Mengapa “Tidak Ada” Hak Asasi Manusia (HAM) di Flores?: Refleksi Kritis Memperingati Hari HAM 2024

Flores, 10 Desember 2024 — Dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Manusia Sedunia, diskusi publik bertajuk “Mengapa ‘Tidak Ada’ HAM di Flores?” diselenggarakan secara daring oleh Sunspirit for Justice and Peace bersama Rumah Baca Aksara dan Floresa.co. Diskusi ini mempertemukan para narasumber dari berbagai latar belakang: jurnalis, akademisi, aktivis, dan warga adat, untuk membedah relasi antara pembangunan dan pelanggaran HAM di Flores yang semakin kompleks.

Rian Juru dari Litbang Floresa.co membuka diskusi dengan menyoroti kontradiksi mendasar antara pembangunan dan pemenuhan HAM. Menurutnya, pembangunan yang seharusnya menjadi sarana pemenuhan hak-hak warga justru sering kali menjadi instrumen pelanggaran. 

“Pembangunan di Flores kerap mengesklusi warga lokal dari ruang hidup mereka, mempersempit akses terhadap sumber daya,” ujarnya. 

Ia menyebut proyek-proyek transisi energi hijau sebagai contoh nyata dari ironi ini, di mana “privatisasi lanskap semakin membatasi akses masyarakat terhadap sumber daya alam, yang merupakan hak dasar mereka.” 

Dalam pandangannya, pembangunan tidak bisa dipisahkan dari konsolidasi kekuasaan yang terus berlangsung, bahkan hingga ke tingkat lokal. “Kita justru sedang mengalami konsolidasi oligarki yang sangat solid yang terkondisikan oleh berbagai narasi tentang kedaruratan ekonomi, pangan, keamanan, iklim dan energi,” tambahnya.

Anastasia Ika, editor Floresa.co, menyoroti bagaimana media menjadi alat perjuangan di tengah pembangunan yang tak berkeadilan. Ia menegaskan bahwa “degradasi ekologi dan pengabaian hak warga adat adalah harga yang dibayar oleh masyarakat demi ambisi pembangunan.” 

Floresa hadir sebagai bagian dari gerakan sosial untuk memperluas suara warga yang sering kali dibungkam oleh kebijakan pembangunan. “Kami merasa masih perlu kolaborasi yang melibatkan pihak-pihak dengan keberpihakan serupa,” katanya. Ia juga menekankan pentingnya regenerasi, terutama di kalangan anak muda, agar perjuangan ini terus berlanjut.

Dari akar rumput, Yosef Erwin, warga adat Wae Sano, membagikan kesaksian tentang perlawanan masyarakat terhadap proyek panas bumi. Baginya, Wae Sano bukan sekadar tempat tinggal, tetapi ruang hidup yang ditopang oleh lima pilar dasar kehidupan orang Manggarai. “Jika salah satu pilar dirusak, kami tidak bisa lagi hidup di sana,” tegasnya. 

Ia mengaku kecewa karena suara masyarakat terus-menerus diabaikan oleh negara. “Mengapa disebut bahwa ‘tidak ada HAM di Flores’? Karena setiap kali masyarakat menolak pembangunan yang merampas hak mereka, suara kami selalu diabaikan,” ungkapnya. 

Meski begitu, ia menegaskan bahwa perlawanan tetap penting, dan kekuatan sejati ada pada pemahaman bersama atas nilai-nilai budaya Manggarai, termasuk lampek lima.

Venan Haryanto, peneliti PhD dari Universitas Bonn, memberikan analisis tajam tentang bagaimana pembangunan berbasis ekonomi hijau justru memperparah pelanggaran HAM. “Alih-alih green economy ini datang dengan suatu niat baik transisi energi untuk perbaikan lingkungan, yang terjadi adalah pembongkaran banyak potensi tambang ke depan,” jelasnya. 

Ia mempertanyakan proyek-proyek internasional seperti COP29, yang menurutnya lebih banyak diisi oleh aktor-aktor yang punya kepentingan ekonomi. “Apakah benar-benar yang mereka usulkan ini adalah solusi yang memang dibutuhkan oleh kita atau kita menjadi zona yang dikorbankan oleh keseluruhan yang mereka lakukan ini?” 

Ia juga menyoroti peran Gereja yang semakin kabur dalam mengkritisi pembangunan. “Gereja malah tidak bersuara secara tegas kemudian mengambil bagian dengan pemerintah dan perusahaan,” kritiknya. 

Venan menilai bahwa sikap ini mencerminkan relasi Gereja yang terlalu dekat dengan kekuasaan, hingga kehilangan daya kritis.

Diskusi semakin hidup ketika para peserta melontarkan pertanyaan kritis, termasuk tentang posisi Gereja dalam menghadapi proyek-proyek pembangunan. Menanggapi hal ini, Pater Alsis memberikan refleksi mendalam dengan menyentil istilah bonum commune yang sering dipakai oleh Gereja. 

“Ketika salah seorang dalam kelompok masyarakat melakukan penolakan terhadap sebuah pembangunan, maka tidak ada bonum commune di sana,” ujarnya. Ia menegaskan bahwa masyarakat adat harus menjadi subjek pembangunan, bukan sekadar objek konsultatif. Dalam konteks Flores, ia menyarankan agar filosofi lokal seperti lampek lima dijadikan acuan dalam menilai keadilan pembangunan.

Publikasi Lainnya