Mataloko, 28 Mei 2025 — Dalam peringatan Hari Anti Tambang 2025, lebih dari seratus peserta dari berbagai wilayah di Flores dan Indonesia berkumpul di Aula Kemah Tabor Mataloko, Ngada, Nusa Tenggara Timur, untuk mengikuti seminar bertema “Ekstraktivisme, Kekerasan Negara-Korporasi, dan Perlawanan Rakyat.” Kegiatan ini menjadi ruang berbagi pengetahuan, pengalaman, dan perlawanan terhadap dampak penghancuran ruang hidup akibat proyek-proyek ekstraktif, terutama tambang dan panas bumi yang kian masif menyasar Pulau Flores.
Seminar ini menampilkan para narasumber dari beragam latar belakang: Pater Simon Suban Tukan, SVD Siti Maimunah (aktivis lingkungan dari JATAM), Hendro Sengkoyo, serta kesaksian dari para warga terdampak proyek panas bumi di Flores, Sumatera, dan Jawa.
Iman dan Ekologi: Tanah adalah Tubuh, Air adalah Darah
Mengawali seminar, Pater Simon Suba, SVD menegaskan bahwa gerakan melawan tambang dan ekstraktivisme adalah bentuk iman yang hidup. Ia menyitir Kitab Suci dan seruan Paus Fransiskus dalam Laudato Si’, bahwa bumi adalah “saudari kita” dan bukan objek eksploitasi.
“Tanah adalah tubuh. Air adalah darah. Udara adalah nafas. Api adalah energi kehidupan. Semua saling terkait. Jika tanah dirusak, tubuh kita terluka,” ujar Pater Simon. Ia mengajak umat untuk keluar dari paradigma eksploitatif warisan kolonialisme dan kapitalisme global, yang memandang bumi sebagai ‘benda mati’ yang bisa dijual, disewakan, dan dieksploitasi seenaknya.
Ia mengingatkan bahwa pembangunan yang tidak adil terhadap lingkungan adalah bentuk kekerasan. “Pembangunan yang tidak berkeadilan ekologis bertentangan dengan iman. Kita dipanggil bukan hanya untuk membangun ekonomi, tetapi merawat ciptaan,” katanya. Ia mengajak umat dan warga agar “tidak tunduk pada logika uang” dan mempertahankan hak atas tanah sebagai bentuk pertahanan martabat manusia.
Ekstraktivisme Mengakar, Perempuan Paling Terdampak
Siti Maimunah memaparkan bahwa akar dari perampasan ruang hidup adalah sistem ekonomi ekstraktif yang sejak awal berdiri di atas penghilangan hak rakyat. “Ekstraktivisme bukan hanya tambang, tapi logika pembangunan yang menghisap sumber daya dari wilayah rakyat untuk akumulasi segelintir elit. Wilayah Indonesia saat ini 94% telah dibebani izin industri ekstraktif, dari hutan, perkebunan sawit, hingga tambang,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa perempuan adalah kelompok yang paling terdampak, namun sering kali paling tidak diakui peran dan penderitaannya. “Perempuan kehilangan akses terhadap tanah, air, dan ruang hidup. Tubuh mereka menjadi sasaran kekerasan ketika bersuara. Tetapi perempuan juga yang bangkit paling pertama — menjaga air, menanam kembali, menggelar doa, bahkan menggugat ke pengadilan,” ujar Siti.
Ia menyebut berbagai bentuk perlawanan rakyat terhadap tambang, termasuk di Wadas, Sangihe, Halmahera, dan Flores, sebagai bukti bahwa rakyat tidak diam. “Yang kita lawan bukan hanya korporasi, tapi negara yang membentangkan karpet merah untuk perusakan ini. Tapi kita tahu, kita tidak sendiri,” pungkasnya.
Transisi Energi Palsu: Geotermal Tak Bersih, Penuh Racun
Hendro Sengkoyo memaparkan bahaya tersembunyi di balik proyek-proyek panas bumi (geotermal) yang selama ini diklaim sebagai ‘energi bersih’. Ia mengungkap bahwa banyak dari proyek tersebut membawa risiko kesehatan, sosial, dan ekologis yang parah.
“Gas H2S yang keluar dari sumur bor bisa mematikan. Warga di Sarula dan Mandailing Natal sudah jadi korban. Sumur panas bumi menghasilkan lumpur, air asam, bahkan bisa menimbulkan longsor dan getaran bawah tanah. Tapi ini tak pernah dijelaskan di awal,” kata Hendro.
Ia juga mengkritik Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 yang menyebut pembangunan 3.805 MW panas bumi baru. “RUPTL ini memperluas kapasitas pembangkit tanpa menghapus PLTU batubara. Jadi, ini bukan transisi, ini ekspansi. Transisi energi yang digembar-gemborkan hanya memperluas industri energi, bukan mengubah logika perampasan.”
Hendro menyebut bahwa proyek-proyek ini terus disetujui tanpa persetujuan warga yang sah. “Proyek geotermal melibatkan banyak aktor, dari BUMN, swasta, hingga lembaga internasional. Tapi suara warga diabaikan, bahkan diberangus,” tegasnya.
Kesaksian Warga: Penolakan yang Dijawab dengan Intimidasi
Bagian paling menggugah dari seminar adalah kesaksian para warga dari daerah yang telah atau tengah mengalami dampak langsung proyek panas bumi.
Dari Poco Leok, Manggarai, Agustinus Tuju menyampaikan bagaimana proyek PLTP Ulumbu Unit 5–6 telah mengancam ruang hidup dan tatanan adat mereka. “Kami punya lampek lima tanah, air, manusia, leluhur, dan kehidupan yang saling terkait. Jika salah satu dirusak, semua akan rusak,” katanya.
Ia mengaku bahwa pendekatan PT PLN dan aparat lebih mengedepankan intimidasi daripada dialog. “Kami dibilang anti pembangunan, padahal kami hanya ingin hidup. Konsultasi publik hanya formalitas. Warga dipecah, tokoh adat ditarik ke proyek,” keluhnya.
Romo Virgi dari Lembata juga membagikan bagaimana proyek geotermal telah menyebabkan keretakan sosial dan gangguan alam. “Pengeboran menyebabkan retakan tanah dan longsor. Masyarakat kehilangan air. Tapi tetap saja disebut ‘energi bersih’,” ujarnya.
Dari Dieng, Ibu Siti membagikan kisah bagaimana ia dan warga desa menghadapi intimidasi hanya karena bertanya soal dampak pengeboran. “Kami ditakut-takuti, dituduh menyebar hoaks. Padahal kami hanya ingin tahu dampaknya apa. Anak-anak kami jadi korban,” ucapnya dengan suara bergetar.
Warga dari Lasu Golo menambahkan bahwa salah satu tantangan utama adalah ketimpangan informasi. “Banyak warga tidak tahu soal risiko. Sosialisasi dari pemerintah hanya soal manfaat, bukan bahaya. Kita harus edukasi dari bawah,” katanya.
Menolak Ekstraktivisme, Menjaga Kehidupan
Seminar ini menjadi ruang konsolidasi bersama, menyatukan suara perlawanan rakyat lintas wilayah dan latar belakang. Diskusi berlangsung hangat, penuh solidaritas, dan diakhiri dengan pembacaan pernyataan sikap bersama.
Para peserta menegaskan bahwa mereka tidak anti pembangunan, tetapi menolak pembangunan yang menghancurkan kehidupan. “Kami menolak ekstraktivisme yang merampas tanah, air, dan masa depan. Kami menuntut penghentian proyek yang merusak dan mendesak pengakuan terhadap hak-hak rakyat atas wilayah hidup,” demikian kutipan pernyataan bersama.
Seminar ini juga menjadi momentum memperkuat jaringan perjuangan rakyat Flores, yang selama ini menghadapi proyek-proyek tambang dan energi dalam kondisi terpisah-pisah. Kini, dengan ruang seperti ini, mereka saling menguatkan.