dan sepakati mana kawasan yang harus dilindungi dan yang tidak. Ini, tidak pernah.

Sejauh saya, kalau saya tidak ada tidak mungkin, kalau saya ke Labuan Bajo tidak pernah nginap. Zonasi itu keputusan mereka. Keputusan mereka sendiri, masyarakat di sini tidak pernah dilibatkan. Mereka yang putuskan sendiri, di sini sampe sini tidak boleh memancing, di sini sampe di sini, tidak boleh untuk aktivitas nelayan. Kami masyarakat tidak tahu zonasi, karena itu msyarakat di sini tetap melaut dan tidak ada bentrok dengan mereka karena masyarakat di sini memakai alat tangkap yang tradisional dan tidak ada yang melanggar, jadi terkait zonasi sejauh ini kami tidak tahu juga tidak tahu batas-batasnya antara yang boleh dan tidak boleh. Jadi, soal zonasi jangankan masyarakat, saya sendiri juga hanya tahu nama zonasi tapi bentuknya saya tidak tahu dan kapan diputuskan. Dan apakah zonasi itu sudah diputuskan atau di SK-kan juga saya tidak tahu.

Masyarakat tetap masuk beraktivitas dan itu tidak bisa dipungkiri  seperti di Loh Kima. Itu katanya zona pendidikan tetapi masyarakat tetap masuk  beraktivitas dan juga di sebeah barat  Loh Kima ada zonasi bahari tapi masyarakat tetap berativitas  yang tidak dilarang, mungkin yang dilarang kalau menggunakan alat tangkap yang dilarang. Memang masyarakat tidak tahu dan tidak mau tahu itu zonasi. Mereka pernah tunjukan gambar atau peta tapi tidak pernah dijelaskan dan juga tanpa musyawarah, jadi masarakat tidak merasa dirugikaan juga oleh zonasi. Bahkan ada tanaman yang dulu ditanam oleh orang tua seperrti kelapa. Dan anak-anak memetiknya seperti di Selat Molo, namun sudah tak bisa digarap lagi. Kayak di Loh Baru (15 km), orang punya kebun dan di situ dibangun pos TNK. Kebun kelapa itu gugur saja dan tidak bisa digarap. Mereka bangun pos,  yang punya kelapa yang mau tebang itu kelapa, harus ijin lagi ke mereka padahal orang punya kelapa. Kalau bagi kami masyarakat, ini kan aneh. Masa orang yang tanam, saya yang tanam, pak yang kuasai kalau mau tebang harus ijin lagi kepada mereka, ini kan aneh.

Tapi ya, pemerintah ini yang saya tidak mengerti lagi dan tidak tahu tujuan apa, juga kami tidak tahu. Sebenarnya, sekarang lahan pemukiman sudah padat padahal harapan kami lahan di bagian barat SD sekitar 15 hektar itu, sudah bekas pagar dulu itu memang tidak bisa dikelola, padahal kita punya rencana  bangun rumah. Yang punya lahan di sana bisa bangun pondok dan bisa dikelola. Kan jauh sebelum taman nasional, masyarakat bisa kelola untuk tanam sayur, tidak selamanya kita beli sayur dari Labuan Bajo. Sebenarnya, masih ada lahan yang prpoduktif  yang harus bisa dikelola. Skarang lahan-lahan itu tertidur atau tidak bisa dikelola.  Bukan masarakat tidak mau kelola, tapi takut. Masyaraat takut diproses, itu yang berurusan dengan pemerintah itu yang sulit.

Waktu kita workshop dengan taman nasional dan JPIC, mereka sampaikan tentang hal-hal ini, tapi jawaban mereka TNK kan fertikal, tidak ada hubungan dengan kabuaten atau propinsi, mereka itu langsung  dengan pemerintah pusat demikian juga waktu Amdal di Kupang menyangkut dermaga Pelni di Rinca yang mau dibangun, mereka juga yang masih bertahan padahal kementrian lain sudah keluarkan rekomendasi tapi tinggal dari Kementrian Kehutanan. Menteri Kehutanan yang belum keluarkan rekomendasi  untuk buat dermaga tersebut. Jadi, kita masyarakat ini memang agak sulit jadi bagaimana lancar akses kita kalau  yang kita harapkan masih ada bentrok. Karena ada kewenangan masing-masing.

Padahal kalau pikir secara masyarakat kami, kalau diberi peluang oleh taman nasional ada pekerjaan bagi masyarakat. Bangun dermaga mungkin ada yang nganggur karena kalau orang sudah punya pekerjaan yang pasti maka untuk perbuatan yang melanggar aturan tidak ada lagi. Di laut mungkin sudah berkurang, kayak di Komodo hidup mereka sudah ke pariwisata,  melaut itu sudah kecil bahkan hampir tidak ada. Tapi kalau Rinca, tidak bisa dipungkiri, kalau nelayannya tidak bergerak, tidak ada lagi ekonomi, karena tidak ada pekerjaan sampingan jadi hidup mati dengan laut saja. Mau itu melanggar aturan atau tidak, masyarakat tetap melaut. Masyarakat tidak mau tahu, mereka tetap melaut. Jadi, pemerintah ini saya tidak tahu lagi.

Sebenarnya bukan hutan tapi lahan milik masyarakat yang harus dikembalikan dan dibiarkan dikelola oleh masyarakat. Jadi, itu saja yang kami harapkan. Di Loh Baru mungkin hampir 10 hektar, kan itu kelapa usianya sudah puluhan bahkan seratus tahun. Sekarang, masih ada tapi sekarang sudah masuk taman nasional dan yang di sini sebelah SD hampir 15 hektar dan hampir semua penduduk di sini punya milik tanah itu. Kalau taman nasional bilang bisa dikelola maka masyarakat akan langsung kelola. Masyarakat sekarang berharap agar lahan mereka bisa dikembalikan, itu saja yang mereka harapkan. Di Loh Baru yang hampir sepuluh heltar itu, semua pemilik sudah pindah semua ke sini. Kemarin saja, ada yang mau bangun rumah harus pergi ijin ke taman nasional padahal dia punya milik, dia yang tanam. Di situ ada kelapa, nangka dan jati.

Intinya, masyarakat tidak mau berurusan dengan pemerintah. Kalau saya dengan bapak ini saling klaim paling saling angkat parang, tapi ini dengan pemerintah, itu yang suit. Kalau tidak salah macam di gunung sana saya dengan bapak atau adik-kakak tentang sebidang tanah itu, baku potong, tapi ini urusan dengan pemerintah, ini yang sulit. Jadi masyarakat kecil takut. Intinya takut pak, karena tidak mau direpotkan, dipanggil proses hukum. Kalau dua-tiga hari dipanggil proses hukum,  maka ke laut sudah tidak ada. Pertimbangan masyarakat, kalau satu hari tidak melaut bisa mati, tidak makan. Aset di selat Molo itu ada kuburan orang tua, ada kelapa kurang lebih satu hektar, tapi sudah tidak digarap. Ada atau tidak ada ikan tetap melaut karena pekerjaan sampingan tidak ada. Bagaimana, ini fakta enam bulan terakhir ini, tidak bisa melaut dan hasil betul-betul kasian, dia mau ke kebun, kebun tidak ada, padahal kalau macam di gunung, kalau musim belum ada pengairan sawah, maka ada tanaman ubi atau sayuran,  begitu musim mau tanam padi, langsung tanam  lagi.

Artinya, masih tetap ada pekerjaan sampingan. Tapi kalau kami nelayan, tidak bisa. Kalau musim angin, tidak bisa dapat ikan. Sedangkan terkait pagar dikeliling kampung, kami sudah buat kesepakatan dengan taman nasional bahwa ini bukan pagar batas antara masyarakat dengan taman nasional, tapi pagar pengaman agar komodo tidak masuk ke kampung. Jadi, pagar yang dibangun itu adalah pagar pengaman bukan pembatas. Tetapi karena mereka (TNK) ini, sering saya amati, apa yang mereka lakukan, mereka jadikan sebagai acuan untuk masuk di aturan mereka.

Contoh, kalau pagar, kalau mereka sudah pegang dan kita tidak waspada, mereka akan klaim ini batas antara masyarakat dengan hutan lindung. Kemarin mau dipagar, kita bilang boleh pagar tapi bukan pembatas antara masyarakat dengan taman nasional tapi ini hanya pagar pengaman komodo. Selama ini ada pelatihan-pelatihan. Ya mereka juga ada proyek, mereka datangkan pelatih untuk melatih ibu-ibu bikin keterampilan tangan dengan bahan-bahan lokal seperti dulang, tas, dompet tapi apa yang mereka lakukan tidak sebanding dengan apa yang ada di daerah ini. Ada proyek  pemboran air, itu juga gagal dengan habiskan biaya hampir 300 juta tapi tidak ada manfaatnya karena airnya payau. (Bersambung)

Publikasi Lainnya