ππ€π‘πˆπ–πˆπ’π€π“π€ 𝐒𝐔𝐏𝐄𝐑 ππ‘π„πŒπˆπ”πŒ #π‚πˆπ‹π€πŠπ€13 ππ€π†πˆ π“π€πŒπ€π ππ€π’πˆπŽππ€π‹ πŠπŽπŒπŽπƒπŽ

Pertama, setidaknya 465,17 hektar tanah dalam TN Komodo telah diserahkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kepada Perusahaan-Perusahaan swasta dan Pemerintah untuk bisnis wisata; proses privatisasi ini mengganggu konservasi dan kehidupan warga setempat.

Kawasan Taman Nasional Komodo, yang sebelumnya merupakan kawasan konservasi, kini dibuka pemerintah bagi perusahaan-perusahaan untuk mengembangkan bisnis pariwisata di dalam kawasan.Β  KLHK telah memberikan izin kepada sejumlah perusahaan menguasai setidak-tidaknya 465,17 hektar lahan untuk pembangunan resort dan sarana wisata lainnya. Yaitu PT KWE seluas 274,13 hektar di Pulau Padar dan 151,94 di Pulau Komodo; PT KSL seluas 22,1 hektar di Pulau Rinca dan PT Sinergindo Niagatama seluas 17 Hektar di Pulau Tatawa. Selain itu PT Flobamor dan perusahaan-perusahaan yang diidentifikasi KLHK sebagai β€œpihak lainnya” juga diberi izin untuk membuka bisnis di dalam Kawasan Taman Nasional Komodo. Pemerintah juga menyebut akan mengundang perusahaan filantropi dari USA untuk mengelola wisata dalam TN Komodo.

Kedua, KLHK telah berkali-kali melakukan perubahan zonase yang pada intinya memperluas zona pemanfaatan dengan konsekuensi mempersempit zona konservasi (zona inti dan zona rimba).

KLHK berdalih bahwa izin bisnis wisata diberikan untuk zona pemanfaatan. Tetapi zona pemanfaatan itu sebelumnya adalah zona rimba. Perubahan ini dilakukan KLHK lewat keputusan perubahan zonase. Misalnya SK Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No.SK.21/IV-SET/2012Β  merubah status 303,9 hektar di Pulau Padar dari zona rimba menjadi zona pemanfaatan. 275 Hektar dari zona pemanfaatan itu diserahkan kepada PT KWE sekarang ini. Proses peninjauan kembali (atau pengubahan) zonase juga sedang berlangsung sekarang ini untuk wilayah Padar Selatan, Pulau Tatawa, Pulau Muang, dan Pulau Bero/Rohbong, dan mungkin juga kawasan lainnya.

Ketiga, Pulau Komodo dan perairan sekitarnya menjadi Kawasan Wisata Eksklusif Super Premium dengan biaya masuk 1000 USD (by membership).

Pulau Komodo dan perairan di sekitarnya secara khusus dijadikan oleh Pemerintah sebagai kawasan wisata ekslusif super premium. Untuk masuk ke sana dipungut biaya USD 1000 (setara Rp 14 juta) (membership). Kawasan ini rencananya dikelola β€œSeperti Taman Safari di Afrika” dengan β€œmelibatkan perusahaan filantropi dari Amerika”. Saat ini PT KWE juga sudah diberi izin bisnis seluas 151 hektar di kawasan dekat Loh Liang dan Kampung Komodo. Di Afrika, penduduk dalam kawasan yang dikelola secara ekslusif tidak lagi memiliki akses pada sumber daya dan bisnis di dalam kawasan.

Keempat, penduduk dalam kawasan (terutama di Desa Komodo) teancam direlokasi dan/atau dibatasi aktivitas ekonominya.

Tahun 2019 Pemerintah melalui Gubernur NTT telah mengumumkan rencana relokasi warga Komodo (sebuah rencana yang dilawan dengan sengit oleh warga Komodo dan kelompok peduli konservasi dan pendukung pariwisata berkeadilan waktu itu). Rencana ini adalah bagian dari proyek penataan Pulau Komodo sebagai β€œdestinasi ekslusif bertaraf dunia”. Menurut Gubernur, orang Komodo adalah β€œpenduduk liar” dan bahwa di Komodo β€œtidak ada human rights, hanya ada animal rights”. Sampai sekarang belum ada keputusan resmi yang dapat dipegang terkait dengan pembatalan rencana itu.

Kelima, orang Komodo tidak lagi diizinkan membuka usaha souvenir dan kuliner di Loh Liang dan Pink Beach.

Pemerintah sudah mengumumkan secara lisan bahwa orang Komodo yang selama ini membuka usaha souvenir dan kuliner di Loh Liang dan Pink Beach di Pulau Komodo akan dibatasi dan bahkan dilarang, karena kawasan itu sudah menjadi kawasan wisata ekslusif super-premium. Pemerintah sedang memikirkan relokasi usaha mereka ke Pulau Rinca atau ke Pulau lain.

Keenam, penduduk tiga desa dalam kawasan TN Komodo adalah warga negara yang tidak diakui hak-hak agrarianya.

Sejak kawasan itu dijadikan Taman Nasional pada tahun 1980, hak agraria orang Komodo, Rinca, dan Papagarang atas tanah dan laut dicabut dan tidak diakui hingga sekarang ini. Mereka dikurung dalam kawasan perkampungan yang terbatas (enclave), serta tidak dapat dengan leluasa memanfaatkan sumber daya darat dan laut untuk mata pencaharian mereka. Berbagai konflik pemanfaatan sumber daya alam ini berlangsung sejak tahun 1980 hingga hari ini.

Ketujuh, terjadi ketimpangan agraria di dalam kawasan; misalnya di Komodo 17 hektar untuk ruang hidup 2000 warga, 151,94 hektar untuk perusahaan.

Sementara penduduk asli dikurung dalam enclave yang terbatas, kawasan yang luas di sekitarnya diserahkan kepada perusahaan untuk bisnis pariwisata. Di Pulau Komodo misalnya, ruang hidup untuk 2000 warga hanya seluas 17 hektar. Sementara di sebelahnya lahan seluas 151,94 hektar diserahkan kepada PT KWE.

Kedelapan, ruang hidup Komodo dan satwa lainnya diinvasi investasi.

Meningkatnya aktivitas turisme di dalam kawasan ruang hidup Komodo dikhawatirkan melampui β€œcarring capaticy” kawasan itu. Demikian juga munculnya bangunan-bangunan resort, restaurant, safari park, serta aktivitas-aktivitas sertaannya akan mengganggu kehidupan Komodo dan keanekaragaman hayati lainnya. Tidak ada jaminan ilmiah dan politik bahwa laju investasi sekarang ini tidak akan mengakibatkan kepunahan polulasi Komodo serta kerusakan ekosistemnya.

Kesembilan, munculnya bangunan atau gedung-gedung di dalam kawasan-kendati diklaim eco-wisata-merusaka keindahan bentang alami dan mengganggu konservasi.

Munculnya banyak bangunan milik perusahan yang menguasai kawasan-kawasan strategis di dalam bentang alam Komodo akan mengganggu keaslian landscape yang menjadi salah satu daya tarik utama pariwisata Komodo. Sebagai contoh, rencana Pemerintah untuk membangun resort, kuliner dan dermaga bertaraf premium di Pulau Padar akan merusak keindahan landscape Pulau itu sebagai daya tarik utama pariwisata Taman Nasional Komodo. Selain itu resort-resort ini juga akan menghasilkan limbah padat, limbah cair, dan polusi udara, dan polusi suara, yang jelas mengganggu ekosistem Komodo dalam waktu yang panjang.

Kesepuluh, perombakan kawasan Loh Buaya berpotensi mengganggu usaha pariwisata dan merusak bentang alam Pulau Rinca

Pemerintah memutuskan akan merombak kawasan Loh Buaya di Pulau Rinca dengan cara meruntuhkan semua Barang Milik Negara (BMN) yang ada di kawasan itu untuk digantikan dengan bangunan-bangunan baru yang dirancang ala Juraisic Park yang disebut-sebut sebagai persiapan menyambut pertemuan G-20 pada tahun 2023. Proyek itu direncanakan dieksekusi pada akhir Maret 2020, tanpa sosialisasi terlebih dahulu kepada pelaku pariwisata dan masyarakat setempat, dengan akibat akan menggangu paket kunjungan wisata yang sudah direncanakan atau dijual sebelumnya.

Selain itu Pemerintah berencana melakukan pembuatan sumur bor di kawasan Loh Buaya. Selain untuk pemenuhan air atas sarana wisata di Loh Buaya (gedung-gedung yang dibangun menyambut G-20), apakah pengeboran ini juga untuk memenuhi air di fasilitas PT KSL di dekatnya? Padahal, sumber air Loh Buaya adalah sumber air bagi satwa. Pengeboran sumur dalam juga mengganggu vegetasi di kawasan itu.

Kesebelas, mononopoli bisnis di dalam TNK dengan penerbitan Usaha Jasa Wisata kepada Perusahaan besar.

Selain IUPSWA, KLHK membuka peluang pemberian izin JASA wisata alam (IUPJWA) kepada perubahaan-perusahan besar untuk beroperasi di dalam kawasan Taman Nasional Komodo. Semua ini akan memberi tekanan tambahan kepada usaha-usaha wisata lokal oleh masyarakat dalam kawasan serta di Flores daratan.

Keduebelas, menyatunya, penguasa dan penguasaha dari elit Jakarta (Kelompok bisnis, oligarki politik) dalam bisnis pariwisata di dalam kawasan konservasi.

Pemilik perusahaan-perusahaan yang diberi izin beroperasi dalam kawasan Taman Nasional ruang hidup Komodo adalah pengusaha-pengusaha yang menjadi bagian dari atau pendukung utama partai-partai politik, purnawirawan, dan pejabat publik pemegang kekuasaaan. Bahkan ada pemilik perusahaan yang diangkat menjadi direktur program di Kementrian Pariwisata.

ketigabelas, katanya semua itu dilakukan demi kesejahteraan kita.

Semua hal itu dilakukan atas nama pembangunan yang disebut-sebut demi mensejahterakan orang asli yang dianggap masih miskin dan terbelakang, tidak mengerti konservasi, pelaku pengrusakan ekosistem,Β  dan yang harus terus dididik supaya lebih sadar wisata. Pariwisata Super Premium dianggap sebagai solusi untuk masalah-masalah yang membelit warga setempat.

Sumber Data:

1) Peraturan Presiden No.32/2018 tentang Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores; Rancangan Perpres TN Komodo dan Sekitarnya Sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (Draft Juli 2019).

2) Permen KLHK No. P.8/MENLHK/Setjen/KUM.1/3/2019 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Taman Nasional.

3) Surat Keputusan Direktur Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No. SK.21/IV-SET/2012 tentang Zonase dalam TN Komodo.

4) SK Kemenhut No. 796/Menhut/II/2013Β Β  tentang Perizinan PT. Komodo Wildlife Ecotourism dengan di Pulau Padar dan Pulau Komodo.

5) SK Kemenhut No. 5.557/Menhut/II/2013Β  tanggal 9Β  September 2013 tentang perizinan PT Segara Komodo Lestari di Loh Buaya Pulau Rinca.

6) Dokumen resmi notulen rapat stakeholders KLHK yang dipimpin oleh Dirjen KSDAE pada tanggal 30 Januari 2020 di Jakarta.

7) Rekaman dan dokumen siaran pers Sektretariat Kepresidenan dan KLHK.

8) Rekaman audio-visual berbagai pernyataan dan wawancara Presiden RI, Para Menteri, Pejabat KLHK dan Gubernur NTT.

9) Pernyataan-pernyataan para pejabat terkait pariwisata super-premium Taman Nasional KomodoΒ  bawah berbagai media.

10) Rekaman kesaksian-kesaksian dan wawancara tokoh-tokoh masyarakat dan pegiat konservasi dan pariwisata di dalam kawasan TNK dan di Labuan Bajo.

Publikasi Lainnya