Adriani Miming
Setelah sebelumnya tertunda akibat tekanan dari masyarakat sipil dan peringatan dari UNESCO, Pemerintah Indonesia kembali melanjutkan upaya meloloskan proyek korporasi swasta di dalam kawasan Taman Nasional Komodo.
Bulan lalu, bertempat di Golo Mori Convention Center, Labuan Bajo, berlangsung pertemuan yang diklaim sebagai konsultasi publik untuk membuat dokumen lingkungan bagi PT Komodo Wildlife Ecotourism (PT KWE).
Perusahaan yang terhubung dengan Setya Novanto dan Tommy Winata itu merupakan satu dari beberapa korporasi yang telah mengantongi Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA) di kawasan Taman Nasional Komodo.
Di Pulau Padar, salah satu wilayah konsesinya seluas 274,13 hektare, PT KWE akan mendirikan 619 bangunan, termasuk ratusan vila.
Masuknya korporasi swasta ke Taman Nasional Komodo adalah bagian dari cerita panjang tentang bagaimana ruang hidup masyarakat adat Ata Modo yang dahulu direbut atas nama konservasi, kini dikomersialisasi melalui konsesi bisnis.
Sunspirit merangkum catatan perjalanan kawasan itu sejak lebih dari setengah abad lalu, dari sebelumnya sebagai milik masyarakat adat hingga kini beralih ke korporasi swasta, termasuk PT KWE.
Sebelum 1965
Penduduk di dalam kawasan Taman Nasional Komodo, salah satunya Ata Modo di Pulau Komodo sudah mendiami pulau ini sejak ratusan tahun, jauh sebelum penetapan pulau sebagai kawasan lindung.
Selama ratusan tahun itu, Ata Modo dan satwa Komodo hidup berdampingan. Ata Modo memiliki kepercayaan turun-temurun bahwa satwa Komodo adalah saudara kembar mereka yang lahir dari rahim ibu yang sama. Dalam bahasa Komodo (Wana Modo), satwa Komodo dikenal dengan nama Sebae, artinya sebelah atau kembar.
Sebelum 1980-an, mayoritas warga Kampung Komodo adalah petani dan nelayan. Selain di sekitar Kampung Komodo sekarang, kebun warga tersebar di Loh Liang dan Loh Sebita.
Bentangan laut luas yang mengelilingi Pulau Komodo sekaligus menghubungkannya dengan pulau-pulau sekitar merupakan lumbung ikan, gurita, teripang, dan aneka jenis hasil tangkapan lain.
1965-1980: Warga Disingkirkan Atas Nama Konservasi
Transformasi kawasan Taman Nasional Komodo bermula pada 21 Oktober 1965.
Kala itu pemerintah menetapkan Pulau Komodo sebagai Suaka Margasatwa melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.66/Dep.Keh/1965.
Pada saat bersamaan, terjadi penggusuran pemukiman lama masyarakat adat di Pulau Komodo.
Aparat negara memasuki wilayah-wilayah yang ditempati masyarakat dengan dalih pemantauan satwa liar, khususnya komodo.
Salah satu titik awal konflik adalah di Loh Liang yang kini menjadi gerbang utama menuju Pulau Komodo.
Bagi masyarakat Komodo, Loh Liang adalah kampung dan kebun mereka.
Namun, pada masa Orde Baru, terjadi penggusuran paksa, dengan pendekatan militeristik.
Sejak saat itu, masyarakat Komodo terpisah dari sumber-sumber penghidupan mereka.
Pada 1969, Pulau Komodo, Pulau Padar dan Pulau Rinca ditetapkan sebagai Hutan Wisata melalui Surat Keputusan Gubernur KDH Tk. I NTT No. 32 tahun 1969.
Pada 1977, UNESCO lalu menetapkan kawasan ini sebagai Cagar Biosfer.
Puncaknya, pada 6 Maret 1980, pemerintah menetapkan kawasan ini secara resmi sebagai Taman Nasional Komodo.
Seiring hadirnya Balai Taman Nasional Komodo sesudah penetapan Pulau Komodo dan sekitarnya menjadi taman nasional, kehidupan warga setempat berubah.
Karena makin sempitnya akses untuk menangkap ikan, banyak yang meninggalkan pekerjaan menjadi nelayan. Mereka beralih menjadi pengrajin dan penjual suvenir dan kuliner di lokasi kunjungan turis di Loh Liang, 15 menit dengan perahu nelayan dari Kampung Komodo.
1991-2000: Pengakuan Dunia hingga Pembatasan Akses Lokal
Pada 1991, UNESCO menjadikan Taman Nasional Komodo sebagai Situs Warisan Dunia.
Setahun kemudian, Presiden Soeharto memperluas cakupan taman nasional hingga perairan seluas 132.572 hektare.
Alih-alih melindungi alam dan masyarakatnya, perluasan ini justru memperketat batasan bagi warga lokal.
Aktivitas memancing, berkebun, dan mencari hasil hutan mulai dibatasi, kendati hal tersebut telah menjadi bagian dari sistem ekologis dan budaya masyarakat setempat.
2003–2012: Konservasi Bergeser Jadi Konsesi
Merujuk peta zonasi KLHK, lahan yang diperuntukan warga Kampung Komodo hanya 27 ha selama periode 2012-2018. Di sisi lain, KLHK melakukan dua kali perubahan kawasan zonasi dengan menambah zona pemanfaatan.
Perubahan besar kawasan itu terjadi pada 2012 melalui Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam nomor SK.21/IV-SET/2012 tentang Zonasi Taman Nasional Komodo. Perubahan ini mengonversi ratusan hektare wilayah di beberapa pulau. Pulau Tatawa, Pulau Padar, Pulau Rinca, dan Pulau Komodo dibagi-bagi ke dalam apa yang disebut zona pemanfaatan wisata daratan.
Keputusan itu kemudian diikuti pemberian izin konsesi bisnis bagi perusahan-perusahan swasta.
Di Pulau Tatawa, pada 2014, pemerintah memberi izin seluas 6,49 ha ke PT Synergindo Niagatama. Konsesi ini diperluas menjadi 15,32 ha pada 2018. Ini setelah pemerintah melakukan perubahan desain tapak dengan menambah luas ruang usaha dan mempersempit ruang publik di pulau itu.
Sementara di Pulau Padar, pada 2014 juga, konsesi seluas 274,13 ha diberikan ke PT Komodo Wildlife Ecotourism. Korporasi ini juga diberi konsesi serupa seluas 154,6 ha di Pulau Komodo.
Perusahaan lain, PT Segara Komodo Lestari, diberi konsesi seluas 22,1 ha di Pulau Rinca pada 2013.
Memasuki awal 2000-an, paradigma konservasi mulai bergeser ke arah korporatisasi.
Pilihan meninggalkan pekerjaan sebagai petani dan nelayan itu juga kian masif ketika pemerintah mulai menetapkan sistem zonasi pada 2001. Ruang gerak warga hanya dibatasi pada kawasan yang disebut zona pemanfaatan tradisional.
Lewat kebijakan itu, sejumlah wilayah tangkapan nelayan dijadikan zona konservasi alam bawah laut sekaligus menjadi lokasi wisata menyelam seperti diving dan snorkeling. Nelayan dilarang menangkap hasil laut di sana.
Warga juga direlokasi secara paksa dari kampung asli di Loh Liang ke kampung Komodo saat ini.
Pada 2003, pemerintah memberikan izin pengusahaan pariwisata alam kepada PT Putri Naga Komodo (PNK) melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 155/Menhut-II/2003.
PNK adalah perusahaan patungan antara PT Jayatsa Putrindo dan organisasi konservasi internasional The Nature Conservancy (TNC).
Izin yang berlaku selama 30 tahun ini menandai awal privatisasi kawasan konservasi.
Namun setelah satu dekade, PNK bubar tanpa pertanggungjawaban publik yang jelas, menyisakan konflik mengenai dana konservasi senilai Rp16 miliar.
2012–2015: Gelombang Baru Korporasi Masuk
Pemerintah berdalih bahwa konsesi perusahaan tidak mengganggu konservasi karena berada di zona pemanfaatan.
Namun, yang luput disampaikan kepada publik dan UNESCO adalah bahwa zonasi tersebut telah diubah terlebih dahulu pada 2012 lewat SK KLHK Nomor 21/IV-SET/2012 tentang Zonasi Taman Nasional Komodo.
Perubahan zonasi itu tidak dikoordinasikan dengan UNESCO, sehingga lembaga itu mempersoalkannya setelah mendapat desakan dari masyarakat sipil.
Dari titik inilah, gelombang korporatisasi kawasan TNK kian menguat, ditandai dengan munculnya sejumlah perusahaan swasta yang mengajukan izin pengelolaan jasa wisata di wilayah konservasi ini.
Sebelum perubahan zonasi, Pulau Padar sepenuhnya berstatus zona inti dan zona rimba.
Melalui SK No.21/IV-SET/2012, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengonversi 303,9 hektare lahan di Pulau Padar menjadi zona pemanfaatan wisata darat, yang kemudian dibagi menjadi 275 hektar untuk ruang usaha dan 28,9 hektare untuk ruang wisata publik.
Pola serupa terjadi di Pulau Tatawa yang awalnya merupakan zona rimba pada 2001. Melalui SK yang sama pemerintah mengubah 20,944 hektare lahan menjadi zona pemanfaatan wisata darat, dengan 14,454 hektare untuk ruang publik dan 6,49 hektare untuk ruang usaha.
Sejak 2012, muncul tujuh perusahaan swasta baru yang mengajukan izin pengelolaan jasa wisata di dalam TNK.
Dua di antaranya—PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) dan PT Segara Komodo Lestari (SKL)—mendapat izin resmi dan mulai beroperasi. PT KWE mendapat izin dan konsesi seluas 274,81 hektare di Pulau Padar dan 154,6 hektare di Pulau Komodo melaui SK No.7/1/IUPSWA/PMDN/2015.
Perusahaan ini terafiliasi dengan Reza Herwindo, anak Setya Novanto, politisi Partai Golkar.
Sementara itu, PT SKL yang beroperasi di Pulau Rinca dengan konsesi 22,1 hektar, dengan SK No.796/Menhut-II/2014. Perusahaan ini dimiliki oleh Yozua Makes, pemilik Grup Plataran yang juga aktif dalam sektor pariwisata eksklusif di kawasan konservasi Indonesia.
Pada saat bersamaan, PT Synergindo Niagatama juga mendapatkan konsesi di Pulau Tatawa.
Perusahaan ini awalnya mendapat izin seluas 6,49 hektare pada 2014, berdasarkan SK KLHK Nomor 21/IV-SET/2012 tentang Zonasi Taman Nasional Komodo, yang mengubah sebagian lahan menjadi zona pemanfaatan wisata, kemudian diperluas menjadi 15,32 hektare pada 2020 setelah terbitnya perubahan zonasi melalui Keputusan Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi Nomor SK.38/PJLHK/PJLWA/KSA.3/7/2018, yang membagi lahan menjadi ruang publik dan ruang usaha.
Synergindo diketahui memiliki afiliasi dengan konglomerasi sawit Wilmar International yang berelasi bisnis dengan Kaesang Pangarep, putra Presiden Joko Widodo.
2017–2022: Proyek Strategis, Penolakan Meluas
Korporatisasi kawasan TNK semakin dilembagakan ketika pada 2017, Presiden Jokowi menetapkan Labuan Bajo sebagai destinasi super prioritas.
Setahun kemudian, pemerintah membentuk Badan Otorita Pariwisata (BOP) Labuan Bajo-Flores sebagai lembaga pengelola pariwisata.
Sementara pemerintah pusat menyiapkan proyek strategis, di tingkat daerah Gubernur NTT mengumumkan rencana kontroversial untuk menutup Pulau Komodo dan merelokasi penduduknya. Rencana ini memicu gelombang penolakan besar dari masyarakat Komodo dan aktivis lingkungan.
Perlawanan masyarakat terhadap proyek konservasi berbasis bisnis berlanjut ketika pada 2022, Pemerintah Provinsi NTT melalui BUMD mereka, PT Flobamor, mengambil alih pengelolaan jasa pemanduan wisata di Pulau Komodo dan Padar.
Namun alih-alih memperkuat peran lokal, Flobamor justru menetapkan tarif masuk sebesar Rp3,75 juta per orang. Kebijakan ini menuai protes luas dari pelaku wisata, masyarakat lokal, dan publik nasional, hingga akhirnya dibatalkan.
Upaya untuk menaikkan tarif kembali dilakukan oleh Flobamor secara sepihak pada April 2023 dan Maret 2024, namun tetap ditolak, bahkan mendapat intervensi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Tekanan publik dan buruknya performa keuangan membuat PT Flobamor memutuskan mundur dari pengelolaan TNK per 22 Mei 2024.
Perusahaan menyatakan tidak sanggup melanjutkan bisnis karena beban biaya konservasi dan operasional tidak sebanding dengan pendapatan, serta terus menghadapi citra negatif di publik.
2024–2025: Konsesi Lama Dihidupkan Lagi
Setelah mundurnya PT Flobamor dari kemitraan pengelolaan jasa pemanduan wisata di TN Komodo pada Mei 2024, dua perusahaan swasta, yakni PT Nusa Digital Creative dan PT Pantar Liae Bersaudara, mengambil alih peran tersebut.
Namun, selain pengelolaan jasa pemanduan, kawasan TNK juga menjadi lokasi konsesi bagi sejumlah perusahaan swasta yang telah lebih dahulu memiliki Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Wisata Alam (IUPJWA).
Salah satu yang paling disoroti adalah PT Komodo Wildlife Ecotourism (PT KWE), yang telah lama memicu penolakan warga karena dinilai mengancam ekosistem dan kedaulatan wilayah adat masyarakat Komodo.
Penolakan terhadap PT KWE kembali menguat pada awal Agustus, saat perusahaan ini mempublikasikan rencana besar pembangunan pusat bisnis wisata di Pulau Padar.
Berdasarkan dokumen konsultasi publik yang digelar pada 23 juli 2025, PT KWE berencana membangun 619 unit bangunan, termasuk vila-vila eksklusif, spa, serta fasilitas publik lainnya. Pembangunan ini akan dilakukan di area seluas 15, 375 Hektare, atau sekitar 5,6% dari total wilayah konsesi PT KWE di Pulau Padar.