Warga Desa Wae Sano yang tinggal di sekitar Danau Vulkanik Sano Nggoang di Kabupaten Manggarai Barat, NTT berkumpul di Puncak Golo Lampang pada 26 September.
Tempat itu merupakan kampung nenek moyang mereka, di mana terdapat kuburan dan compang, mezbah berupa gundukan batu untuk memberikan sesajen kepada leluhur.
Di sana, warga dari tiga kampung-Nunang, Dasak dan Lempe-menggelar ritual syukur.
Mereka membawa sirih pinang, lilin, sebutir telur ayam kampung dan dua hewan-Manuk Cepang (ayam jantan berbulu merah) dan Manuk Bakok (ayam jantan berbuluh putih).
Kedua ayam itu punya makna masing-masing.
Manuk Cepang sebagai permohonan kepada leluhur agar senantiasa menjaga Wae Sano dari segala bentuk ancaman.
Manuk Bakok sebagai ungkapan syukur kepada leluhur atas penyertaan dalam perjuangan melawan proyek geotermal.

Ritual itu merespons kabar bahwa proyek geotermal di kampung mereka tidak akan dikerjakan, setidaknya untuk sementara waktu.
Hal itu merujuk pada daftar Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Perusahaan Listrik Negara (PLN) Tahun 2025-2034 yang terbit pada Mei tahun ini.
Dalam laporan itu, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Wae Sano yang ditargetkan punya kapasitas listrik 30 megawatt (MW) dan PLTP Nage di Kabupaten Ngada (40 MW) tak lagi tercatat sebagai lokasi penyedia listrik di Pulau Flores.
Proyek geotermal Wae Sano ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 4330 K/30/MEM/2017. Penetapan itu tak lama usai terbitnya SK Menteri ESDM Nomor 2268 K/30/MEM/2017 yang menjadikan Flores sebagai Pulau Panas Bumi.
Semula, proyek itu hendak digarap PT Sarana Multi Infrastruktur, namun belakangan pengerjaannya beralih ke PT Geo Dipa Energy. Keduanya merupakan Badan Usaha Milik Negara di bawah Kementerian Keuangan.
Sejak awal, masyarakat menolak proyek ini karena menilainya mengancam tanah ulayat, sumber mata air, hingga tatanan sosial budaya yang diwariskan leluhur.
Penolakan ini kemudian mendapat perhatian luas dari berbagai lembaga pendamping dan jaringan solidaritas.Hal itu membuat Bank Dunia yang semula menjadi pendana proyek itu bersama lembaga pemerintah Selandia Baru, New Zealand Foreign Affairs and Trade Aid Programme, mengundurkan diri pada 2023. Pendanaannya kemudian beralih skema ke Pembiayaan Infrastruktur Sektor Panas Bumi oleh Pemerintah Indonesia sendiri.

Mengapa Tak Lagi Jadi Prioritas?
Dalam dokumen RUPTL PLN 2025-2034, PT PLN hanya mencantumkan beberapa lokasi proyek di Flores yang masuk dalam rencana mereka.
Proyek-proyek itu antara lain PLTP Sokoria berkapasitas 30 MW di Kabupaten Ende, dengan target pada 2028 dan 2029. PLTP ini masuk kategori on going dan committed.
Ada beberapa proyek yang masuk ke dalam “rencana tambahan” yakni perluasan PLTP Ulumbu Unit 5 dan 6 di Poco Leok, Kabupaten Manggarai. Unit 5 ditargetkan pada 2030 dan Unit 6 pada 2032.
Sementara PLTP Mataloko yang berkapasitas 20 MW di Kabupaten Ngada ditargetkan pada 2031.
Selain itu, proyek lainnya adalah PLTP Oka-Ile Ange di Kabupaten Flores Timur yang ditargetkan pada 2033 dengan kapasitas 10 MW.
PLTP Atadei di Lembata juga masih tercatat dalam tabel rencana pembangunan. Namun statusnya berbeda. PLTP Atadei dengan kapasitas 2×5 MW (total 10 MW) ditargetkan beroperasi pada 2030 dengan status “special handling”.
Status ini menunjukan bahwa meskipun PLN tetap menempatkannya dalam rencana resmi, proyek tersebut lebih diposisikan sebagai rencana cadangan yang realisasinya sangat bergantung pada perkembangan kebutuhan listrik di Flores ke depan.
Soal tak lagi memprioritaskan PLTP Wae Sano dan PLTP Nage, PT PLN memberikan catatan soal implementasi keduanya yang dinilai sangat berisiko. Analisis dalam RUPTL menyoroti beberapa kendala utama.
Pertama, statusnya berubah menjadi “inisiatif pemerintah, bukan proyek PLN langsung.”
Menurut PT PLN, eksekusi proyek itu hanya bisa jalan jika ada penugasan khusus dari pemerintah dan dukungan kebijakan lintas kementerian.
Kedua, masalah keseimbangan antara permintaan (demand) dan pasokan (supply). Dalam dokumen itu dijelaskan bahwa sistem listrik Flores sudah kelebihan cadangan (reserve margin) cukup tinggi.
Kalau dua PLTP itu tetap dipaksakan, menurut PLN, ada risiko terjadi oversupply, artinya listrik yang diproduksi lebih banyak dari yang dibutuhkan.
Hal ini bisa menimbulkan kerugian karena kontrak listrik biasanya berbasis skema take or pay. Dalam skema itu, PLN tetap membayar kepada perusahaan yang membangun PLTP, meski listrik tidak dipakai.
Ketiga, kedua proyek itu hanya akan dilanjutkan bila ada peningkatan permintaan listrik.
Menurut PLN, merujuk pada Peraturan Presiden (Perpres) No. 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, proyek di Wae Sano dan Nage baru bisa dijalankan kalau ada jaminan pertumbuhan kebutuhan listrik.
Misalnya karena industri baru atau dedieselisasi, yaitu program untuk mengurangi atau mengganti penggunaan pembangkit listrik berbahan bakar diesel (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel/PLTD) dengan sumber energi yang lebih bersih dan terbarukan. Jika tidak, PLN menundanya untuk menghindari beban biaya.
Kendati proyek geotermal Wae Sano dan Nage tidak sepenuhnya dihapus, RUPTL ini sama sekali tidak menyinggung soal dampak sosial dan budaya yang menjadi alasan resistensi warga selama ini.
Tetap Disyukuri
Bagi warga Wae Sano, kabar itu tetap layak disyukuri karena setidaknya mereka bebas dari ancaman proyek dalam beberapa tahun ke depan. Mereka mengingat lagi gerakan perlawanan yang berlangsung sejak proyek itu mulai masuk pada 2017.
Selain warga dari tiga kampung, ritual di Golo Lampang juga dihadiri perwakilan beberapa lembaga advokasi, termasuk Sunspirit For Justice and Peace dan Komisi Justice, Peace, and Integrity of Creation dari lembaga religius Katolik (JPIC SVD).
Keduanya adalah bagian dari jaringan lembaga yang selama ini menyertai perjuangan warga Wae Sano.
Warga Poco Leok dari Kabupaten Manggarai yang juga menghadapi masalah proyek geotermal perluasan PLTP Ulumbu Unit 5 dan 6 juga ikut hadir.

Setelah prosesi di puncak Golo Lampang, acara dilanjutkan di rumah adat Kampung Nunang.
Di sana, mereka menggelar ritual Angkos Dewa dengan satu hewan kurban lain, Manuk Lale (ayam betina berwarna cokelat).
Secara harfiah ritual itu berarti ‘menggendong Dewa’, yaitu proses sakral yang melambangkan penghormatan terhadap alam dan leluhur.
Dalam ritual itu, Herman Hemat, tua adat yang memimpinnya menyampaikan rasa syukur atas perlindungan leluhur bersama Mori Agu Ngaran, sebutan untuk Tuhan Pemilik Kehidupan selama mereka melakuka perlawanan.
Yoseph Erwin Rahmat, salah satu tokoh adat berkata, ritual ini menjadi ruang penyembuhan bersama setelah melalui masa-masa penuh gejolak.
“Selama perjuangan ini, kami sudah mengalami banyak tekanan untuk jiwa, raga. Bahkan, derajat manusiawi kami direndahkan,” katanya.
“Acara ini perlu dilakukan sebagai ucapan syukur agar kami bisa kembali ke kehidupan kita yang nyaman,” tambahnya.
Menurut Yoseph, ritual itu juga merupakan bentuk syukur atas bantuan lembaga-lembaga advokasi selama mereka berjuang.
“Dengan keterlibatan leluhur kami merasa kuat,” katanya, hal yang juga tampak “melalui dukungan dari banyak pihak, terutama lembaga jaringan.”

Yoseph berkata, bagi warga Wae Sano, ritual di Golo Lampang dan di kampung mereka di Nunang bukan sekadar tradisi, melainkan pernyataan kultural bahwa perjuangan menjaga tanah dan air adalah bagian tak terpisahkan dari identitas mereka.
Ia berkata, ritual serupa juga pernah digelar masyarakat ketika proyek tersebut pertama kali disosialisasikan di Wae Sano pada tahun 2017.
Mengulanginya kembali di tahun ini, kata dia, menjadi pengingat bahwa perjuangan ini bukan hal baru, melainkan rangkaian panjang dari penolakan yang sejak awal disuarakan.
Dengan menggelar ritual syukur, katanya, warga juga menegaskan kembali komitmen untuk merawat warisan leluhur serta menjaga ruang hidup dari ancaman eksploitasi geotermal.
Elisa Lehot berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Editor: Ryan Dagur
Artikel ini telah diterbitkan di media Floresa.co