Floresa.co – Warga korban penggusuran yang hendak menggelar unjuk rasa pada 9 Mei, hari pertama ASEAN Summit di Labuan Bajo, membatalkan rencana mereka setelah didatangi oleh polisi yang mengaku dari Mabes Polri dan seseorang yang mengklaim utusan dari pusat, di mana mereka dijanjikan mendapat ganti rugi atas lahan dan rumah yang digusur untuk pembangunan jalan.
Keputusan pembatalan aksi itu disampaikan dalam surat yang ditandatangani pada Senin sore, 8 Mei 2023 oleh warga yang bergabung dalam kelompok Rakyat Jelata Korban Gusuran [Rata Korsa].
Dalam surat itu, mereka menyatakan “mendukung penuh kesuksesan ASEAN Summit 2023 di Labuan Bajo.”
“Kami menyerahkan sepenuhnya ke hadapan Bapak Mabes Polri RI untuk menyampaikan persoalan ganti rugi lahan dan rumah kami dampak pembangunan jalan Labuan Bajo-Golo Mori,” tulis mereka.
“Terkait rencana aksi unjuk rasa yang akan kami selenggarakan pada hari Selasa, 9 Mei 2023, kami nyatakan batal,” tambah warga.
“Demikian surat pernyataan ini kami buat. Atas perhatian Bapak Mabes Polri kami ucapkan limpah terima kasih.”
Ladis Jeharun, salah satu korban pembangunan jalan sekaligus pegiat sosial pendamping warga menandatangani surat itu, sementara tanda tangan warga lainnya pada berkas lampiran.
Surat itu dibacakan di lokasi pada 8 Mei sore dan direkam oleh orang dari Mabes Polri dan beberapa Intel yang hadir saat itu.
Pernyataan itu dilakukan setelah sebelumnya dua warga – Dominikus Safio Bion dan Viktor Frumentius – mendapat surat panggilan dari oleh Polres Manggarai Barat untuk diperiksa karena tudingan penghasutan.
Ladis bersama Doni Parera, aktivis pendamping warga lainnya, juga mendapat surat panggilan serupa.
Dominikus dan Viktor dijadwalkan diperiksa pada 8 Mei. Namun, usai mereka menandatangani surat kuasa kepada tim hukum yang akan mendampingi di sebuah lokasi di Labuan Bajo, mereka tiba-tiba dijemput dengan mobil oleh dua orang polisi.
Kepada warga dan jurnalis, termasuk dari Floresa, polisi itu tidak bersedia menjelaskan identitas jelas dan nama kesatuannya, tetapi memperkenalkan diri sebagai orang dari Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia [Mabes Polri].
Dominikus dan Viktor lalu dibawa ke kampung mereka di Cumbi, bukan ke Polres Manggarai Barat.
Di Cumbi, di mana tim Floresa juga ikut, mereka juga sudah ditunggu Matheus Siagian, seorang pengusaha di Labuan Bajo yang pernah menjadi calon legislatif dari Partai Nasional Demokrat untuk DPRD Manggarai Barat.
Dalam pertemuan itu, Matheus memperkenalkan diri sebagai “utusan orang dari pusat” menanyakan kepada Dominikus dan Viktor kronologi masalah yang mereka hadapi, hingga menuntut ganti rugi.
Keduanya lalu menjelaskan status lahan mereka yang telah bersertifikat, dan mempertanyakan sikap pemerintah yang telah menyerahkan ganti rugi kepada warga di kampung lain, sementara mereka diabaikan meski telah menempuh berbagai cara, termasuk menyurati DPR RI, juga menemui Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat.
Setelah mendengar penjelasan mereka, Matheus mengatakan, ia berharap bahwa warga tidak menggelar aksi itu karena akan mengganggu ASEAN Summit, namun menjanjikan kepada mereka bahwa ganti rugi akan diperoleh.
“Kalau kamu tidak menggelar aksi maka kamu akan dapat ganti rugi, tetapi kalau kamu tetap gelar aksi, saya tidak bisa jamin,” katanya.
Di lokasi itu, polisi yang mengaku dari Mabes Polri itu menyatakan kepada warga bahwa masalah mereka akan disampaikan kepada Kapolri Listyo Sigit Prabowo, untuk diteruskan kepada Presiden Joko Widodo.
Setelah mendengar penjelasan itu, warga menyatakan setuju membatalkan aksi, dengan catatan bahwa aspirasi mereka harus dijamin sampai ke presiden. Mereka lalu menyepakati menandatangani surat dan membakar alat peraga yang disiapkan untuk aksi unjuk rasa. Dominikus dan Victor ikut menandatangani surat itu.
Informasi yang diperoleh Floresa, surat pernyataan warga kemudian diantar oleh utusan Mabes Polri itu kepada para petinggi mereka yang sudah menunggu di Hotel La Cecile, bagian barat Bandara Komodo.
Dalam kesempatan itu, menurut sumber Floresa, salah satu petinggi Mabes Polri mengatakan akan mengecek soal ganti rugi warga di bagian pengadaan tanah dan inspektorat Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat [PUPR].
Harapan Warga
Dominikus mengatakan kepada Floresa pada 9 Mei pagi bahwa mereka berharap agar janji ganti rugi itu tetap dipenuhi.
Ia mengatakan, mereka telah menyerahkan data-data itu kepada utusan Mabes Polri, terkait lahan yang belum dibayar ganti ruginya,
Ia mengatakan, mereka diberitahu bahwa data-data tersebut dijanjikan akan dibawa oleh utusan tersebut kepada atasan mereka “asalkan warga tidak melakukan aksi unjuk rasa pada 9 Mei.”
Matheus juga berjanji akan “melanjutkan” data tersebut, tetapi “yang jelas itu tidak dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat”.
Dominikus mengatakan, pihaknya telah menyampaikan kepada para utusan tersebut bahwa urusan ganti rugi akan terus mereka usahakan, juga termasuk dengan demonstrasi setelah ASEAN Summit selesai.
Tawaran tersebut, kata dia, dijawab oleh mereka dengan mengatakan “tidak apa-apa itu, yang jelas tuntutan ini akan saya sampaikan pada pimpinan.”
Sementara terkait surat panggilan, kata mereka utusan Mabes Polri itu mengatakan memberikan jaminan bahwa mereka berempat -termasuk pengacara yang sudah bersedia- tidak perlu memenuhi panggilan polisi karena dia “sudah menyelesaikan urusan tersebut” di Polres Mabar.
Informasi terkini yang diperoleh Floresa, Doni dan Ladis yang dijadwalkan diperiksa hari ini, 9 Mei juga batal.
Sebelum mendapat surat tudingan penghasutan itu, Doni dan Ladis sempat dipanggil Polres Manggarai Barat pada 5 Mei, usai mereka menyerahkan surat pemberitahuan akan menggelar aksi, di mana mereka diminta membatalkannya.
Warga di Kampung Cumbi dan dua kampung tetangga lainnya, Nalis dan Kenari terus memperjuangkan ganti rugi untuk jalan dan kebun mereka yang digusur untuk jalan sepanjang 25 kilometer yang telah diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 14 Maret 2023 itu dan akan dilalui oleh sebagian delegasi ASEAN Summit.
Golo Mori merupakan salah satu titik penyelenggaraan pertemuan yang berlangsung pada 9-11 Mei itu.
Setidaknya 51 keluarga yang mayoritas petani dan guru honorer masih terus memperjuangkan haknya menuntut ganti rugi.
Jumlah aset warga yang menjadi korban penggusuran antara lain dua rumah permanen dua lantai, lima rumah permanen, 16 rumah semi permanen, 14.050 meter persegi pekarangan, 1.790 meter persegi sawah, dan 1.080 meter persegi ladang.