Tim Baku Peduli Center
Lima belas siswa Sekolah Menengah Pertama [SMP] dan Sekolah Menengah Atas [SMA] dari Sekolah Lentera Harapan Labuan Bajo mengadakan kunjungan ke Rumah Tenun Baku Peduli [RTBP], pusat galeri budaya tenun NTT di Watu Langkas, Desa Nggorang, Kabupaten Manggarai Barat, Selasa, 5 Maret 2024.
Kunjungan tersebut, yang bertajuk “Study Tour; Belajar Warisan Tradisi Tenun NTT” diadakan dalam rangkaian proses pembelajaran sekolah tentang budaya Nusa Tenggara Timur. Selain itu, juga pembelajaran terkait sumber daya ekonomi kreatif.
Para siswa yang didampingi seorang guru perempuan diterima oleh segenap Tim Rumah Tenun Baku Peduli, diawali dengan pengenalan pengetahuan umum tentang gerakan sosial-ekonomi kreatif yang diinisiasi oleh komunitas tersebut sejak lebih dari sepuluh tahun silam.
Selanjutnya, para siswa mengikuti “tour tenun”, dipandu oleh tour interpreter RTBP, In Afrida. Tour tenun adalah “perjalanan wisata keliling di dalam area RTBP untuk melihat proses-proses pembuatan karya tenun dari awal hingga akhir”.
In memperkenalkan kepada mereka tanaman kapas, bahan baku utama pembuatan benang yang kemudian digunakan dalam proses menenun sebuah kain. Pohon kapas tersebut tumbuh persis di halaman tengah RTBP.
Selain itu, ada juga penjelasan tentang berbagai macam tanaman yang digunakan sebagai bahan baku pewarnaan alami benang, yang semuanya tumbuh di kebun belakang RTBP. Tanaman tersebut seperti indigofera, kunyit, pepaya, jambu biji, dan mangga.
Tahap selanjutnya adalah perkenalan dengan studio pewarnaan alami, di mana para siswa melihat secara langsung beragam bahan pewarna yang telah dikeringkan, difermentasi, dan sedang diekstraksi.
Ekstraksi adalah proses penting pada tahap awal, di mana bahan-bahan baku pewarnaan yang berasal dari tanaman dipanaskan dengan air agar mengeluarkan warna. Cairan berwarna dari hasil ekstraksi tersebut kemudian diaplikasikan, di mana benang dicelup dalam wadah cairan, lalu dijemur.
“Ini adalah proses menyatukan benang dan pewarna menjadi karya yang memukau dengan warna alami yang menakjubkan”.
Sebagai proses belajar, para siswa tersebut kemudian mulai mengajukan berbagai pertanyaan.
Salah satu pertanyaan yang menarik adalah “mengapa warna tenunan songke yang menggunakan bahan baku pewarnaan alami tidak hitam pekat seperti pada tenunan dari pewarna sintetis?”
Pertanyaan tersebut dijawab oleh Herlina Lenos, salah satu dari dua penenun RTBP, dengan mengatakan “bahwa setiap bahan pewarna alami memiliki karakteristik dan kualitasnya sendiri.” Bahan pewarna alami, kata dia, memiliki ciri khas yang tidak menghasilkan warna yang terlalu gelap.
Ia juga memberikan penjelasan singkat terkait perbedaan warna yang dihasilkan dari ekstraksi tanaman kunyit yang masih mentah dan yang sudah dikeringkan.
Selain itu, Herlina juga menjelaskan kepada para siswa tentang bahan baku penghasil warna hitam pada benang, yakni daun ketapang dan akar pohon mahoni, “tetapi kadar warnanya bergantung pada bahan pengikat yang digunakan.”
Sebelum menutup sesi presentasi di studio pewarna alami, In menekankan pentingnya menghargai kekayaan alam yang beragam dan perlunya menjaga warisan alam tersebut demi keberlanjutan ekosistem, sekaligus keberlangsungan ekonomi masyarakat.
“Meski warna hitam dari bahan alami tidak pekat seperti dari pewarna sintetis, keindahan dan keberagaman warna yang diciptakan oleh alam tetaplah luar biasa,” kata In.
“Lebih dari itu pewarna alami lebih ramah terhadap lingkungan dan juga tidak berpotensi buruk pada tubuh orang yang mengenakan kain tenun tersebut,” lanjutnya.
Tour kemudian berlanjut menuju galeri tenun, di mana para siswa melihat proses tenun yang menakjubkan, dilakukan oleh dua penenun RTBP, Herlina dan Karolina Mun. Selain itu, ada juga koleksi berbagai jenis dan motif tenun tradisional dari wilayah Nusa Tenggara Timur.
Tim RTBP merasa senang dapat berbagi pengalaman dan pengetahuan dengan anak-anak muda ini.
“Mengenalkan budaya secara langsung memberikan kami energi tambahan untuk terus peduli dan memperjuangkan pelestarian dan pengembangan budaya tenun.”