Penduduk desa Papagarang tidak hanya mempertanyakan status wilayah desa yang berada dalam kawasan Taman Nasional Komodo, tetapi juga mempertanyakan manfaat dari pembentukan TNK. Ruang penghidupan mereka sebagai nelayan makin sempit.
sunspirit.org-Warga Pulau Papagarang tidak mampu menyembunyikan rasa kecewa bercampur tanya perihal kemelut hidup yang kian mereka rasakan bsemenjak masuk dalam kawasan Taman Nasional pada tahun 2002. Keberadaan TNK diharapkan mampunya meningkatkan perekonomian masyarakat, nyatanya ruang kehidupan nelayan malah semakin dipersempit.
Muthalib (81), seorang tokoh Papagarang yang sehari-hari berprofesi sebagai nelayan tradisional mengungkapkan kekhawatirannya tersebut.
“Dulu ikan-ikan di sini sangat banyak. Kami tangkap dan bawa jual sampai ke Bali, tapi sekarang makin susah dapat ikan. Hidup makin susah,”ujar Muthalib dengan nada lirih.
Ia bercerita bahwa sebelum ada taman nasional, terutama sebelum kawasan Papagarang masuk menjadi bagian dari TNK, kehidupan para nelayan masih lumayan baik. Mereka bebas mencari ikan dan mengambil kayu bakau tanpa rasa takut atau was-was. Hasil tangkapan para nelayan, sebagian untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan sebagian lainnya dijual ke pasar-pasar tradisional seperti di Bari dan Terang di bagian barat Pulau Flores.
Muthalib tidak tahu pesis mengapa hasil tangkapan beberapa tahun belakangan ini kian merosot tajam bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Ia hanya menduga menurunnya hasil tangkapan nelayan akibat pembatasan-pembatasan yang dilakukan melalui sistem zonasi yang diterapkan di dalam kawasan TNK.
Selain itu, kemungkinan beberapa oknum nelayan masih menggunakan alat tangkap yang kurang ramah lingkungan seperti bom, potasium atau atau zat-zat kimiawi lainnya. Tetapi sangat boleh jadi akibat dari semakin berkembangnya teknologi yang semakin modern.
Kondisi sulit seperti ini, bukan hanya dihadapi oleh Muthalib tapi juga sebagian besar nelayan lainnya. Sejumlah nelayan mengaku, kehidupan mereka kian susah setelah Papagarang ditetapkan oleh pemerintah sebagai daerah konservasi Taman nasional komodo.
“Padahal, di sini tidak ada komodo. Kami tidak tahu dan bertanya-tanya mengapa pemerintah masukan Papagarang sebagai taman nasional komodo padahal di sini tidak ada komodonya,”ujar Muhamad Suci, seorang staf desa. Masuknya Papagarang sebagai taman nasional memang masih menyimpan beragam tanya dan menjadi perbincangan di tengah masyarakat Papagarang.
Sebagian warga mengaku tidak tahu menahu jika kawasan Papagarang sudah ditetapkan menjadi bagian dari taman nasional. Warga pantas bertanya karena hingga kini pemerintah belum melakukan sosialisasi terkait kebijakan perluasan kawasan tersebut.
Di tengah ketidaktahuan warga, pemerintah malah secara sepihak melakukan beberapa kegiatan yang justru menimbulkan kecurigaan seperti pemasangan pilar-pilar di beberapa titik lokasi di area Papagarang. Keberadaan pilar-pilar tersebut selain memunculkan pertanyaan dan kecurigaan, sekaligus menimbulkan suasana kurang nyaman di tengah masyarakat. Seorang warga bahkan mengaku terpaksa mencabut buang sejumlah pilar karena ditanam di atas lahan miliknya.
Suharto, salah seorang warga yang juga staf pemerintah desa setempat mengatakan bahwa sebagian tanah di Pulau Papagarang merupakan hak milik perorangan. Meski demikian, tanah-tanah itu hingga kini tak kunjung disertifikasi oleh pemerintah dengan beragam alasan seperti karena Papagarang merupakan daerah konservasi sehingga tanah-tanah di kawasan itu tidak bisa disertifikasi.
“Beberapa kali kita sudah usulkan kepada pemerintah agar tanah-tanah kami bisa disertifikat tapi sampai sekarang belum ada kejelasan,”ujarnya. Padahal menurut dia, dengan sertifikat maka warga dapat meminjam uang di bank untuk modal usaha atau untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya.
Zonasi dan Hilangnya Lahan Nelayan
Selain pemasangan pilar-pilar pembatas di area daratan, di beberapa titik di wilayah perairan pun nelayan mulai dilarang mengambil hasil laut terutama di beberapa lokasi yang selama ini menjadi ‘lahan garapan’ para nelayan. Warga menyebutkan sedikitnya sebanyak 8 spot atau titik lokasi di area perairan Papagarang yang selama ini menjadi sumber utama bagi nelayan mencari nafkah. Namun, menurut informasi pula, di lokasi-lokasi tertentu tersebut kini sudah mulai dikapling-kapling untuk kepentingan pariwisata.
Sejumlah nelayan mengaku takut masuk dan beraktivitas mengambil hasil laut. Ketakutan warga bukan tanpa alasan. Beberapa waktu lalu pernah terjadi penangkapan terhadap sejumlah nelayan oleh aparat keamanan laut. Para nelayan tersebut dikabarkan ditangkap karena melanggar peraturan dalam kawasan. Mereka dicurigai melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan alat-alat yang kurang ramah lingkungan. Kasus tersebut kini masih dalam proses oleh pihak berwenang.
Selain menimbulkan rasa ketakutan dan rasa tidak nyaman, aksi penangkapan terhadap nelayan itu juga menimbulkan relasi interaksi relasi antar warga menjadi terganggu karena lantaran saling curiga di antara warga.
Dengan adanya pembatasan-pembatasan tersebut, nelayan Papagarang merasa dirugikan lantaran ruang gerak mereka untuk mencari ikan semakin dipersempit.
“Kami tidak bebas lagi menangkap ikan dan takut menangkap ikan seperti dulu lagi,” ungkap Anwar seorang nelayan. Selain masalah penetapan Papagarang sebagai taman nasional berikut sistem zonasi dan pembatasan-pembatasan yang dilakukan secara sepihak oleh pemerintah, ada fenomena ironis yang dirasakan oleh masyarakat setempat.
Di satu sisi nelayan dilarang beraktivitas di lokasi-lokasi yang selama ini menjadi tempat mencari ikan, tapi di sisi lain di tempat-tempat itu justru kini menjadi lokasi favorit bagi para wisatawan untuk melakukan aktivitas snorkeling atau diving.(Kornelis/Peneliti SSP)