Diskusi Publik di Flores Tekankan Pentingnya Konsolidasi Masyarakat Sipil untuk Kawal Proyek Strategis Nasional

Floresa.co – Proyek Strategis Nasional [PSN] di Flores menjadi ancaman bagi kehidupan sosial, budaya dan ekonomi warga serta berpotensi merusak keutuhan lingkungan, kata aktivis dan peneliti yang berbicara dalam diskusi yang digelar Floresa baru-baru ini.

Karena itu, para pembicara dan peserta menyepakati pentingnya konsolidasi elemen sipil dalam menggelorakan upaya perlawanan demi memastikan pemenuhan hak-hak warga.

Berlangsung di Rumah Baca Aksara, Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, Minggu, 10 Maret, diskusi bertajuk “Rekonsolidasi Elite Pasca Pemilu dan Nasib Pulau Flores” itu menyoroti situasi berbagai PSN dan dampaknya untuk warga.

Melky Nahar, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang [Jatam] mengatakan berbagai PSN, termasuk di Flores, memiliki beberapa ciri umum, yakni “cenderung memiskinkan warga, disertai oleh pendekatan keamanan.”

Proyek-proyek demikian yang mengandalkan lahan skala besar, kata dia, berdampak pada pencaplokan dan alih fungsi lahan yang menjadi basis produksi utama warga, “entah petani, nelayan, dan lain-lain.”

“Kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan, misalnya yang terjadi di Poco Leok, menjadi semacam pola umum dalam pelaksanaan berbagai PSN untuk menekan masyarakat,” katanya.

Poco Leok merupakan salah salah satu dari beberapa titik pengembangan proyek geotermal di Flores oleh PT Perusahaan Listrik Negara, yang masuk kategori PSN di bidang energi.

Melky juga mengatakan dalam berbagai proyek tersebut terjadi praktik penyembunyian data, juga serangan digital terhadap warga, aktivis dan jurnalis yang terlibat dalam advokasi kasus-kasus terkait pelanggaran hak-hak warga.

Penolakan terhadap pelaksanaan proyek-proyek tersebut, baik di bidang pariwisata, infrastruktur maupun pengembangan energi, kata dia, terjadi karena  “tidak berangkat dari aspirasi warga” dan “bersifat top-down atau kebijakannya datang dari atas.”

“Proyek yang vital dan strategis menurut pemerintah belum tentu vital dan strategis untuk warga,” katanya.

Persoalan dengan berbagai proyek ini, kata Melky, berpotensi bertambah buruk pasca Pemilu 2024, mengingat Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang telah menjanjikan akan meneruskan model pembangunan rezim pemerintahan Joko Widodo.

Venan Haryanto, pembicara lainnya yang juga peneliti isu pembangunan di Flores mengungkapkan praktik kekuasaan yang tampak dalam perampasan sumber daya melalui berbagai PSN.

Ia mengatakan “Pulau Flores menjadi area perebutan sumber daya yang masif di Indonesia bagian timur, akibat mabuk investasi dari oligarki di level pemerintah pusat”.

“Ada akumulasi melalui perampasan, di mana penguasa menggunakan regulasi dan cara-cara kekerasan untuk membungkam warga,” ungkapnya.

Ia mengambil contoh PSN bidang pariwisata yang terjadi di kawasan Taman Nasional Komodo, di mana “pemerintah menyebut proyek tersebut bagian dari konservasi, tetapi warganya diusir keluar dari pulau itu.”

Ia juga mengatakan pemerintah kerap menggunakan mekanisme kekuasaan yang “memanipulasi informasi, melakukan penipuan atau akal-akalan dan memanfaatkan institusi penting seperti Gereja Katolik” untuk meloloskan proyek-proyek yang merusak alam dan mengancam ruang hidup warga.

Contoh lain yang diangkatnya adalah kasus pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus di Golo Mori, 25 kilometer arah  selatan Labuan Bajo, di mana terjadi alih kepemilikan lahan dari warga kepada pengusaha-pengusaha besar, juga proyek alih fungsi Hutan Bowosie oleh Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores yang berpotensi merusak alam dan menyebabkan konflik dengan warga setempat.

Ia menyebut kasus-kasus tersebut sebagai “accumulation by urbanization” atau akumulasi sumber daya untuk mengubah suatu kawasan perkampungan menjadi perkotaan.

Dalam praktiknya, ruang hidup warga setempat dikuasai oleh orang-orang luar yang mengusai kapital dan punya akses kepada institusi negara untuk melakukan penguasaan.

Praktik-praktik tersebut, kata Venan yang juga mahasiswa doktoral Universitas Bonn, Jerman, memicu protes publik dan perlawanan warga lingkar proyek.

“Warga memiliki beragam argumentasi untuk melawan perampasan tersebut, misalnya keutuhan ruang hidup yang berhubungan dengan adat, alasan-alasan ekologis, juga keberlangsungan ekonomi dari sumber-sumber alam,” ungkapnya.

Ia mengatakan adat merupakan “bagian inti dari eksistensi orang Flores”, yang tampak dalam hubungan komunitas masyarakat dengan elemen-elemen adat, yakni kampung, altar sesajian, kuburan, mata air, lahan ulayat, dan rumah adat.

“Perlawanan berbasis adat tersebut juga dengan mudah beririsan dengan gerakan warga berbasis argumentasi keutuhan lingkungan dan argumentasi ekonomi, sebab sumber ekonomi warga berasal dari komoditas pertanian, peternakan, perikanan, bukan industri ekstraktif,” katanya.

Terkait perlawanan tersebut, ia mengangkat contoh protes yang dilakukan warga adat Wae Sano terhadap pembangunan geotermal, yang menurut warga mengancam keutuhan ruang hidup mereka.

Protes lainnya, kata dia, juga terjadi di beberapa wilayah, di antaranya terhadap rencana relokasi warga adat Ata Modo di Taman Nasional Komodo dan pembangunan lokasi wisata buatan “Parapuar” di Hutan Bowosie.

Selain itu, kata dia, pola serupa juga terjadi dalam beberapa proyek geotermal di Flores, yakni di Poco Leok Kabupaten Manggarai, Mataloko Kabupaten Ngada, dan Sokoria Kabupaten Ende.

Tanggung Jawab Kelompok Sipil

Arsen Jemarut, guru SMA Katolik St. Fransiskus Saverius Ruteng yang menjadi penanggap materi narasumber mengetengahkan kondisi sosial politik di Flores yang diwarnai oleh lemahnya pengawasan masyarakat sipil terhadap pemerintah.

“Kita terlalu berharap penuh pada kinerja lembaga legislatif, tetapi itulah risiko dari politik representatif,” ungkapnya.

Representasi politik melalui lembaga legislatif, kata dia, tidak dapat dihindari, tetapi membutuhkan kerja keras kelompok sipil untuk “membangun oposisi yang sehat” dalam kebijakan-kebijakan pemerintah.

Hal serupa disampaikan penanggap lainnya, Jonaldi Mikael, aktivis alumnus Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang, yang mengatakan peran akademisi dari kampus-kampus di NTT “bukan hanya tidak signifikan”, tetapi bahkan “menganggap pergerakan mahasiswa sebagai sesuatu yang tidak berguna.”

“Saat ini banyak akademisi berlomba-lomba masuk dalam sistem kekuasaan, dan itu tentu saja bertolak belakang dengan semangat gerakan masyarakat sipil yang menjadi oposisi pemerintah,’ ungkapnya.

Melky Nahar mengatakan, berhadapan dengan kompleksitas situasi akibat PSN tersebut, masyarakat sipil perlu terkonsolidasi dengan baik.

Ia memetakan kelompok sipil dalam beberapa elemen, yakni warga, LSM, akademisi, jurnalis, dan Gereja Katolik sebagai lembaga agama.

“Banyak di antara kita menganggap bahwa proyek-proyek yang masuk ini mendatangkan kesejahteraan atau kebaikan di tengah warga,” ungkapnya.

Ia mengatakan narasi-narasi kesejahteraan dari proyek tersebut “tidak hanya disebarkan oleh aktor dari golongan pemerintah dan pelaku industri tetapi juga akademisi, aktivis, dan elemen masyarakat sipil lainnya”.

“Elite-elite Gereja lokal juga justeru bermain dan mengambil bagian dalam kompleksitas masalah ini. Contohnya di kasus Wae Sano dan Poco Leok, di mana keuskupan justeru bersekongkol dengan penjahat untuk kepentingan investasi,” lanjutnya.

Padahal, kata dia, investasi geotermal Wae Sano dan Poco Leok tidak terkait langsung dengan kebutuhan primer warga atau umat, tetapi menjadi kebutuhan primer industri.

“Ini berbeda ketika kita bersama melawan rezim pertambangan mangan di Flores sebelumnya, di mana hampir seluruh stakeholders solid memaksa pemerintah menghentikan industri ekstraktif itu,” ungkapnya.

Frans Anggal, peserta diskusi yang juga Pemimpin Umum media lokal Krebadia.com mengatakan kelompok masyarakat sipil sebenarnya memiliki peran strategis di Flores.

Namun, kata dia, kelompok tersebut lebih banyak “bungkam dan tidak kritis terhadap situasi sosial di sekitarnya.”

“Kita di sini seperti punya peternakan akademisi, peternakan aktivis, jurnalis, bahkan juga peternakan rohaniwan,” ungkapnya.

Ia mengatakan kelompok masyarakat sipil tersebut kerap menjadi “ternak yang berlindung di ketiak penguasa” dan mencari keuntungan dari krisis-krisis yang terjadi.

“Dulu Gereja Katolik yang paling depan menolak tambang, tetapi sekarang ini sudah tidak bisa diharapkan lagi,” ungkapnya menyoroti sikap Keuskupan Ruteng yang ikut mendukung berbagai proyek pemerintah yang merugikan warga dan lingkungan.

Kondisi tersebut, menurut Melky Nahar, membutuhkan konsolidasi masyarakat sipil yang lebih baik, yang dapat dimulai dengan “mendefinisikan ulang pemahaman kita tentang oposisi.”

“Kita tidak bisa berharap pada oposisi pemerintah yang ada di lembaga legislatif, tetapi kita inilah yang harus menjadi oposisi yang sebenarnya,” pungkasnya.

Diskusi publik tersebut, yang dihadiri puluhan warga dari latar belakang jurnalis, aktivis, akademisi, pekerja sosial, dan warga dari lokasi PSN adalah bagian pembuka dari kegiatan “Pelatihan Jurnalistik Jurnalis dan Warga di Lingkar PSN di Flores” oleh Floresa.

Pelatihan pada 11-13 Maret ini, dengan fasilitator Ryan Dagur dan Anastasia Ika – editor Floresa –  diadakan dalam kolaborasi dengan Sunspirit for Justice and Peace, Jaringan Advokasi Tambang, dan Rumah Baca Aksara.

Kegiatan ini juga adalah sesi akhir dari program penguatan kapasitas jurnalis di Flores, di mana Floresa melakukan lokakarya untuk jurnalis menyediakan beasiswa liputan bagi sepuluh jurnalis terkait kasus-kasus korupsi dan tata kelola pemerintahan.

Program tersebut, yang didukung dana hibah melalui Alumni Thematic International Exchange Seminar [TIES] dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, dimulai sejak Agustus tahun lalu.

 

Publikasi Lainnya