Floresa.co –Viktor Frumentius menyeka keringat di wajahnya usai mengangkat sebuah lemari bersama putranya. Lemari itu dipindahkan dari sebuah tenda darurat ke rumah baru yang dibangunnya.
Ia harus membangun tempat tinggal baru, usai delapan bulan tinggal di tenda itu, pasca rumah lamanya dibongkar karena proyek pelebaran jalan menuju Tana Mori.
Wilayah di arah selatan dari Labuan Bajo itu sedang dibangun menjadi Kawasan Ekonomi Khusus dan direncanakan menjadi lokasi penyelenggaraan pertemuan pimpinan anggota organisasi negara-negara di Asia Tenggara atau ASEAN Summit pada 2023.
“Saya baru saja tinggal di rumah baru ini,” katanya kepada Floresa.co baru-baru ini.
Viktor adalah warga Kampung Cumbi, Desa Warloka, Kecamatan Komodo. Cumbi merupakan salah satu dari beberapa kampung yang dilewati jalan itu.
Rumahnya dibongkar karena berada persis di pinggir jalan, yang membuat sekitar 15 meter lahannya yang digusur.
Selain milik Viktor, terdapat 17 rumah warga lainnya di Kampung Cumbi yang terdampak dan lebih dari 40 keluarga yang tanahnya digusur. Sama seperti Viktor, mereka terpaksa tinggal di tenda darurat selama berbulan-bulan.
Viktor mengatakan, karena tidak merasa nyaman tinggal di tenda itu, ia membangun rumah di lahan seluas 8×15 meter yang tersisa dari penggusuran itu.
“Saya mengeluarkan uang 30 juta lebih untuk bangun rumah ini. Belum semuanya selesai, tetapi sudah bisa ditempati,” katanya.
Diminta Bersedia Tidak Mendapat Ganti Rugi
Viktor menjelaskan, mereka pertama kali mendapat sosialisasi terkait pembangunan jalan itu pada 2018. Saat itu mereka diinformasikan bahwa lebar jalan itu adalah 20-an meter, sehingga pasti berdampak terhadap rumah dan lahan warga yang berada di pinggirnya.
Dalam sosialisasi itu, jelasnya, pemerintah juga menegaskan bahwa tidak ada ganti rugi untuk itu.
Viktor dan warga lainnya tidak menolak hal tersebut karena merindukan ada akses jalan yang bagus ke kampung mereka.
“Kami betul-betul rindu jalan itu,” katanya.
Berada tidak jauh dari Labuan Bajo, kota pariwisata super-premium, selama ini akses dari dan ke kampungnya adalah jalan setapak yang hanya bisa dilalui sepeda motor saat musim kering.
“Kalau musim hujan ya setengah mati [dilewati], sehingga begitu ada informasi dari pemerintah bahwa di sini mau buka jalan, kami dengan senang hati menerimanya,” katanya.
Dominikus S. Bon, warga Cumbi lainnya mengatakan, selain menyepakati untuk tidak mendapat ganti rugi, mereka bahkan memilih membongkar sendiri rumah mereka.
Hal itu mereka lakukan karena pemerintah mengatakan jika mereka meminta ganti rugi dan tidak membongkar sendiri rumah, maka jalan itu akan dipindahkan, melewati bagian belakang kampung.
“Kami tidak setuju jalan itu dibangun di luar kampung. Pembangunan jalan itu harus di dalam kampung,” jelas Dominikus.
Ia menjelaskan, mereka juga sempat menandatangani sebuah pernyataan tertulis bermaterai yang sudah disiapkan pemerintah. Warga tinggal menandatangani.
Kecewa
Jalan yang dikerjakan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat itu mulai dibangun pada awal tahun ini. Jalan itu memiliki row 23 meter dan panjang 25 kilometer, dihitung dari Gorontalo, Labuan Bajo.
Dikerjakan Perusahaan Konstruksi BUMN Wijaya Karya [WIKA], proyek itu menelan biaya 407,04 miliar rupiah.
Menurut Kementerian PUPR, selain untuk persiapan ASEAN Summit, pembangunan jalan itu juga merupakan bentuk dukungan untuk memperlancar konektivitas Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) Labuan Bajo.
Selain Kampung Cumbi, jalan itu juga melewati kampung-kampung lainnya, seperti Kampung Mberata, Nalis dan Nanga Nae di Desa Macang Tanggar.
Meski awalnya senang dan bahkan mendukung pembangunan jalan tersebut, kini warga seperti Viktor dan Dominikus kecewa.
Selain karena rumahnya digusur, Viktor mengatakan, ia menyesal melihat jalan itu yang mengeruk kampung mereka. Itu membuat sebagian rumah warga di pinggir jalan kini berada jauh di atas ruas jalan.
Saat sosialisasi, kata dia, pihak kontraktor tidak pernah mensosialisasikan bentuk jalan yang mau dibangun itu.
“Yang ada tiap sosialisasi itu selalu bahas jalur lewat luar atau di dalam [kampung],” katanya.
Selain itu, di sepanjang jalan tersebut juga terdapat lahan-lahan pertanian warga yang terancam gagal panen karena rusaknya saluran irigasi ke sawah-sawah warga. Meski telah ada upaya perbaikan, kata dia, saluran irigasi tersebut tidak lagi berfungsi maksimal seperti sedia kala.
Menurut Viktor, sekitar 30 hektar sawah yang tidak dimanfaatkan warga karena hal ini. Padahal, kata dia, sebelumnya warga biasanya panen dua kali setahun berkat irigasi itu.
“Kami yang sengsara dapat makan di sini. Kami berharap pada sawah, tapi irigasi rusak. Kami tidak bisa kerja karena tidak ada air,” ungkap Viktor.
Kekecewaan warga juga muncul setelah mereka mendapat informasi bahwa warga di Kampung Nanga Nae, Desa Persiapan Macang Tanggar, yang juga dilalui proyek tersebut menerima ganti rugi atas rumah yang terdampak.
“Sejauh kami tahu, dan itu pernah kami telusuri, di Nanga Nae sempat menerima ganti rugi, bahkan ada yang mengaku dapat ganti rugi Rp 300 juta per orang,” kata Dominikus.
“Saya sendiri dapat video pengakuan warga di Nanga Nae pernah terima ganti rugi. Dan biaya pembongkaran rumah di Nanga Nae itu rata-rata 4 juta rupiah per orang,” tambahnya.
Pernyataan Dominikus soal warga Kampung Nanga Nae yang mendapat ganti rugi terkonfirmasi dari pengakuan beberapa warga.
Haji Mustofa Sulaiman [80], salah satu warga di Nanga Nae mengatakan kepada Floresa.co pada 2 November bahwa dia mendapat ganti rugi 130 juta rupiah.
Sulaiman mengatakan, pada awalnya ia tidak setuju dengan penggusuran aset miliknya, karena tidak pernah dipanggil saat rapat di Kantor Desa Macang Tanggar yang membahas proyek jalan itu.
Namun, setelah mengetahui seluruh warga setuju dengan penggusuran itu, ia menemui Bupati Manggarai Barat, Edistasius Endi, menuntut ganti rugi atas rumah dan sumur yang berada di depan rumahnya.
Ia mengatakan, 7 meter tanahnya yang terdampak, dengan rincian 3 meter tanah di depan rumah, 2 meter teras rumah, dan 2 meter rumah.
“Saya bilang ke bupati, di depan rumah saya ada sumur, karena saya tidak bisa ambil air di kali. Tolong ganti kerugian saya ini. Saya ngotot,” katanya.
Ia mengatakan, bupati kemudian menanyakan usulan ganti rugi yang dia minta.
“Saya usul Rp 150 juta. Dia bilang terlalu banyak. Dia tawar hanya Rp 100 juta. Saya minta Rp 130 juta. Begitu saya beritahu begitu, satu minggu setelah itu langsung PT Wika datang bawa uang Rp 130 juta,” jelasnya.
Sulaiman mengatakan, penuntutan ganti rugi tersebut bukanlah tanpa alasan.
Ia mengatakan, ia ingat dalam sebuah acara doa arwah untuk ibu dari Wakil Bupati Yulius Weng di Nanga Nae, Bupati Edi menggunakan kesempatan itu untuk mensosialisasikan pelebaran jalan itu. Warga yang hadir saat itu dari Gorontalo 30 orang.
Sulaiman mengatakan bupati memang menjanjikan ganti rugi saat itu.
“Bupati bilang begini, ‘kita mau ada kegiatan ini, program negara, ada pelebaran jalan dari Gorontalo sampe Golo Mori. Lebar jalan di tengah kampung ini kurang lebih 23 meter. Jadi kalau kena bangunan bapak-bapa, jangan tolak. Saya ganti, saya bayar kerugiannya, karena uang banyak. Uang untuk proyek jalan saja, jumlahnya 425 miliar,’” katanya mengutip pernyataan bupati.
Saat sosialisasi itu, kata dia, Bupati Edi bahkan menyebutkan bahwa negara menyiapkan anggaran 85 miliar rupiah untuk ganti rugi aset warga yang terdampak pembangunan jalan itu.
Muhamad Saleh, warga lain di Nanga Nae yang rumahnya digusur hingga tiga meter juga mengakui telah menerima ganti rugi 69 juta rupiah, yang didapat dari petugas yang mengaku dari Dinas Pekerjaan Umum.
Ia mengatakan, nilai kerugiannya dihitung bersama petugas dari PT Wika yang menemuinya, di mana dia diminta membuat daftar dan perhitungan kerugian, mulai dari biaya material hingga sewa tukang.
“Memang perhitungan kita waktu itu Rp 98 juta. Tapi saya tekan lagi jadi Rp 69 juta,” katanya.
Muhamad juga mengatakan, di Nanga Nae, warga yang memiliki rumah panggung tidak digusur, tetapi diminta oleh PT Wika untuk digeser.
“Biaya untuk angkat rumah panggung Rp 4 juta per rumah,” katanya.
Meski sudah mendapat jatah ganti rugi, Muhammad mengkritisi PT Wika yang ia sebut tidak konsisten dalam memetakan ganti rugi, karena tidak seperti dirinya yang membuat perhitungan kerugian rumah, warga lainnya langsung ditentukan angka ganti ruginya.
“Jadi pertanyaan saya, di mana perhitungan untuk mereka? Apa dasar ganti rugi? Kebanyakan yang punya rumah ini tidak seperti kami. Mereka tidak pakai hitungan, patok sendiri saja angkanya,” katanya.
Informasi yang dihimpun Floresa.co, lebih dari 23 warga di Nanga Nae yang telah mendapat ganti rugi, yang jumlahnya variatif antara puluhan hingga ratusan juta.
Merasa diperlakukan tidak adil, protes warga seperti di Kampung Cumbi masih terus mereka suarakan.
Viktor mengatakan, mereka merasa ditipu oleh pejabat yang sengaja menutup informasi yang terang terkait ganti rugi lahan warga yang diambil untuk kepentingan umum.
Pada 26 November, warga mendeklarasikan pernyataan sikap menuntut pemerintah agar hak-hak mereka dipenuhi, terutama membayar ganti rugi atas sawah, rumah, dan kebun yang digusur, sebagaimana dijamin oleh UU No. 2 Tahun 2012 dan PP No. 19 tahun 2021 tentang ganti rugi atas pembebasan tanah untuk kepentingan umum.
Mereka kemudian memasang spanduk di Cumbi, menuntut ganti rugi.
“Pemasangan spanduk ini adalah upaya terakhir kami untuk meminta perhatian negara. Apabila tidak ada pejabat berwenang menanggapi hal ini, maka kami akan blokir pekerjaan yang melewati bekas sawah, rumah, dan ladang kami. Kami akan pertahankan hak-hak kami, walau hingga darah menetes ke bumi,” tandas Viktor.
Sebelumnya warga Cumbi juga telah menyuarakan aspirasi mereka dengan menemui Komisi III DPR RI pada 10 Mei 2022, mengirim surat ke Presiden RI dan instansi terkait pada 21 Juni 2022.
Saat Presiden Joko Widodo ke Labuan Bajo pada 22 Juli 2022, mereka juga berusaha menyampaikan langsung aspirasi mereka. Namun mereka dihadang aparat kepolisian dan spanduk-spanduk yang mereka siapkan diamankab.
Pada 5 Oktober 2022, mereka menemui Kepala Bagian Tata Pemerintahan dan DPRD Manggarai Barat; dan pada 24 Oktober 2022 menemui sejumlah pejabat di kabupaten, termasuk Asisten I, Hilarius Madin dan dari Dinas Perhubungan.
Sayangnya, kata Viktor, upaya-upaya itu tidak membuahkan hasil.
Pemerintah Berharap Warga Ikhlas
Floresa.co beberapa kali mendatangi kantor bupati menanyakan masalah ini, namun tidak berhasil mewawancarainya.
Ia sempat ditemui Floresa.co pada 16 November di kantornya, namun ia beralasan sibuk karena hendak mengikuti pertemuan di Kantor DPRD.
Floresa.co kemudian langsung menemui Asisten I, Hilarius Madin yang ikut beraudiensi dengan warga Cumbi pada 24 Oktober.
Dalam wawancara di ruang kerjanya, ia mengatakan bahwa dalam audiensi itu, pihak menegaskan bahwa APBD Manggarai Barat tidak menganggarkan ganti rugi bagi warga yang terdampak proyek itu.
“Kita jelaskan, APBD [Manggarai Barat] tidak cukup untuk memberikan ganti rugi, karena belum pernah dibahas untuk dianggarkan,” jelasnya.
Menurut dia, sejak awal Pemerintah Daerah Manggarai Barat sudah mensosialisasikan kepada masyarakat untuk meminta kesediaan memberikan tanah bagi proyek strategis nasional [PSN], dari Gorontalo menuju Golo Mori tanpa ganti rugi.
“Terkait warga Cumbi, ada surat pernyataan warga yang sudah ditandatangani bahwa tidak ada ganti rugi,” lanjutnya.
Terkait perlakuan warga Nanga Nae yang sudah menerima ganti rugi, Hilarius tidak mengklaim tidak mengetahui hal tersebut dan berjanji untuk menelusuri pendanaan ganti rugi bagi warga terdampak.
“Saya tidak tahu ganti rugi bagi warga Nanga Nae. Kalau benar ada, kita akan telusuri,” jelasnya.
Hal senada juga disampaikan Camat Komodo, Yohanes R. Gampur, sosok yang aktif dalam rangkaian proses pengerjaan proyek itu, termasuk saat sosialisasi awal bersama Bupati Edi dan dengan Satuan Kerja dari Kementerian PUPR.
Gampar mengatakan, warga terdampak tidak mendapat ganti rugi karena anggaran pembangunan tersebut digelontorkan untuk proyek fisik saja.
“Saya ingat baik sosialisasi awal bupati dengan satuan kerja kementerian di Gorontalo. Pak Bupati blak-blakkan di hadapan kementerian. ‘Saya mau tanya kamu dari kementerian, berapa besar biayanya?’ Disebutlah besar biayanya. ‘Tolong jelaskan itu biaya? Biaya itu untuk apa?’ Mereka jawab biaya itu untuk fisik. ‘Kalau ganti rugi?’ Mereka dari kementerian jawab tidak dialokasikan [dari anggaran fisik]. Kalau penjelasan waktu itu seperti itu,” katanya.
Untuk di Kampung Cumbi, Gampar berpegang pada kesepakatan awal warga bahwa mereka tidak menuntut ganti rugi.
Ia mengakui, dalam salah satu audiensi kemudian dengan pemerintah daerah, memang disinggung kembali soal ganti rugi itu, di mana disepakati untuk mencari dana yang bisa digunakan untuk ganti rugi.
Namun, katanya, setelah dikalkulasi dengan kemampuan dana APBD, kira-kira butuh 10-15 tahun untuk bisa memenuhi ganti rugi bagi warga terdampak.
Karena itu, jelas Gampar, ganti rugi itu tidak dianggarkan dalam APBD.
“Kalau omong dari APBD, pastinya itu tidak ada,” katanya.
Camat Gampar kemudian mengatakan penggusuran tanah warga Cumbi tanpa ganti rugi merupakan bagian dari pengorbanan.
Ia beralasan, saat ini sebagian warga Labuan Bajo juga menyerahkan tanah untuk pembangunan dan penataan kota.
“Mungkin sekarang giliran keluarga di Cumbi. Jangankan jalan Jayakarta-Cumbi-Golo Mori, jalan dalam kota ini kan sebenarnya sama, riwayatnya sama, tanpa ganti rugi. Semua kita nikmati,” katanya.
“Kami selalu mengajak begini, karena ini memang tidak ada ganti rugi [bagi warga Cumbi], kami minta nai ngalis, tuka ngengga [keikhlasan hati, kelapangan dada] dari warga, karena ini pembangunan.”
Ditanya terkait ganti rugi yang telah diberikan kepada warga Nanga Nae, ia berjanji akan menelusuri sumber dana yang diberikan kepada warga.
“Kita sedang telusuri dan kita akan mencari tahu sumber pendanaannya dari mana, kemudian dasarnya apa?” jelasnya.
Tidak Boleh Tebang Pilih
Marselinus Jeramun, Wakil Ketua DPRD Manggarai Barat dan politisi Partai Amanat Nasional, salah satu oposisi, mengatakan, sebenarnya sudah ada aturan yang jelas soal mekanisme ganti rugi bagi warga yang tanahnya diambil oleh negara untuk kepentingan umum. Hal itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 19/2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, turunan dari UU Cipta Kerja.
“Hanya, kewenangan itu tidak ada di pemerintah kabupaten. Kewenangan itu hanya ada di pemerintah provinsi, kecuali pemerintah provinsi memberi mandat kepada pemerintah kabupaten untuk membayar ganti untung,” jelasnya.
Dirinya berharap pemerintah daerah mempertanyakan ganti rugi karena proyek tersebut milik pemerintah pusat, Kementerian PUPR.
“Kita tunggu sekarang ini niat baik dari pemerintah kabupaten untuk memposisikan dirinya sebagai perwakilan dari masyarakat korban pembangunan jalan ke Golo Mori,” katanya.
Ia menyayangkan jika pemerintah daerah mengklaim tidak ada ganti rugi dalam proyek tersebut, sementara sebagian warga seperti di Nanga Nae telah menerima ganti rugi.
Pemerintah, kata dia, jangan “menerapkan standar ganda.”
“Tidak boleh tebang pilih, ini anak emas, ini tidak. Sama rata,” katanya.
Dominikus dari Cumbi mengatakan, mereka telah melaksanakan kewajiban sebagai warga negara, menyerahkan tanah untuk kepentingan umum dalam pembangunan jalan tersebut.
“Tapi, seharusnya hak kami juga harus diperhatikan,” katanya.