Tenun di Tengah Industri Pariwisata: Getol Dipromosikan, Tapi Minim Strategi Pelestarian dan Penguatan Ekosistem Ekonomi

Oleh: Elisabeth Hendrika Dinan

Elisabeth Hendrika Dinan [Dokumentasi Pribadi]
Selama 10 tahun terakhir, pemerintahan Presiden Joko Widodo telah mengambil peran dalam promosi tenun. Selain rutin memakai tenun atau pakaian adat lainnya saat peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus, sejak tahun 2021 ia menetapkan tanggal 7 September sebagai Hari Tenun Nasional.

Langkah itu membuat tenun setara dengan batik yang juga memiliki hari khusus. Ini adalah pengakuan resmi pemerintah bagi tenun sebagai kekayaan warisan budaya Nusantara.

Bersamaan dengan itu, tenun terus dipromosikan di ajang lokal, nasional maupun internasional. Misalnya, melalui pameran, fashion show, dan penetapan kostum kerja pada hari-hari tertentu yang sudah dipraktikkan di beberapa institusi pemerintah maupun swasta.

Tenun juga dijadikan sebagai kostum para tamu negara dalam berbagai acara resmi. Salah satunya saat penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi pimpinan negara-negara Asia Tenggara atau ASEAN di Labuan Bajo pada Mei lalu.

Langkah-langkah promosi seperti ini menumbuhkan optimisme baru bagi penenun, masyarakat adat pemilik budaya tenun, serta para pegiat budaya dan ekonomi yang fokus pada upaya pengembangan dan pelestarian tenun.

Namun,   apakah promosi saja sudah memadai demi pengembangan dan pelestarian kebudayaan dan ekonomi tenun?

Sambil mengapresiasi gencarnya upaya promosi, kita perlu menaruh perhatian pada dua masalah mendasar yang membutuhkan penanganan strategis, yaitu, minimnya perhatian terhadap upaya pewarisan kebudayaan tenun dan kurangnya perhatian terhadap ekonomi para penenun.

Jalan Terjal Pewarisan Kebudayaan Tenun

Budaya tenun adalah warisan turun-temurun yang hanya akan lestari jika proses pewarisan lintas generasi ditangani secara baik.

Pewarisan bukan hanya terkait kelanjutan produksi kain tenun, melainkan seluruh sistem pengetahuan, proses produksi, ritual-ritual, serta sistem sosial budaya sebagai ekosistem yang memungkinkan tenun berkembang.

Setidaknya di wilayah adat Manggarai Raya, Flores barat, kami menyaksikan bagaimana regenerasi penenun yang sangat mengkhawatirkan.

Dari tahun ke tahun, jumlah penenun memperlihatkan tren yang makin menurun.  Penyebabnya antara lain karena  promosi tenun yang masif tidak dibarengi dengan upaya mendorong atau menciptakan strategi regenerasi penenun yang baru.

Menurunnya jumlah penenun ini seiring hilangnya generasi para pengrajin alat-alat tenun. Alat-alat tenun merupakan bagian yang tak terpisahkan dari produk tenun, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain.

Dalam tradisi Manggarai, satu set alat tenun songke yang disebut Ewang Dedang terdiri dari 15 alat yang nama dan fungsinya berbeda-beda, yakni Lihur, Pesa, Tampang, Peteko, Helung, Pelumpak, Bila, Hum Anak, Hum Ine, Jangka, Bampang, Sangku, Keliri, Keropong dan Purung. Setiap alat ini umumnya merupakan warisan dari orang yang berbeda-beda, baik keluarga penenun maupun kerabat lainnya. Dari satu set alat tenun, penenun bisa menjelaskan lapisan generasi sebelumnya yang mewariskan Ewang Dedang tersebut.

Sayangnya, dari tahun ke tahun, para pengrajin pembuat alat tenun sudah semakin langka. Tersisa alat-alat tenun warisan, tanpa cadangan jika kemudian ada yang rusak.

Tahun 2018, saya melakukan observasi lapangan untuk mendata para pengrajin alat-alat tenun di Cibal, Kabupaten Manggarai. Dari tujuh orang yang ditemui, semuanya mengerjakan alat yang sama, Jangka (sisir tenun), sedangkan alat-alat lainnya yang berukuran besar sudah tidak lagi diproduksi.

Kelangkaan jenis kayu-kayu lokal di hutan seperti kukung, pohon asam yang menjadi bahan baku pembuatan alat tenun besar seperti Bampang, Tampang dan Sangku, menjadi persoalan.

Memang saat ini sudah muncul tawaran alat-alat tenun baru yang dibuat menggunakan kayu lain seperti jati atau mahoni. Namun, berdasarkan pengalaman para penenun, kualitasnya berbeda jauh, gampang pecah dan bisa merusak helai benang saat proses menenun.

Jalan terjal pewarisan kebudayaan tenun ini juga kian menantang karena distribusi pengetahuan tenun yang masih terbatas. Distribusi pengetahuan menjadi penting karena dari sanalah apresiasi terhadap tenun dimulai.

Di lapangan, saya menemukan upaya pewarisan pengetahuan tenun  seringkali hanya terjadi di lingkaran keluarga penenun. Padahal, pewarisan pengetahuan tenun mestinya juga menjangkau lingkungan yang lebih luas, misalnya sekolah sehingga dapat menjadi pengetahuan lokal yang mengakar dalam diri para pelajar.

Selain itu, penelitian yang dilakukan pihak luar selama ini masih terbatas dan sulit diakses oleh kalangan penenun sendiri.

Pewarisan nilai budaya tenun juga makin tidak diperhatikan di tengah kurangnya perlindungan hak kekayaan intelektual dan ancaman industri tekstil yang mengambil banyak motif tenun NTT, terutama motif-motif tenun ikat.

Keterbukaan penenun untuk membagi semua pengetahuan tenun, baik teknik maupun motif membuka ruang bagi para penjiplak untuk menirunya dengan semena-mena.

Hal yang juga tidak kalah meresahkan adalah produk-produk ini dijual kembali dengan dengan harga murah di wilayah adat, tempat motif yang dicetak itu berasal.

Ini tentu sangat berbahaya bagi pewarisan kebudayaan tenun sebagai hak kekayaan intelektual kolektif penenun.

Tantangan Merawat Ekosistem Ekonomi Tenun

Selain sebagai sebuah kebudayaan, tenun tentu tidak bisa dipisahkan dari keberadaannya  sebagai salah satu tiang penopang ekonomi rumah tangga.  Insentif ekonomi  bagi para penenun sebagai pelaku kebudayaan menjadi prasyarat penting upaya pewarisan kebudayaan tenun.

Namun, ada beberapa masalah besar yang perlu diperhatikan. Pertama-tama, kita masih memiliki permasalahan serius soal mematok harga kain tenun yang adil ketika dibeli dari tangan para penenun.

Masalah klasik bagi penenun adalah harga tenun yang ditentukan oleh pasar. Berdasarkan cerita-cerita yang saya rekam dari komunitas penenun di wilayah Cibal bagian timur di Kabupaten Manggarai, konsekuensi tersebut termasuk harga tenun yang tidak sesuai dengan modal pembelian benang dan jasa menenun.

Padahal, harga yang dipatok seharusnya mempertimbangkan beberapa variabel, seperti jenis benang yang digunakan, ukuran kain dan tingkat kerumitan motif. Semakin rumit motif, semakin tinggi harga. Begitu juga dengan jenis benang yang digunakan. Harga tenun yang menggunakan pewarna alam dengan motif padat dan rumit berbeda dengan tenun pewarna sintetis, apalagi jika motifnya jarang.

Solusi pemerintah juga kerap tidak tepat sasaran. Kendati banyak program membagi-bagi benang kepada para penenun, namun ujungnya berakhir sebagai sebuah proyek, tidak berkelanjutan. Sementara penenun kembali  menghadapi  soal yang sama, yaitu harga tenun yang tidak memadai.

Langkah pengembangan tenun sebagai bagian penting dari merawat ekosistem ekonomi tenun ini juga belum mendapatkan perhatian yang serius.

Sangat sedikit proyek tenun yang mengurus soal pengembangan tenun. Pengembangan tenun yang saya maksudkan di sini adalah bagaimana penenun mesti memisahkan dua hal ketika merancang satu tenunan yaitu tenun untuk kebutuhan adat istiadat yang mesti mengikuti pakem tertentu, dan tenun dengan desain baru yang akan dijual untuk khalayak umum yang fungsinya bisa bermacam-macam.

Pembedaan ini sangat penting untuk memudahkan proses penjualan.

Peluang dan Tantangan di Tengah Industri Pariwisata

Bagaimana kaitan antara budaya tenun dengan ekonomi pariwisata menjadi pertanyaan yang krusial dijawab di tengah tren menjadikan tenun sebagai salah satu objek penting pariwisata. Kita tentu perlu menyikapi hal ini secara kritis dalam rangka memperkuat kebudayaan tenun.

Untuk itu, saya menyodorkan beberapa hasil pengamatan berikut yang penting untuk kita perhatikan.

Pertama, sekarang ini tak terbantahkan lagi bahwa pariwisata membuka peluang bagi ekonomi tenun. Tenun telah menjadi produk sekaligus atraksi wisata. Sebagai produk, pariwisata telah mendorong lahirnya banyak ekonomi berbasis tenun, seperti makin banyaknya toko suvenir yang memajangkan tenun sebagai produk utama.

Selain itu, pariwisata juga telah mendorong lahirnya komunitas-komunitas tenun yang menawarkan tenun sebagai atraksi wisata.

Pada situs-situs milik agen perjalanan, kerap kita temukan paket-paket tur tenun yang telah menjadi opsi wisata budaya. Tren foto-foto wisatawan menggunakan tenun juga telah mendorong perubahan pola kain tenun tradisional menjadi bermacam-macam produk.

Kedua, pariwisata juga berkontribusi dalam penguatan kebudayaan tenun melalui pendekatan storytelling. Melalui pendekatan ini wisatawan akan mendapat gambaran utuh bagaimana tenunan dibuat dan cerita-cerita di baliknya. Biasanya apresiasi akan muncul dengan sendirinya ketika wisatawan memiliki perspektif dari sudut penenun.

Selain nilai ekonomi, storytelling berperan penting dalam distribusi pengetahuan budaya tenun.

Namun, poin positif di atas juga disertai dengan kenyataan miris bahwa pariwisata juga berkontribusi pada komersialisasi tenun serta marginalisasi para penenun di komunitas-komunitas kita.

Salah satu bentuknya yang sudah umum terjadi adalah tenun diproduksi semata-mata sebagai suvenir untuk dijual kepada turis. Di sini, nilai kebudayaannya memudar. Selain itu, semakin membanjir produk tekstil dari luar yang mencuri motif tenun dan dipajang di toko-toko suvenir, yang sayangnya diklaim sebagai tenun daerah.

Gejala ini mengancam budaya tenun sekaligus merugikan para penenun kita. Celakanya, pemerintah tampak tidak mengambil langkah konkret untuk mengatasi hal ini.

Selain itu, terjadi pencurian pengetahuan tenun oleh pihak luar. Berkedok wisatawan, banyak pihak datang mengumpulkan informasi tentang tenun dari komunitas-komunitas penenun, mencuri motif dan pengetahuannya, untuk kemudian dikembangkan sebagai publikasi dan produk kreatif.

Hal ini dilakukan tanpa pengakuan yang memadai dan kolaborasi dengan masyarakat pemilik budaya tenun itu.

Harapan

Sebagai masyarakat pemilik kebudayaan tenun, kita berharap makin banyak inisiatif warga untuk mengatasi berbagai persoalan terkait dengan proses pewarisan budaya tenun.

Kita juga perlu memperkuat ekosistem ekonomi yang memungkinkan produksi dan promosi tenun sebagai produk yang dapat menguntungkan bagi komunitas pembuatnya.

Selain itu, kita berharap pemerintah dalam konteks pengembangan ekonomi kreatif dan pariwisata mengambil langkah-langkah strategis untuk perlindungan budaya dan ekonomi tenun bagi masyarakat lokal.

Memakai tenun pada hari-hari besar kenegaraan saja tidak cukup. Hak-hak masyarakat adat pemilik budaya tenun, termasuk hak untuk menikmati keuntungan ekonomi dari promosi tenun sebagai produk pariwisata juga mesti diperhatikan.

Hanya dengan itu, kita akan tetap bisa melestarikan tenun, beserta kekayaan nilai budaya yang terkandung di dalamnya.

Elisabeth Hendrika Dinan adalah Pegiat Rumah Tenun Baku Peduli dan Direktur Sunspirit for Justice and Peace

Publikasi Lainnya