TNK dan Warga Lokal di Dalamnya

sunspirit.org-Taman Nasional Komodo (TNK) merupakan satu kawasan yang terdiri dari pulau-pulau, baik yang berpenghuni ataupun tidak berpenghuni. Pulau yang berpenghuni diantaranya adalah di Pulau Komodo Desa Komodo, Pulau Rinca Desa Pasir Panjang dan Pulau Papagarang Kampung Papagarang yang masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Komodo. Letak Taman Nasional Komodo berada di antara dua provinsi, yaitu provinsi Nusa Tenggara Barat (Pulau Sumbawa) dan provinsi Nusa Tenggara Timur (Pulau Flores). Taman Nasional Komodo merupakan kawasan konservasi guna melindungi binatang komodo (Varanus Komodoensis).

Komodo kini menjadi tujuan pariwisata, selain keindahan alam di Nusa Tenggara Timur keberadaan binatang langka ini menjadi penarik minat bagi para wisatawan, baik wisatawan domestik maupun asing. Bahkan, setelah komodo menjadi bagian dari Situs Warisan Dunia (World Heritage Site) yang ditetapkan oleh UNESCO pada 1991, Nusa Tenggara Timur menjadi tujuan para wisatawan, baik hanya sekedar untuk berlibur ataupun untuk penelitian dari berbagai macam latar belakang pendidikan.

Taman Nasional Komodo

Sejak ditemukannya komodo pada 1911 oleh JKH Van Steyn yang tercantum didalam SK Menteri Kehutanan No. 306/Kpts-II/1995, komodo kemudian diberi nama Varanus Komodoensis oleh PA. Owens pada 1912. Hingga tahun 1930-an Pulau Komodo berada dibawah pemerintahan Kesultanan Bima, sehingga tanggal 30 April 1915 No. 163a (Verordening van het Sultanaat van Bima van 30 April 1915 No. 163a) Sultan Bima pun mengeluarkan peraturan untuk melindungi binatang komodo (Komodo National Park Authority). Komodo bukanlah sekedar binatang yang dijaga dan dilindungi, tetapi binatang komodo adalah sebagai identitas baru bagi orang-orang di Nusa Tenggara Timur.

Sebelum ditetapkan menjadi kawasan Taman Nasional, orang-orang di tiga kampung itu telah hidup jauh sebelum Indonesia merdeka.

Tulisan ini akan membahas beberapa bagian di antaranya penelusuran sejarah Kampung di Desa Komodo Pulau Komodo dan Kampung di Desa Pasir Panjang Pulau Rinca. Bagian lainnya akan menjelaskan bagaimana proses peminggiran warga lokal yang masuk di dalam kawasan Taman Nasional Komodo serta ancaman-ancaman yang akan dihadapi oleh warga lokal di masa depan. Penjelasan mengenai sejarah tiga kampung tersebut kenapa kemudian dianggap sangat urgen, karena dengan demikian kita dapat melihat dengan jelas kronologi kejadian berdasarkan penuturan warga lokal langsung, bagaimana mereka menjadi bagian yang dikorbankan oleh negara.

Mereka sengaja dibentuk menjadi warga yang tidak bisa menikmati berbagai fasilitas publik sebagaimana rakyat pada umumnya serta hak-hak mereka yang lainnya tidak terpenuhi oleh negara.

Muncul berbagai indikasi dan dugaan bahwa keberadaan Taman Nasional Komodo bukanlah untuk rakyat di Nusa Tenggara Timur terutama Labuan Bajo, akan tetapi keberadaan Taman Nasional Komodo hingga saat ini hanyalah untuk mensejahterakan korporasi-korporasi yang dipegang oleh para elit politik, pengusaha lokal maupun asing. Taman Nasional Komodo menjadi pusat bisnis dan pariwasata yang dikelola oleh pihak-pihak asing, sedangkan warga lokal hanya bisa menikmati bagian kecilnya dari pariwisata dan bahkan warga lokal hanya menjadi penonton atas kekayaan alam di tanah mereka (Paju Dale, 2013).

Asal Usul Kampung Komodo

Kampung Komodo yang terletak di sebelah Barat daratan Flores merupakan wilayah kepulauan yang termasuk wilayah Pulau Komodo (lihat Gambar 2). Secara administratif Pulau Komodo termasuk ke dalam wilayah di bawah kekuasaan pemerintah daerah Nusa Tenggara Timur. Dalam sejarahnya Pulau Komodo merupakan wilayah yang pernah dikuasai oleh Kesultanan Bima Nusa Tenggara Barat. Raja Bima saat itu yang menguasai sebagian wilayah NTT adalah Sultan Hamid Abdullah. Sultan Hamid Abdullah ekspansi wilayah hingga ke bagian timur Nusa Tenggara Barat, salah satunya adalah Pulau Komodo yang termasuk wilayah Manggarai Barat. Sebelah utara Desa komodo berbatasan dengan Laut Flores, Sebelah Selatan berbatasan dengan Selat Sumba, Sebelah Timur berbatasan dengan Pulau Papagarang dan sebelah barat berbatasan dengan Selat Sape  (Perangkat Desa Komodo, 2015).

Tahun 2015, Desa Komodo dihuni oleh 450 KK (BPS, 2015). Dalam sejarahnya, penduduk di Pulau Komodo tidak bisa berkembang. Cerita ini ada hubungannya antara orang-orang asli komodo denan binatang komodo. Hal inilah yang membuat orang-orang di Kampung Komodo hingga saat ini masih bertahan di kampung komodo, meskipun hidup di dalam wilayah yang masuk dalam kawasan konservasi. Beberapa warga yang kini tinggal di Kampung Komodo yang berhasil kami wawancarai terkait asal usul Kampung Komodo salah satunya adalah Pak Ishaka Mansyur (67 tahun). Menurutnya, dalam wawancara kami dengan beliau pada 5 Agustus 2016, berdasarkan cerita turun temurun yang ia dapatkan dari orang tuanya, bahwa Pulau Komodo merupakan tempat persinggahan orang-orang dari Bima melalui Selat Sape, salah satunya adalah Raja Bima yakni Sultan Hamid Abdullah.

Sultan Hamid Abdullah itu memiliki perawakan tinggi besar, menurutnya ialah yang kemudian melakukan pernikahan dengan perempuan di Kampung Komodo, yaitu Putri Naga (ratu ular) atau nama lainnya adalah Muriati (ini yang kemudian menjadi bagian cerita bahwa orang-orang di Kampung Komodo bersaudara dengan binatang komodo). Sebelumnya juga kami mendengar cerita dari pak Ishaka, bahwa orang komodo asli yang pertama kali tinggal di kampung komodo adalah Mpu Najo (yang kemudian menikah dengan Putri Naga atau nama lainnya Naga Luri).

Mpu Najo ini adalah pendatang, Mpu Najo ini adalah Sang Bima atau Sultan Bima yang bernama Hamid atau Hamid Abdullah. Karena kesaktian yang dimiliki oleh Sultan Hamid, maka hanya ia saja yang bisa menikah dengan orang di Kampung Komodo, karena ia berasal dari keturunan bangsawan.

Singkat cerita, antara Mpu Najo dengan Naga Luri pertama kali bertemu di salah satu gunung yang terdapat di Pulau Komodo, yaitu Gunung Naga yang tepatnya terletak di Loh (teluk) Lawi. Di gunung tersebut hanya ditemukan tujuh buah rumah. Kampung yang dihuni oleh orang-orang yang tinggal ditujuh rumah itu adalah bernama Keli Manga (bahasa komodo, Keli artinya kampung, Manga artinya lama). Kampung tersebut diperkirakan merupakan kampung yang ditinggali oleh orang-orang komodo pada zaman dahulu. Sehingga, orang-orang di kampung komodo sekarang menyebutnya kampung zaman orang-orang purba. Keli Manga merupakan wilayah peninggalan Sultan Bima yang diperkirakan hingga sekarang masih terdapat harta peninggalan kejayaan Sultan Hamid. Gunung Naga merupakan istana dari Sultan Hamid.

Informasi lain yang kami dapatkan bahwa sebelum terbentuknya satu pemukiman yang sekarang terpusat di Kampung Komodo, jauh sebelum itu orang-orang di kampung komodo telah hidup di Gunung Ara, Keli Manga, Loh Liang dan tempat lainnya. Namun, berdasarkan informasi yang kami dapatkan dari beberapa narasumber, orang-orang asli komodo dahulu tinggal di Gunung Ara (Wawancara dengan H. Akbar pada 6 Agustus 2016). Gunung Ara merupakan tempat tinggal raja di Kampung Komodo dahulu, namanya Sengaji Ara (bahasa Komodo, Sengaji artinya raja). Sengaji Ara adalah raja di Kampung Komodo dahulu yang tinggal di Gunung Ara. Sengaji Ara juga merupakan tuan tanah saat itu, kenapa memilih tinggal di Gunung Ara, agar mereka terhindar dari perampok-perampok yang singgah di pantai yang kini menjadi kampung komodo. Jadi, orang-orang komoodo dahulu yang tinggak di Gunung Ara bisa melihat orang jahat yang datang dari luar dari Gunung Ara. Salah satu keturunan dari Sengaji Ara yang kini masih ada H. Aksan (Kepala Desa sekarang).

Penuturan dari warga lain terkait asal usul Kampung Komodo disampaikan oleh Pak Saeh (Wawancara pada 4 Agustus 2016) salah satu pemahat patung komodo di Kampung Komodo. Di Kampung Komodo terdapat suku-suku yang pertama tinggal di Kampung Komodo, yaitu Suku Komodo adalah Mpu Najo, Suku Welak dari Manggarai dan Suku Atalabo, Suku Sumba dan Suku Bima. Suku Welak merupakan suku yang datang dari Manggarai dan kemudian salah seorang dari Suku Welak menikah dengan Suku Komodo yaitu Mpu Najo. Namun, dari hasil pernikahan tersebut tidak dapat menambah manusia, karena kebiasaan orang dahulu di Kampung Komodo ketika melahirkan perut si perempuan yang sedang mengandung harus dibelah. Datangnya Suku Labo yang berasal dari Sumba bermula ketika istri dari Mpu Najo ini akan melahirkan, kemudian Mpu Najo tidak ingin menyaksikan proses pembelahan perut istrinya dan ia pun pergi ke tepi pantai.

Secara tidak sengaja, Mpu Najo bertemu dengan orang Sumba yang hendak pergi ke Sumbawa. Sebelum menggunakan mesin perahu, orang Sumba dahulu masih menggunakan perahu layar, karena melawan arus laut, maka orang Sumba yang hendak ke Sumbawa itu terbawa arus hingga ke Loh Wawu Pulau Komodo.

Akhirnya, Mpu Najo menceritakan apa yang menjadi kegelisahannya kepada orang Sumba. Salah satu dari orang Sumba adalah seorang dukun beranak, maka diajaklah Mpu Najo untuk menyelamatkan istrinya yang hendak melahirkan. Setelah dibantu oleh dukun beranak dari Sumba, istri Mpu Najo ini melahirkan dengan normal. Keanehan yang terjadi setelah melahirkan adalah dua bayi kembar, satu dalam wujud binatang komodo, satunya dalam wujud manusia. Diberilah nama Sebae (bahasa komodo artinya sebelah) untuk Ora (komodo) ini, sedangkan bayi manusia diberi nama Epa. Akhirnya begitu melahirkan Mpu Najo itu senangnya kepada orang Sumba itu, maka ia diberi imbalan diberi tanah dari Loh Wawu sampai loh Wawu (Wawancara dengan H. Amin pada 7 Agustus 2016)

Karena saudara kembar manusia ini adalah seekor binatang komodo, maka ia sama sekali tidak bisa makan nasi ataupun minum air susu ibunya. Binatang komodo harus makan daging, dipeliharalah komodo ini.

Kebiasaan orang-orang di kampung komodo dahulu adalah berburu rusa, maka Sebae pun biasa diberi makan bagian kepala, perut dan kulit rusa sebelum ia bisa mencari makan sendiri. Sesekali ia turun ke perkamoungan dan mencuri ayam milik warga. Ia pun ditegur oleh mamak nya supaya tidak mencuri ayam warga lagi. Dan ia pun pergi ke hutan ketika berumur sekitar dua tahun untuk mencari makan sendiri dan mulai bergabung dengan komodo hutan lainnya. Dari penuturan H. Amin dan berdasarkan cerita turun-temurun, komodo yang memiliki jari lima ia tidaklah ganas. Sebae pun sesekali pulang untuk menengok adik dan ibunya.

Setelah itu, barulah manusia di kampung komodo dapat berkembang. Suku-suku yang berada di Pulau Komodo terbagi dibeberapa wilayah. Sebelum tinggal terpusat di satu wilayah kampung komodo, dahulu suku-suku pendatang tinggal di beberapa wilayah di Pulau Komodo, seperti Suku Sumba tinggal di wilayah Rebong, Suku Welak tinggal di Kampung Komodo yang sekarang, Suku Atalabo tinggal di Gunung Ara, dan Suku Bima tinggal di Loh Sebita (Wawancara dengan Pak Saeh pada 4 Agustus 2016.)

Sumber lainnya mengatakan bahwa yang pertama kali datang ke kampung komodo itu adalah Suku Ambon, Suku Labo, Suku Welak. Ketiga suku ini saling hantam untuk memperebutkan wilayah Pulau Komodo. Namun, Mpu Najo sebagai ketua Golo akhirnya membagi beberapa wilayah agar ditinggali oleh suku-suku pendatang. Suku Welak diberi satu wilayah di Loh Liang dan Suku Labo di Loh Sebita (Wawancara dengan H. Amin pada 7 Agustus 2016).

Selain orang-orang yang datang dari suku di atas, datang juga orang yang berasal dari Suku Bugis, setelah datang suku Bugis barulah orang-orang dapat mengetahui bagaimana cara menangkap ikan. Sebelumnya mereka berburu dan menangkap ikan hanya dengan jaring. Sedangkan dari Suku Bima bisa menangkap ikan dengan pukat.

Makanan orang dahulu di kampung komodo adalah raut (umbi-umbian), mbutak (sagu) nama lain mbutak adalah kerampi. Mbutak dan kerampi makanan seperti sagu yang diambil dari daun lontar atau gebang (Wawancara dengan Pak Saeh pada 4 Agustus 2016) Namun, sekarang orang-orang di Kampung Komodo makan nasi sebagai makanan pokoknya.

Meskipun tinggal di pulau yang jauh dari jangkauan kota Labuan Bajo, akan tetapi warga di kampung komodo memenuhi kebutuhan hidupnya dengan membeli segala kebutuhan sandang, pangan dan papan ke kota Labuan Bajo, bahkan ada pula yang ke Bima Nusa Tenggara Timur.

Desa Pasir Panjang Pulau Rinca

Kampung lainnya yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Komodo adalah salah satu kampung di Pulau Rinca, tepatnya di Desa Pasir Panjang. Desa dengan luas wilayah 19.625 km2 terdiri dari beberapa kampung yang tidak terpusat di satu pulau, satu kampung lainnya berada di Pulau Kukusan. Satu perkampungan lainnya masih satu pulau yaitu Kerora (ke arah barat Pasir Panjang). Sama halnya dengan masyarakat di Kampung Komodo, masyarakat di Desa Pasir Panjang pun masih memiliki ikatan persaudaraan dengan binatang komodo.

Asal usul pemberian nama Rinca didasarkan pada pemberian nama oleh orang dari Kampung Komodo. Rinca dalam bahasa komodo sebenarnya adalah Rincak (artinya tiba). Rinca menjadi tempat persinggahan orang-orang dari Pulau Komodo, sebelum kembali ke Pulau Komodo. Selain Rincak, dua nama lainnya yang diberikan oleh orang dari Pulau Komodo adalah Pasir Panjang (bahasa komodo, kelaeng artinya Pasir dan lewar artinya Panjang).  Nama lainnya kampung adalah Welek (bahasa komodonya layang-layang, karena saat itu melihat anak-anak sedang bermain layangan).( Wawancara dengan H. Ishak (61 tahun) pada 24 Agustus 2016)

Jumlah penduduk di Desa Pasir Panjang 1.612 jiwa dan jumlah Kepala Keluarga 402 KK. Terdapat dua dusun, yaitu Dusun Bajo dan Dusun Komodo. Pemberian nama dusun pun berdasarkan pemberian orang-orang yang dahulu pertama tinggal di Pasir Panjang. Dahulu di Dusun Komodo yang tinggal hanyalah orang-orang yang berasal dari Suku Komodo, begitu pun dengan Dusun Bajo. Namun kini, baik yang tinggal di Dusun Bajo ataupun Dusun Komodo sudah bercampur. Penduduk pendatang di Desa Pasir Panjang pun tidak hanya berasal dari dua suku terdahulunya, namun adapula pendatang yang dari Bima, Selayar, Flores, Ende dan Jawa. (Sity M. Qoriah/Peneliti pada ARC Bandung)

 

Publikasi Lainnya