SunspiritForJusticeandPeace – “Apakah mungkin kejadian seperti di Selandia Baru akan terjadi di kita juga?” tiba-tiba seorang teman berujar begitu seusai menonton aksi terror yang menewaskan 50 orang di masjid agung di kota Christchurch, Selandia Baru pada 15 Maret 2019.
Aksi teror tersebut dilakukan oleh Brenton Tarrant, seorang warga kulit putih dari Australia. Yang menariknya, aksi brutal itu bukan saja karena disiarkan langsung di media sosial, tetapi karena terdorong oleh motif kebencian dan kepicikan pandangan terhadap imigran yang note bene banyak berasal dari Timur Tengah dan beragama Muslim.
Terrant, merasa terpinggrikan dalam aksesnya terhadap lapangan kerja dan kehidupan ekonomi.
Saya sendiri memahami kecemasan teman tersebut. Kendati realitas politik di Selandia Baru cukup berbeda dengan Labuan Bajo, di antaranya kepemilikan senjata warga Sipil yang tidak diperbolehkan di Indonesia, namun kecemasan itu bukan tidak mungkin terjadi.
Kondisi Indonesia ditandai ekploitasi politik identitas yang sangat kuat. Dalam beberapa tahun terakhir, realitas ini telah menyulut konflik bahkan kekerasan.
Sementara itu, ujaran kebencian pun berlipat ganda mengingat pengaruh pemakaian media sosial yang kian masif. Apalagi saat sekarang di mana situasi politik rentan memanfaatkan isu-isu identitas untuk meraup kekuasaan.
Kendati tinggal di Labuan Bajo, yang jauh dari Selandia Baru, kecemasan teman tersebut cukup beralasan. Labuan Bajo di ujung Barat pulau Flores adalah salah satu kota yang cukup beragam baik dari etnis, agama, maupun suku bangsa. Dengan kata lain, mirip dengan kondisi Selandia Baru.
Menariknya, di kota Labuan Bajo, situasi politik bukan satu-satunya yang berpotensi mengeksploitasi kelompok identitas, tetapi juga akses terhadap manfaat pembangunan dan sumber daya ekonomi yang secara tidak sadar berkompetisi dari latar belakang identitas etnis/negara berbeda: Orang asing vs Indonesia, Jawa-Manggarai, etnis lain seperti Bima, Bajo, Makassar-Manggarai.
Namun, ada beberapa hal yang bisa menjadi kekuatan atau peluang untuk merawat realitas keberagaman di Manggarai pada umumnya.
Pertama, menggali atau merujuk kepada pandangan-pandangan eksistensial orang Manggarai. Misalnya, ada istilah yang popular di Manggarai, “racap leo, anak wina; racap wanang; anak rona”.
Ungkapan ini menggambarkan cara berada orang Manggarai yang selalu memiliki identitas ganda. Tidak terbatas pada identitas yang tunggal. Karena itu, menariknya, tiap kali bertemu orang lain, orang Manggarai selalu berupaya “nunduk”, yakni upaya mencari tahu, mengenali, dan bahkan tidak jarang berakhir dengan menganggapnya bagian dari keluarga.
Identitas ganda ini membuat orang Manggarai seharusnya selalu berperasangka baik dan berpikir lebih bijak dalam melihat orang lain.
Kedua, memperkuat atau memberdayakan nilai-nilai yang lebih universal yang melampaui sekat-sekat identitas. Di tengah situasi politik nasional, di mana para politisi kita gemar memainkan isu-isu seputar SARA demi mendapatkan kekuasaan, kita baik komunitas, organisasi, lembaga agama yang non-politik didorong untuk mampu mendefinisikan atau memetakan nilai-nilai yang lebih universal. Di antaranya, soal keadilan distribusi manfaat pembangunan pariwisata.
Ketiga, mendorong kesadaran kritis dalam menggunakan media sosial mengingat media sosial bukan lagi dunia maya tetapi “dunia nyata”. Vio, salah seorang pemuda di Labuan Bajo misalnya mengilustrasikan bahwa blokir di media sosial seperti facebook berlanjut ke relasi di dunia nyata. Orang menjadi canggung saat ketemu setelah diblokir atau berdebat melalui media sosial.
Apalagi menurutnya, tidak adanya tombol “dislike” bisa mengaburkan kacamata orang terhadap suatu kejadian atau persoalan. Misalnya, peristiwa pembunuhan yang mendapatkan “like” terbanyak cukup membingungkan, apakah itu disukai, diapreasi, atau malah harusnya tidak disukai?
Keempat, memberdayakan keberadaan komunitas-komunitas dan mendorong dialog di antara mereka. Ada banyak komunitas orang muda di Labuan Bajo belakangan ini seperti Serikat Pemuda Manggarai Barat (SPMB), Komunitas Pemuda Anti Radikal Manggarai Barat (Kopearad Mabar), Sant’Egidio Labuan bajo, Pemuda Lintas Agama (Pelita), Komunitas Fotografi Labuan Bajo dan lain-lain.
Selain menampakkan keberagamaan, komunitas ini sangat potensial untuk menjadi aktor atau fasilitator perubahan sosial di Labuan Bajo.
Karena itu, kendati kekhawatiran teman tadi beralasan, namun kita juga punya alasan lebih banyak untuk merawat keberagaman dan optimis pada kekuatan nilai-nilai.
Hasil diskusi dengan beberapa Komunitas di Labuan Bajo, antara lain, Sant’Egidio, Kopearad, Rumah Kreasi Baku Peduli, Kelompok Usaha Peternak dan beberapa lainnya di Rumah Kreasi Baku Peduli pada Kamis, 21 Maret 2019.
Penulis Akhir Venan Haryanto.