Mencermati Status Legal Tanah Kerangan

Sengketa tanah Kerangan kini tengah ditangani pihak Kejati Nusa Tenggara Timur. Sejauh ini pihak Kejati NTT telah menetapkan 20 tersangka atas penggelapan aset milik Pemda Manggarai Barat seluas 30 hektar itu.

Meski demikian, di publik tetap saja muncul perdebatan soal status hukum lahan Kerangan ini sebagai milik Pemda Manggarai Barat. Publik antara lain masih berdebat soal letak persis lahan Pemda tersebut, kemunculan alas hak yang lain, serta ketidaklengkapan dokumen-dokumen yang dimiliki Pemda Manggarai Barat.

Merespon perdebatan itu, forum virtual Zoom in on Flores, edisi Kamis, 18 Februari 2021 menyelenggarakan diskusi bertajuk “Mencermati Status Legal Tanah Kerangan”. Yang diundang sebagai pemantik dalam diskusi ini adalah Yos Nggarang, Sekjen Pergerakan Kedaulatan Rakyat. Sejak awal ia terlibat intens dalam investigasi Tanah Kerangan ini. Selain itu ada juga Elias Sumardi Dabur, praktisi hukum yang berdomisili di Jakarta. Ia mendalami tentang status legal tanah Kerangan ini sebagai milik Pemda Mabar.

Terkait beberapa point yang dipersoalan publik di atas, Yos Nggarang menyampaikan beberapa point klrafikasi sebagai berikut.

Pertama, tanah Pemda ini terletak di area bukit. Dengan demikian, keterangan dua orang saksi (Frans Harum dan Zulkarnain Djuje) dalam sidang praperadilan Bupati Gusti Dula pada 11 Februari 2021 serta pendapat yang mengatakan bahwa lahan itu terletak di Pantai, dan bukan di atas bukit, sama sekali tidak sesuai dengan fakta sejarah, dan karena itu berpotensi dapat menyesatkan publik.

Ada dua peristiwa penting yang dengan jelas membuktikan hal ini. Pertama-tama, saat penunjukan lokasi tanah itu kepada pihak Pemda Manggarai pada tahun pada tahun 1989, Dalu Isaka selaku fungsionaris adat Nggorang dengan jelas menunjukkan lahan yang terletak di atas bukit. Menurut Anton Us Abatan, Camat Komodo saat itu, yang ikut serta dalam rombongan Bupati Manggarai ke Kerangan, dari atas Speedboat, Dalu Isaka menunjukkan kepada Bupati Gaspar hamparan lahan di atas bukit untuk dibangun sekolah perikanan.

Selanjutnya saat pengukuran lokasi pada tahun 1997, dua orang utusan Bupati Manggarai Manggarai, Frans Padju Leok dan Fidelis Kerong (Kepala Dinas Perikanan) ke lokasi untuk mengukur lahan tersebut. Pihak-pihak lain yang juga terlibat dalam pengukuran itu adalah orang-orang BPN, Oto Rihi, Yulianus Sae, termasuk Zulkarnaen Djuje dan Frans Harum. Sementara dari pihak fungsionaris adat Nggorang diwakili oleh Adam Djuje, Kanis Hamnu dan Don Hamput. Sampai sekarang, dokumentasi peristiwa pengukuran lahan di atas bukit itu masih tersimpan dengan baik berupa satu album foto.

Kedua, melalui penyerahan adat pada tahun 1989 yang dilanjutkan dengan proses administrasi pada tahun 1997, lahan ini secara sah menjadi aset milik Pemda Manggarai. Selalanjutnya lahan tersebut diserahkan ke Pemda Manggarai Barat pada tahun 2005 melalui dokumen P3D. Bahkan pada tahun 1997, pihak BPN telah mengeluarkan Gambar Situasi (GS) atas lahan tersebut yang setingkat lagi akan menjadi peta. Melalui proses administrasi itu, lahan itu memiliki batas-batas yang jelas yaitu sebelah utara berbatasan dengan tanah milik Niko Naput atau tanah yayasan, sebelah timur berbatasandengan jalan pertigaan, kali mati, sebelah barat berbatasan dengan tanah negara atau laut dan sebelah selatan berbatasan dengan tanah negara atau laut.

Ketiga, klaim alas hak yang lain seperti yang dimiliki oleh Adam Djuje telah terbukti palsu. Anton Us Abatan, bersaksi bahwa dirinya sama sekali tidak pernah menandatangani surat tanah seluas 30 hektar untuk pribadi di Kerangan. Selain itu, menurutnya lahan yang berbatasan dengan jalan, sebagaimana yang tertulis dalam alas hak milik Adam Djuje, tampaknya palsu, sebab pada waktu itu di Kerangan sama sekali belum ada jalan. Satu-satunya akses ke sana waktu itu adalah melaui laut. Selain itu, Anton Us Abatan juga menemukan ketidaksambungan antara halaman kedua dan halaman satu pada dokumen alas hak Adam Djuje.

Lebih lanjut dalam bagian kedua, Elias Dabur menegaskan bahwa penyerahan secara adat pada tahun 1989 merupakan peristiwa penting yang membuat lahan ulayat Kedaluan Nggorang itu sudah sah menjadi milik Pemda Manggarai. Dengan demikian hal-hal yang berbau administratif yang sering dipersoalkan publik seperti Pemda Mabar belum memiliki sertifikat atas tanah tersebut, Pemda tidak memiliki dokumen asli, tidak adanya tanda tangan Bupati Gaspar, sama sekali tidak bisa membatalkan keabsahan lahan tersebut sebagai milik Pemda Mabar.

Dari sisi hukum, penyerahan secara adat pada 1989 tersebut telah dengan jelas memenuhi syarat-syarat sahnya sebuah perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang.

Pertama, didasari oleh kesepakatan antara kedua belah pihak. Permintaan lahan secara adat (kapu manuk, lele tuak) seluas 30 hektar yang dilakukan oleh Bupati Gaspar pada tahun 1989 untuk membangun sekolah perikanan telah dikabulkan oleh Dalu Isaka dan Haku Mustafa selaku fungsionaris adat Nggorang. Atas dasar kesepakatan itulah maka kemudian terjadi proses pengukuran atas lahan tersebut pada tahun 1997.

Kedua, cakap mereka yang mengikatkan dirinya yaitu bahwa pihak yang memberi dan menerima adalah orang yang berwewenang. Terkait ini, fungsionaris adat Nggorang selaku pihak pemberi, secara hukum adat tentu memiliki kewenangan publik untuk melakukan penyerahan atau pemberian atas tanah ulayat di Kerangan. Sementara itu Bupati Gaspar juga berwewenang sebagai pihak penerima, sebab menurut UU Pokok Agraria, pelepasan hak atas tanah kepada orang yang bukan bagian dari wilayah adat harus dilakukan melalui proses yang disebut dengan pelepasan hak.

Ketiga, sebab-sebab yang halal yaitu perjanjian kesepakatan di antara kedua belah pihak tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang.

Sementara itu, proses administrasi yang terjadi pada tahun 1997, menurut Elias, hanyalah sebuah  syarat formal untuk melengkapi sebuah proses yang terjadi pada tahun 1989. Sebagai sebuah proses administrasi, hal itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan soal keabsahan tanah tersebut sebagai milik Pemda Manggarai, selanjutnya Pemda Manggarai Barat. Namun proses administrasi ini penting untuk sejumlah hal seperti melindungi kedua belah pihak, jika pada suatu saat terjadi konflik atas tanah tersebut dan sebagai berkas penting jika suatu saat mengurus sertifikat dan untuk pencatatan pada bagian pertanahan.

Dalam bagian yang lain Elias kembali mengingatkan bahwa sekarang ini yang mesti publik sadari bahwa pihak-pihak yang mengaku memiliki alas hak atas tanah tersebut, sekarang ini telah ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak Kejati NTT. Dengan kata lain, dari perspektif hukum tidak ada lagi pihak yang sementara berkonflik atas tanah Kerangan.

Atas dasar itulah persoalan tanah Kerangan ini di bawah ke ranah Tipikor, sebab perdebatan soal kepemilikan sudah tidak lagi menjadi relevan.  Yang sedang terjadi atas Tanah Kerangan adalah sebuah kelalaian, penyalahgunaan wewenang, tidak tertib administrasi yang membuat seolah tanah itu tak bertuan. Dalam kasus ini, Pemda Mabar misalnya, kelihatan mengabaikan tanggung jawabnya untuk mengurus sertifikat atas tanah ini.

Tak hanya itu, Pemda juga, melalui Bupati Gusti justeru memberi rekomendasi proses pengurusan sertifikat dari pihak lain yang mengaku memiliki alas hak atas tanah tersebut. Bahkan yang paling disayangkan pada tahun 2018, Bupati Gusti menyalahgunakan wewenangnya sebagai pemimpin daerah, sebab mengeluarkan sebuah surat yang isinya sudah tidak berminat lagi atas tanah tersebut, tanpa persetujuan DPRD Manggarai Barat.

Publikasi Lainnya