Ancaman kerusakan ruang hidup sosial, ekonomi, ekologi, dan budaya warga Kota Labuan Bajo, Flores, Nusa Tenggara Timur, makin nyata tatkala langkah pemerintah yang menggandeng investor makin mulus merusak Hutan Bowosie. Hutan yang kini ‘non-hutan’ bernama “Parapuar” itu adalah ekosistem penting untuk menjaga keberlangsungan alam dan kehidupan masyarakat, juga mencegah bencana.
Akar petaka ekologis
Raja Juli Antoni, Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), menyerahkan sertifikat hak pengelolaan lahan di bekas kawasan hutan Bowosie kepada Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPO LBF), di Labuan Bajo pada 15 September 2023.
Acara itu dihadiri Angela Tanoesoedibjo, Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Sertifikat bernomor 00003 itu tertuang dalam SK MenATR/BPN Nomor 110 tentang pemberian hak pengelolaan [HPL] atas nama BPO-LBF untuk lahan 129.609 hektar.
Sertifikasi ini membuat jalan penghancuran ekosistem Hutan Bowosie oleh BPO LBF jadi makin mulus. Juga, kabar bahagia bagi investor yang sudah lama menunggu negara menyediakan karpet merah investasi di kawasan itu.
Langkah itu juga dilakukan di tengah protes publik luas atas alih fungsi kawasan Hutan Bowosie menjadi pembangunan destinasi wisata baru di kota pariwisata super prioritas, Labuan Bajo.
Badan Otorita Labuan Bajo mulai pengerjaan proyek pada April 2022, lalu memberi nama “Parapuar” untuk kawasan bekas hutan produksi RTK 108 Nggorang Bowosie itu.
Protes publik dan pemerhati lingkungan timbul sejak Badan Otorita dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 32/2018. Regulasi yang juga memberikan lahan otoritatif seluas 400 hektar kepada lembaga itu di Hutan Bowosie.
Pada Desember 2020, Surat Persetujuan Menteri LHK No.S.889/2020 keluar untuk pelepasan kawasan hutan demi kepentingan sarana pariwisata. Ia pakai skema tukar menukar kawasan hutan (TMKH) seluas 135,22 hektar dan izin pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam seluas 264 hektar.
Selanjutnya, BPO-LBF memublikasikan desain pembangunan sarana wisata di lahan itu pada Maret 2021. Terdapat empat distrik, yaitu cultural district (114,73 hektar), leisure district (63,59 hektar), wildlife district (89,25 hektar), dan adventure district (132,43 hektar).
Di dalam distrik-distrik itu akan dibangun antara lain, pusat budaya dan pusat pertunjukan, galeri Bajo, desa komersial, high-end resort, cable car dan banyak lagi.
Kebijakan negara atas kawasan hutan Bowosie ini kiranya hanya salah satu mekanisme kekuasaan yang sedang dan diprediksi terus memproduksi kehancuran ekologi dan ketidakadilan sosial di Labuan Bajo, sebagai kawasan strategis pariwisata nasional, pintu masuk menuju Taman Nasional Komodo.
Sedangkan di TN Komodo, konsesi lahan beberapa perusahaan swasta dan publik tak kunjung dicabut, meski selalu ditentang warga dan pegiat lingkungan.
Oleh negara, perusahaan-perusahaan ini diberi karpet merah melalui kebijakan utak-atik zonasi. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] merevisi zona-zona dalam cagar biosfer itu untuk memperluas ruang usaha, serentak mempersempit habitat satwa langka Varanus komodoensis. Tak hanya komodo, warga juga makin terancam kehilangan tempat tinggal dan ruang penghidupan.
Di bagian lain dari hutan Bowosie, KLHK juga ‘membongkar’ 30 hektar hutan untuk persemaian modern, berdalih mendukung destinasi wisata super prioritas.
Juga, beberapa proyek lain yang disebut proyek strategis nasional dengan meminggirkan warga dan merusak ruang hidup. Seperti, pembangunan jalan di Golo Mori dan infrastruktur energi geothermal yang gencar ditolak di Wae Sano, Poco Leok, dan beberapa titik lain di Pulau Flores.
Multi fungsi ekosistem
Alih fungsi atau pelepasan kawasan hutan, desain pembangunan sarana wisata, hingga sertifikasi lahan bekas hutan itu sarat kepentingan bisnis investasi. Jalan BPO-LBF pun sungguh dipermudah oleh regulasi negara, yang memberikan legal standing bagi penghancuran ekosistem hutan. Investor dapat ‘karpet merah’ dengan digadang-gadang tak perlu mendapatkan izin amdal/UKL-UPL dan izin mendirikan bangunan (IMB).
Hutan Bowosie, selain merupakan satu-satunya kawasan hutan yang paling dekat dengan Kota Labuan Bajo, juga ekosistem penting bagi satwa maupun masyarakat sekitar.
Posisi hutan di ketinggian rawan menimbulkan banjir kalau tidak ditahan pepohonan. Hutan ini jadi tempat resapan dan penyangga air.
Pada 4 April 2023, banjir terjadi dan menimbulkan kerusakan rumah warga yang berada di sisi hutan.
Kawasan karst ini menjadi tempat penyimpanan cadangan air bagi sekitar 11 mata air di sekitar Labuan Bajo. Yakni, Mata Air Wae Nahi, Sernaru, Ujung Sawah Sernaru, dan Kampung Lancang. Lalu, Wae Kesambi, Pasar Baru, Wae Kelambu, Wae Mata, Wae Mata Belakang Seminari, mata air Ujung Bandara/Binongko, dan Seminari Ketentang.
Sungai Wae Mese, yang jadi sumber utama sistem penyediaan air minum (SPAM) untuk Kota Labuan Bajo juga berada di sisi hutan Bowosie. Presiden Joko Widodo meresmikan SPAM Wae Mese II di lokasi itu pada 22 Juli 2022.
Sungai Wae Mese juga mengalirkan air untuk persawahan di Nggorang, Merombok, Satar Walang dan Tompong. Ia amat penting bagi ketersediaan pangan masyarakat Labuan Bajo.
Selain itu, Hutan Bowosie juga habitat burung kehicap Flores (Monarcha sacerdotum), gagak flores (Corfus florensis) dan serindit Flores (Loriculus flosculus).
Penghancuran kawasan hutan ini berarti pula penghilangan sengaja satwa-satwa endemik, yang makin langka ini.
Secara sosial, konflik antara BPO-LBF dan Komunitas Masyarakat Racang Buka makin tak terhindarkan pasca penerbitan sertifikat oleh ATR/BPN.
Pasalnya, lahan otoritatif seluas 400 hektar itu juga mencakup pemukiman dan pertanian warga di tepi barat. Warga yang sudah menetap sejak era 1990-an masuk dalam wilayah administratif Desa Gorontalo, dan telah berulang mengusulkan pembebasan lahan seluas 150 hektar.
Sedang 700-an warga petani dianggap sebagai perambah hutan dan mengalami tindakan represif aparat keamanan sejak proyek mulai pada 21 April 2022. BPO LBF yang hadir sejak 2018 memfasilitasi investor membangun sarana wisata premium di atas 400 hektar hutan.
Penguasaan atas Hutan Bowosie ini juga berbagai macam proyek yang sedang menggempur Labuan Bajo dan Pulau Flores, mengutip Dale (2020) berlangsung dalam mekanisme regulasi, kekuasaan, pasar, legitimasi, institusi, dan siasat infrastruktur.
Regulasi memungkinkan negara dapat berlaku ‘sesuai prosedur,’ sebagaimana pertanggungjawaban BPO-LBF atas tindakannya yang membabat hutan dan merepresi warga.
Regulasi juga membuat pemodal yang bercokol dalam kekuasaan bekerja semaunya.
Kekuasaan (force) negara yang maha-kuat nan timpang, dengan alat-alatnya membuat warga yang tak punya apapun sangat mungkin kalah dalam perebutan sumber daya. Terutama, karena pertarungan ini dikendalikan logika pasar yang penuh tipu daya.
Negara pun selalu berusaha menjadi legitimate dengan diseminasi wacana tentang kemajuan, kesejahteraan, pemerataan, super premium, super prioritas, dan lain-lain. Bahkan, tanpa malu menyebut pembangunan yang merusak hutan itu sebagai ‘berdimensi ekologis’.
Semua mekanisme ini berkait kelindan satu sama lain, termasuk penciptaan institusi legal seperti BPO-LBF, dan pembangunan yang gunakan siasat infrastruktur untuk meraup kekayaan bagi investor. Sedang warga makin terpinggirkan dan alam makin terancam.
Pembangunan sarana wisata yang merusak ekosistem Hutan Bowosie tentu hanya menguntungkan pemodal besar dan membuat warga makin kesulitan mengakses air minum layak. Padahal, pemerintah menargetkan 100% rumah tangga sudah bisa mengakses air layak minum pada 2030, target sama dengan UN Water.
Tak ada cara lain selain mengevaluasi alih fungsi hutan itu, demi mencapai tujuan pembangunan pariwisata ramah lingkungan, dan menjunjung tinggi keselamatan masyarakat serta ekosistem.
******
*Penulis adalah Anno Susabun, Divisi Riset dan Advokasi Sunspirit for Justice and Peace. Tulisan ini adalah opini penulis.
Artikel ini pertama kali terbit di Mongabay.co.id pada 13 Desember 2023