Telah lama diklaim sebagai yang terbaik di Indonesia, bahkan dunia, pariwisata Bali bukan tanpa masalah.
Problemnya justeru pelik dan sistemik, sebagaimana yang telah banyak diangkat dalam sejumlah kajian kritis.
Salah satunya adalah studi komprehensif Agung Wardana dalam bukunya yang berjudul Contemporary Bali: Contested Space and Governance (Bali Kontemporer: Ruang dan Pemerintahan yang Diperebutkan)
Menggunakan lensa ekonomi-politik, pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ini menempuh rute yang berbeda dari penjelasan-penjelasan dominan terkait krisis pariwisata di Bali.
Baginya, masalah-masalah pariwisata seperti degradasi lingkungan, keterpinggiran warga lokal dari akses terhadap sarana produksi [tanah] dan kemiskinan merupakan dampak langsung dari dominasi ekonomi-politik pariwisata kapitalistik.
Dalam penelusurannya, sejak awal mulai dikembangkan pada era Orde Baru hingga era desentralisasi sekarang ini, kebijakan pariwisata di Bali terus memfasilitasi kaum pemodal dan pengusaha untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari sumber daya yang ada.
Mengkritisi Tiga Perspektif Arus Utama
Agung berusaha melawan tiga konstruksi cara berpikir yang selama ini dominan dipakai ketika menjelaskan masalah pariwisata di Bali.
Ketiga cara berpikir tersebut yaitu teori pilihan rasional, perspektif konservatif dan pendekatan institusionalisme.
Ketiga cara berpikir itu, menurut dia, cenderung mengabaikan faktor-faktor ekonomi-politik seperti isu-isu ketidakadilan akses, ketimpangan relasi kuasa sebagai akar utama krisis pembangunan pariwisata di Bali.
Perspektif pilihan rasional misalnya dominan dipakai ketika menjelaskan masifnya peralihan lahan-lahan pertanian (subak) menjadi kawasan investasi pariwisata melalui pembangunan infrastruktur seperti hotel, restoran atau vila.
Secara sederhana, teori pilihan rasional berpendapat bahwa tindakan yang diambil oleh seseorang/sekelompok orang semata didasarkan pada kalkulasi untung rugi atas suatu hal.
Menggunakan cara pandang ini, Pemerintah Provinsi Bali menjelaskan bahwa alasan para petani menjual tanah adalah karena mereka merasa pertanian tak lagi menguntungkan. Tingginya biaya untuk membeli pupuk, benih, dan biaya-biaya produksi yang lain berbanding terbalik dengan hasil yang didapatkan.
Dengan kata lain, cara pandang pilihan rasional melihat bahwa konversi lahan yang masif di Bali semata terjadi karena kalkulasi efisiensi dalam sektor pertanian itu sendiri.
Sementara itu, cara pandang konservatisme beranggapan bahwa masalah pariwisata di Bali merupakan dampak yang tak terelakkan dari globalisasi dan modernisasi, yang menggerus nilai-nilai kebudayaan asli orang Bali. Spiritualisme Hindu orang Bali misalnya telah digantikan oleh nilai-nilai dari luar seperti individualisme, hedonisme atau konsumerisme.
Yang bermasalah dari cari pandang ini, demikian ditulis dalam buku ini, adalah ketika itu berkaitan dengan ekonomi.
Argumen ini tidak lagi melihatnya dalam konteks pertarungan kelas yaitu posisi keterpinggiran warga Bali dari akses terhadap sarana produksi seperti tanah. Yang justeru ditekankan adalah berpikir dalam kerangka identitas kebudayaan, orang Bali versus bukan orang Bali.
Dengan kata lain, ketimbang melihat dampak lingkungan, ekonomi, dan kebudayaan yang berakar kuat pada struktur ekonomi-politik industri pariwisata, tanggapan yang lebih dominan justru diarahkan pada politik identitas yang sempit tentang “Kebalian” (Balinesenes).
Sementara itu, perspektif institusionalis beranggapan bahwa desain institusi yang tepat merupakan kunci keberhasilan utama dari pariwisata Bali.
Bertolak dari cara pandang seperti ini, sejumlah akademisi di Bali berpendapat bahwa fungsi otonomi daerah yang dijalankan pada level pemerintah kabupaten/kota sangat tidak cocok, dengan mempertimbangkan kondisi geografi, ekologi, ekonomi dan situasi kebudayaan Bali.
Menurut mereka, desain institusi baru yang disebut “satu pulau satu manajemen” di bawah Pemerintah Provinsi Bali lebih tepat untuk dapat mengawasi pembangunan atau investasi yang berdampak lintas wilayah otonomi kabupaten atau kota.
Konsep ini pun secara politik mendapat momentum dengan disahkannya produk UU No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Mendorong distribusi ekonomi pariwisata yang lebih merata, penyatuan kembali kebudayaan Pulau Bali, menekan praktik rent-seeking pada level kabupaten diklaim dapat dicapai melalui desain institusional yang baru ini.
Konsekuensinya, area-area yang signifikan secara potensi ekonomi, lingkungan dan budaya, yang ada dalam wilayah administrasi kabupaten/kota dijadikan sebagai bagian dari Kawasan Strategis Provinsi (Provincial Strategic Area).
Beberapa area utama yang dibahas dalam buku ini seperti kompleks Candi Uluwatu (Bab 4), area persawahan Jatiluwih (Bab 5) dan Teluk Benoa (Bab 6). Intervensi atas wilayah-wilayah ini pun kemudian menjadi wewenang Pemerintah Provinsi.
Penulis buku ini menilai kebijakan reorganisasi ruang itu bukanlah sesuatu yang muncul dalam ruang kosong, tanpa konteks pertarungan kepentingan tertentu. Ia menyoroti fenomena elite capture yang selama ini menjadi sorotan utama terhadap desentralisasi sebagai desain institusi di Indonesia.
Situasi di lapangan, demikian yang ia temukan, dengan jelas membuktikan bahwa desain “satu pulau satu manajemen” justru melayani kepentingan ekonomi-politik para elite di Bali.
Dengan demikian, baik otonomi khusus Pemerintah Kabupaten maupun Pemerintah Provinsi, keduanya sama sekali tidak mengarah kepada distribusi pendapatan yang adil bagi warga.
Dua-duanya sama sekali tidak imun terhadap fenomena elite capture.
Contoh Kasus: Polemik Reklamasi Teluk Benoa
Kita bisa belajar dari salah satu polemik terkenal di Bali, terkait reklamasi Teluk Benoa, salah satu yang disorot dalam buku ini.
Alih-alih diklaim dalam rangka revitalisasi kondisi lingkungan setempat, kebijakan pemerintah menyerahkan pengelolaan kawasan tersebut kepada sektor swasta yaitu perusahaan Tirta Wahana Bali International [TWBI], milik pengusaha Tomy Winata, justru memperlihatkan kenyataan bencana ekologi dan sosial yang disebabkan oleh model kebijakan yang hanya menguntungkan kepentingan para elite.
Rencana reklamasi ini mendapat perlawanan keras dari berbagai kalangan, mulai dari warga setempat [nelayan, petani rumput laut], pekerja pariwisata, organisasi-organisasi lingkungan hingga berbagai forum masyarakat sipil.