Pertanian sekarang ini milik siapa dan siapa yang diuntungkan? Ini sebuah pertanyaan yang diajukan oleh penulis ketika memfasilitasi pendidikan pertanian berkelanjutan di Susteran St.Damianus Binongko dengan beberapa petani pada tanggal 24-25 Mei 2013 yang lalu.
Selintas para peserta terdiam, mungkin sedang memilkirkan jawabannya. Namun ketika fasilitator mulai memandu dengan membuat tabel untuk sekedar membandingkan pertanian sebelum revolusi hijau dan setelah revolusi hijau mereka mulai memahami arah jawaban pertanyaan di atas.
Tabel di bawah ini merupakan hasil diskusi dari pertanyaan di atas. Dari tabel tersebut kemudian di tarik kesimpulan bahwa yang diuntungkan dari proses pertanian sekarang ini adalah perusahaan atau pabrik yang memproduksi benih, pupuk dan obat hama tersebut. Selanjutnya yang mendapatkan keuntungan kedua adalah para agen dan toko pertanian yang merupakan perpanjangan tangan perusahaan atau pabrik tersebut. Sedangkan pemerintah atau lembaga lain juga merupakan perpanjangan tangan dari perusahaan atau pabrik dan terkadang memanfaatkan keberadaan agen dan toko pertanian untuk bisa mendapat benih, pupuk dan obat hama yang kemudian diberikan kepada masyarakat petani.
Ujung-ujungnya tetap perusahaan/pabrik dan agen/toko pertanian yang mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut.
Kemudian dari tabel yang sama disimpulkan juga bahwa yang bisa melakukan proses bercocok tanam hanya mereka yang mempunyai modal (baca : uang) karena benih, pupuk dan obat hama semua harus dibeli. Mereka yang tidak punya uang hanya menjadi penonton dan menanti kemurahan hati pemerintah dan lembaga tertentu untuk memberikan bantuan. Itupun kalau pemerintah atau lembaga tersebut mempunyai anggaran untuk itu. Sehingga mau tidak mau petani harus meminjam dari tengkulak/rentenir dengan bunga sangat tinggi tentunya. Sedangkan bank tidak berani meminjamkan modal karena kuatir petani tidak mampu untuk mengembalikannya atau karena tidak seksi untuk ukuran perputaran uang.
Alih-alih kalau tidak bisa meminjam terpaksa menjual sebagian tanahnya untuk mendapatkan modal taninya. Namun kadang kala kebutuhan input pertanian juga semakin mahal dan modal untuk proses bercocok tanam juga semakin tinggi sehingga tidak mencukupi untuk kebutuhan modal tani dan biaya hidup. Tergadai semua tanah dan migrasi ke kota menjadi buruh dan bisa jadi tetap di kampong dan menjadi buruh di tanah yang pernah mereka miliki. Dan siapa yang membeli tanah mereka, pastinya yang memiliki modal.
Nah, dari kondisi yang di atas apa yang harusnya bisa dibuat? Ini pertanyaan yang sering muncul dan memang selintas mudah untuk menjawabnya namun sangat sulit untuk melaksanakannya. Namun yang perlu digarisbawahi adalah semangat dari pertanian berkelanjutnya itu.
Semangat kemandirian dengan memanfaatkan potensi-potensi yang ada di sekitar kita (input pertanian local), tanpa lagi harus tergantung dengan pada industry benih, pupuk dan obat hama dan pasar. Semangat untuk memperbaiki ekosistem yang telah rusak. Semangat untuk menghasilkan pangan sehat serta memperbaiki pranata social (baca : kearifan local yang pernah ada) serta praktik bertani yang lebih berkesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
*) John Pluto Sinulingga
Fakta
Dekade 70-an, Pemerintahan ORBA menggaungkan ‘Revolusi Hijau’ guna menggejot produksi beras setelah berkenalan dengan International Rice Research Institute (IRRI) yang bermarkas di Filipina. Dari IRRI Pemerintahan ORBA mendapatkan varietas padi baru yang masa panennya terbilang singkat dan memiliki produktivitas lebih tinggi.
Tidak hanya varietas baru yang ditebar di sawah-sawah petani. Pemerintah pun menyuntikan dana yang tidak kalah besar untuk produk pupuk dan pestisida kimia seperti urea, TSP, KCL dan pestisida.
Berbagai jenis benih lokal pun dilarang, kebiasaan bertani alami ditinggalkan. Terkenal pada ketika itu ‘bibit padi ajaib’ yang hasilnya spektakuler. Disusul benih unggul produksi IRRI seperti IR36, IR48, IR54, IR64 dll. Benih lokal seperti Woja Laka, Bengawan, Rojolele, Unus, Mentik, Cianjut ditinggalkan.
Hasilnya terbukti, pada tahun 1984/1985 Indonesia mencapai swasembada beras. Indonesia dijadikan role model pertanian bagi negara-negara berkembang. Dan Soeharto pun dianugerahi ‘medali emas’ Organisasi Pangan Dunia (FAO).
Tahukah anda hasilnya sekarang? Apa dampak dari ‘revolusi hijau’? Apa dampak dari kebijakan yang tidak berjangka panjang?
Sekedar sebagai misal. Lihatlah hamparan persawahan Lembor, pupuk kimia tidak hanya telah lama mendegradasi tingkat kesuburan tanah, tetapi juga hama jadi pemenang bebas mengisap sari manisnya. Lantaran ekosistemnya telah rusak, rantai makanan terputus.
Pemerintah pun pusing tujuh keliling, petani pun pening terpelanting. Hinggal muncul beras miskin (raskin). Sebuah jawaban setengah hati untuk negeri yang dibilang agraris.
Itu sudah!