Ketegangan Proyek Geothermal di Poco Leok, Pengerahan Aparat yang Membuat Warga Tidak Aman

Ditulis oleh:Tim Floresa

Floresa.co – Senin pagi, 19 Juni 2023, sekitar pukul 09.00 Wita, komunitas warga adat Gendang Lungar, Tere, Jong dan Rebak bergegas menuju lokasi yang mereka sebut sebagai posko pemantauan untuk aktivitas proyek geothermal di Poco Leok.

Ditempuh 15 menit jalan kaki dari jalan raya, mereka menggelar aksi damai simbolik menolak proyek geothermal di posko itu yang dekat dengan well pad D Tanggong, salah satu titik target pemboran

Mereka memilih berdoa Rosario, doa dalam Gereja Katolik dengan mendaraskan Doa Salam Maria berulang-ulang, sambil merenungkan salah satu misteri yang dirangkai dalam bulir-bulir rosario.

Orangtua, kaum muda, laki-laki dan perempuan bergegas ke sana. Kendaraan mereka diparkir di lokasi yang disebut Meter.

Sementara itu beberapa warga memilih bertahan di pinggir jalan raya. Mereka menanti aparat keamanan yang membawa surat izin untuk deklarasi dari kelompok yang pro dengan proyek itu, sebagaimana dijanjikan sehari sebelumnya.

Pihak yang pro, kebanyakan datang dari luar wilayah Poco Leok, seperti Wae Koe, Golohado dan Satarmese Barat, melakukan deklarasi di lapangan Stasi Lungar, yang difasilitasi oleh PT PLN

Doa Rosario kelompok kontra membawa ujud memohon keselamatan dan ketenangan para leluhur Poco Leok, juga perdamaian dan kerukunan antarmereka.

Menjelang doa usai, seorang bapak muncul dan segera bergabung dengan warga. Ia membawa kabar bahwa telah terjadi insiden di tempat parkiran kendaraan warga di Meter.

Tanpa basa-basi,  warga langsung meninggalkan posko pemantauan dan segera bergegas ke sana.

Di sebelah utara posko pemantauan, memang terjadi ketegangan antara warga yang sedang menanti surat dengan seorang warga yang melintasi jalan raya dan hendak ikut deklarasi.

Kornelis Jangkur, warga asal Satarmese Barat itu datang dengan memboncengi sepeda motor dan langsung berhenti di tempat kerumunan warga.

“Untuk apa kamu tingga di sini?,” katanya menyapa mereka dengan nada yang terdengar intimidatif.

“Ini tanah kami. Anda baru datang. Anda yang harus kami tanyakan. Anda datang untuk apa ke Poco Leok?” beberapa warga menanggapinya.

“Kampung tidak boleh dihuni oleh orang-orang bodoh,” timpal Jangkur, yang membuat beberapa warga di lokasi itu marah.

Untuk menghindari pertengkaran, warga menyuruh Jangkur menjauh dari mereka.

Tidak lama kemudian, empat buah bis kayu dan beberapa sepeda motor warga yang datang dari luar Poco Leok memasuki Kampung Lungar, langsung menuju lokasi deklarasi.

Truk-truk itu dikawal ketat oleh polisi dan beberapa aparat yang mengenakan pakaian sipil.

Dua orang dari aparat berpakaian sipil itu berhenti dan bertemu dengan warga yang sudah menanti, menunjukkan surat izin kegiatan deklarasi pro pengembangan panas bumi oleh warga Poco Leok diaspora.

Setelah menunjukkan surat itu, keduanya menyusul rombongan ke lokasi deklarasi.

Beberapa saat kemudian, ketegangan juga terjadi di Tere, ketika beberapa warga yang sedang berkumpul di salah satu kios memprotes aksi dua orang intel yang memvideo mereka.

Salah satu warga menegur intel tersebut dan memintanya untuk menghentikan pengambilan video.

Warga Poco Leok terlibat adu mulut dengan polisi. (Dokumentasi warga Poco Leok)

“Pak, tolong jangan video kami di sini. Jangan foto juga,” kata warga itu.

“Tadi di sana [sambil menunjuk ke arah warga Gendang Lungar] saya ambil video juga,” intel itu merespons warga.

“Itu di sana, tapi di sini kami tidak mau difoto dan divideo,” timpal warga itu.

Namun, intel itu mengatakan, “Kami sudah punya izin,” sambil menunjukkan surat izin ke hadapan warga.

“Tetapi, izin itu untuk kegiatan deklarasi di sana [Lapangan Stasi Lungar], bukan untuk izin buat video,” kata warga itu.

“Kamu tunggu di sini. Kami panggil teman di sana dulu. Pak, kita pasti ketemu suatu saat nanti. Pasti,” kata intel itu.

“Oh, begitu. Saya siap. Saya juga tidak takut,” demikian warga itu membalas.

Sekitar 15 menit setelah perdebatan itu, terdengar sirine mobil patroli aparat keamanan mendatangi kerumunan warga. Dua di antaranya adalah mobil keranjang.

Tiga orang anak muda kemudian berinisiatif menahan mobil-mobil aparat itu, menanyakan tujuan kedatangan mereka.

Mobil kemudian berhenti dan beberapa aparat yang tidak berseragam langsung berusaha menghalau warga yang sedang berkerumun.

“Datang apa ke sini, Pak?” ujar seorang pemuda yang menahan mobil aparat itu.

“Kami datang untuk mengamankan warga,” jawab seorang aparat.

Pemuda itu bertanya lagi, “Tapi di sini tidak ada masalah.Untuk apa bapak datang ke sini?”

Aparat itu menjawab, “Tidak, kami datang patroli saja,” sambil beberapa rekannya turun dari mobil dan mendekati warga yang sudah memenuhi badan jalan.

“Ayo bubar. Pulang semuanya,” kata mereka.

Namun, warga memilih bergegas ke badan jalan dan berdebat dengan aparat yang mengusir mereka.

Saat bersamaan, seorang aparat keamanan berseru kepada rekan-rekannya, “Ayo pasukan turun semuanya.”

Semua aparat turun dari ketiga mobil tersebut dan langsung berhadap-hadapan dengan warga yang sudah berada di badan jalan.

“Ini kampung kami. Anda siapa sampai memerintahkan kami untuk bubar dari sini? Kami sangat kecewa, Anda tiba-tiba datang mengusir kami dari kampung kami tanpa alasan yang jelas,” protes seorang warga.

“Di sini aman-aman saja. Tidak ada kasus. Tidak ada persoalan serius. Kehadiran Anda dengan jumlah yang sangat banyak ini justru membuat kami merasa tidak nyaman,” komentar warga lainnya.

Seorang ibu yang ikut berbicara dengan aparat mengatakan, mereka sedang mengikuti hajatan nikah di kampung itu.

“Kehadiran kalian sudah sangat merusak suasana di kampung kami yang sedang melaksanakan hajatan,” katanya.

“Kalian kan datang untuk mengawal kegiatan deklarasi dari pihak yang dukung pemboran. Apa salah kami di sini? Apakah kami membuat kerusuhan di tempat deklarasi? Apakah kami mengganggu deklarasi mereka? Kan kami berada di sini dari tadi,” tambah warga lainnya.

Warga Gendang Lungar yang mendengar teriakan rekan mereka melampiaskan ketidakpuasan terhadap kehadiran aparat lalu bergegas ke Tere, menyatakan sikap yang sama menentang kehadiran aparat.

Perdebatan berlangsung cukup lama. Warga kemudian meminta aparat itu untuk kembali ke titik deklarasi kelompok pro.

Rombongan aparat itu kembali ke titik deklarasi setelah hampir satu jam berhadapan dengan warga.

Dalam sebuah pernyataan, warga Poco Leok yang menolak proyek ini mengatakan, aparat semestinya mengawal kegiatan deklarasi dari warga yang datang dari tempat jauh, bukan warga yang sehari-hari ada di Poco Leok.

“Mereka yang butuh dikawal, bukan warga yang tinggal di Poco Leok,” kata mereka.

Mereka menyatakan “sangat menyayangkan tindakan aparat keamanan, yang ‘mengamankan warga yang sebenarnya aman-aman saja.’”

“Kehadiran aparat keamanan sengaja memancing emosi dan reaksi warga yang menolak keras pemboran panas bumi, supaya warga berhadapan langsung dengan aparat keamanan,” kata mereka.

Mereka juga menduga, “ada unsur kesengajaan dan upaya menggiring warga untuk melakukan tindakan melawan hukum.”

Proyek geothermal di Poco Leok, wilayah yang mencakup 14 kampung adat di tiga desa, dikerjakan oleh PT PLN, dengan pendana Bank Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW).

Ini merupakan proyek perluasan Pembangkit Listrik Panas Bumi [PLTP] Ulumbu  yang beroperasi sejak tahun 2012 dan menghasilkan 10 MW energi listrik.

Proyek di Poco Leok, yang berlokasi sekitar tiga kilometer ke arah timur Ulumbu, direncanakan akan menghasilkan energi listrik 2×20 MW.

Dalam beberapa hari terakhir, PT PLN mengintensifkan upayanya menggolkan proyek itu, termasuk dengan memberikan bantuan babi kepada keluarga-keluarga di Lungar.

Sementara itu,  beberapa hari terakhir, berita-berita terkait dukungan terhadap proyek itu, termasuk dari Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat, dipublikasi secara serentak dengan narasi sama di berbagai media lokal dan nasional.

Raimundus Wajong, koordinator aksi deklarasi pada 19 Juni menyebut bahwa proyek geothermal itu pasti akan berdampak bagi kehidupan warga setempat, dan meminta untuk “jangan mudah percaya dengan orang-orang yang membuat kita hancur.”

“Jadi soal proyek perluasan ini juga merupakan untuk membawa kita ke hal-hal yang baik, lalu kalau ada orang yang membujuk kita untuk tolak bahwa orang tersebut adalah suruhan,” kata Wajong yang menyebut diri sebagai keturunan dalu – setingkat camat – di Poco Leok.

Raimundus memiliki hubungan keluarga dengan Kornelis Wajong, pensiunan polisi yang pernah menjadi Wakil Kapolres Manggarai.  Kornelis pernah datang ke Poco Leok pada Februari bersama pimpinan PT PLN, aparat dan pemerintah setempat, yang disambut aksi protes warga, termasuk ibu-ibu.

Sementara upaya masif dilakukan pemerintah dan PT PLN, warga yang kontra juga masih terus menggelar aksi protes.

Pada 9 Juni, di tengah guyuran hujan, mereka bertahan sejak pagi hingga sore menghadang kendaraan milik perusahaan yang hendak mematok lahan untuk proyek geothermal di well pad D.

Sebagian warga Poco Leok telah mendatangi lokasi proyek geothermal yang gagal di Mataloko, Kabupaten Ngada. Lubang bekas pemboran ditinggalkan sementara lumpur panas meluap sampai 500 meter  hingga 1 km dari titik bor, dekat dengan kampung dan merusak sawah, jagung, ubi jalar dan hasil pangan lain milik warga.

Kekhawatiran terhadap dampak proyek itu bagi kehidupan mereka, termasuk lahan pertanian, juga terhadap bencana yang mungkin timbul seperti dalam kasus di Mataloko itu terus menjadi alasan utama penolakan mereka.

Laporan ini dikerjakan oleh anggota jaringan Tim Floresa di Poco Leok, diedit oleh Tim Floresa

Publikasi Lainnya