Floresa.co – Selama Juli 2023, tiga kasus kecelakaan kapal wisata terjadi di perairan Taman Nasional [TN] Komodo, Labuan Bajo, NTT.
Arus yang deras di beberapa titik di perairan itu diklaim sebagai pemicu. Namun, sejumlah pemilik kapal juga mengabaikan standar keselamatan. Otoritas pelayaran setempat juga mengaku dilematis menindak.
Insiden terbaru terjadi pada Sabtu, 22 Juli ketika kapal wisata KM Teman Baik tenggelam di perairan kawasan Pink Beach, dekat Pulau Komodo sekitar pukul 11.00 Wita
Kapal jenis pinisi ini mengangkut sembilan wisatawan asal Malaysia.
Itu merupakan kecelakaan ketiga selama bulan ini.
Pada 17 Juli 2023, seorang wisatawan meninggal karena jatuh dari sekoci milik kapal KM Kaia yang berlayar menuju perairan Pulau Mauwang.
Beberapa hari sebelumnya, pada 11 Juli, kapal pinisi Dragonet 01 mengalami patah kemudi akibat gelombang tinggi saat berlayar dari Pulau Padar menuju Pulau Komodo.
Tak Punya Izin Berlayar
Sumber Floresa menyebutkan bahwa kondisi KM Teman Baik memang bermasalah sebelum berlayar.
“Mesin pompa airnya sudah bocor,” kata sumber itu, seorang pelaku wisata di Labuan Bajo, yang meminta Floresa tidak menulis namanya.
Kondisi kapal yang bermasalah itu, kata dia, sudah jadi rahasia umum di kalangan pelaku wisata.
Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan [KSOP] Kelas III Labuan Bajo mengklaim belum bisa memastikan kondisi kapal itu sebelum berlayar.
Yang jelas, menurut Maxianus Mooy, Kepala Seksi Keselamatan Berlayar, Penjagaan dan Patroli KSOP Kelas III Labuan Bajo, kapal itu tidak mengantongi Surat Izin Persetujuan Berlayar [SPB]
“Kapal itu berangkat tanpa melapor. Kalau dia melapor, kami bisa mengecek [keadaannya],” katanya kepada Floresa pada 23 Juli.
“Karena tidak melapor, kita tidak tahu kondisinya,” tambahnya.
Maxianus mengatakan, seharusnya setiap kapal yang hendak berlayar mengantongi SPB, sebagaimana diatur dalam Pasal 219 Undang-Undang No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran.
Nakhoda, tambahnya, “harus memastikan kapalnya memenuhi standar keselamatan berlayar.”
Maxianus mengakui Syahbandar memang tidak melakukan pengecekan fisik kapal sebelum memberikan SPB.
Pengecekan fisik, jelasnya, hanya dilakukan satu kali dalam tiga bulan saat meningkatkan (upgrade) sertifikat keselamatan atau ketika nakhoda dan kru kapal memintanya saat mengajukan SPB.
“Yang harus tahu kapalnya itu layak atau tidak itu kan nakhoda dan kru. Kalau kapalnya bermasalah, misalnya pada pompa atau masalah lainnya, nakhoda berhak untuk menolak keberangkatan. Bilang ke pemilik kapalnya dan melapor ke Syahbandar untuk melakukan pemeriksaan atau pengecekan,” jelasnya.
Maxi mengatakan kapal yang berlayar tanpa SPB merupakan pelanggaran pidana pelayaran, seperti diatur dalam pasal 323 Undang-Undang Pelayaran.
Bila berlayar tanpa SPB dan mengakibatkan kecelakaan sehingga menimbulkan kerugian harta benda, kata dia, nahkoda kapal terancam dipidana penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp1 miliar.
Soal pada Bentuk Kapal dan Manajemen
Selain karena faktor alam dan kelalaian, Taher, seorang kapten kapal asal Pulau Komodo menyoroti pemicu kecelakaan kapal wisata di Labuan Bajo pada bentuk fisik kapal dan manajemen kapal.
“Kapal-kapal yang sering kecelakaan itu adalah kapal yang pada umumnya salah konstruksi. Ketinggian kapal tidak seimbang dengan lambung kapal,” ujar Taher kepada Floresa pada 22 Juli.
Pengamatan Taher, kapal-kapal wisata di Labuan Bajo yang mengalami insiden umumnya memiliki lebar lambung hanya dua meter, tetapi tingginya lebih dari 5 meter.
Akibatnya, kata dia, keseimbangan kapal tidak stabil.
Menurut Taher, idealnya bila kapal memiliki panjang 20 meter, maka lebar lambung 5 meter dan tinggi kapal cukup 4 meter.
Ketinggian 4 meter itu pun menurutnya, “sudah tinggi sekali.”
Taher menduga, aspek keseimbangan antara lambung kapal dan ketinggian kapal diabaikan dalam konstruksi kapal wisata di Labuan Bajo.
Hal ini, kata dia, terjadi karena pemilik kapal mengutamakan jumlah kamar yang banyak sehingga bisa menampung lebih banyak tamu.
Tak hanya dari sisi konstruksi, aspek kesehatan kapal juga tak jarang diabaikan, terutama terkait kondisi mesin kapal.
Menurutnya, pemeriksaan kondisi kapal seharusnya menjadi prioritas, tidak hanya mengutamakan sisi bisnis.
Namun, yang terjadi di Labuan Bajo, kata dia, pemilik kapal mengutamakan cuan, mengabaikan keselamatan sehingga memaksakan kapten atau kru untuk tetap berlayar saat kapal dalam kondisi bermasalah.
Harusnya, kata Taher, kapten-lah yang memiliki kapasitas untuk menentukan layak tidaknya kapal untuk berlayar.
“Yang terjadi di Labuan Bajo, bukan kapasitas kapten lagi, tetapi yang punya kapal. Padahal yang bertanggung jawab penuh di atas kapal itu adalah kapten,” ujarnya,
Maxi tak menampik soal konstruksi kapal dan kelayakan kapal.
Ia mengklaim, kapal-kapal yang mengalami kecelakaan ini umumnya dimiliki warga lokal Manggarai Barat.
Kapal-kapal tersebut, “tadinya kapal nelayan, yang dimodifikasi untuk muat penumpang,” katanya.
Maxianus mengakui Syahbandar dalam kondisi dilematis untuk menindak secara tegas.
Kalau ditindak tegas, katanya, warga lokal tersingkir dari bisnis kapal wisata dan hanya bisa jadi penonton.
“Saya dan teman-teman di kantor juga berusaha untuk selalu mengingatkan mereka agar mesin kapal itu setiap tiga bulan diperiksa dan dilihat kondisinya,” ujar Maxianus.
Ia mengatakan, di perairan TN Komodo, memang ada titik rawan karena arus yang deras, yaitu di Batu Tiga, selat sempit antara Pulau Padar dan Pulau Komodo.
Di lokasi itu, menurut Maxi, arusnya kencang terutama pada saat pasang surut.
“Kalau kapal yang mesinnya kurang terawat, itu biasanya mati mesin di sekitar situ,” ujarnya.
Berdampak Buruk pada Citra Pariwisata Labuan Bajo.
Kecelakaan berulang ini berdampak buruk bagi citra pariwisata Labuan Bajo, kata Evodius Gonzomer, Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia [Asita] Manggarai Barat.
“Wisatawan pasti takut karena tidak adanya jaminan keselamatan yang memadai di pihak angkutan wisata ini,” ujarnya kepada Floresa pada 22 Juli.
Evo berpendapat, kejadian kecelakaan seperti ini sebetulnya bukan semata karena faktor alam, tetapi pada kapten kapal.
“Karena kejadian ini hampir di tempat yang sama. Mau cuaca baik, tidak baik, itu hampir di tempat yang sama,” ujarnya.
“Artinya, seharusnya sudah bisa diantisipasi oleh kapten,” tambahnya.
Senada dengan kantor Syahbandar, Evo menyatakan insiden kapal karam kerap terjadi di Batu Tiga.
“Kan hampir di situ terus kejadiannya. Kekuatan arus di situ sungguh luar biasa. Namun, itu hanya pada jam-jam tertentu, bukan setiap jam,” ujarnya.
Ia mengatakan pada saat pasang surut, arus bergerak dari arah Labuan Bajo ke arah Pulau Komodo.
Insiden biasanya terjadi saat kapal bergerak berlawanan arah dengan arah arus.
Karena itu, menurut dia, harusnya kapten kapal sudah bisa mengantisipasi kondisi bahaya semacam itu.
Demikian juga kantor Syahbandar, kata dia, harus bisa memberikan peringatan kepada kapten kapal saat mengajukan syarat berlayar.
“Kalau kapalnya bagus atau besar, bisa saja dia lewat. Tetapi kalau kapalnya kecil, lalu kekuatan mesin pendorongnya kurang, pasti akan terjadi sesuatu yang tidak kita harapkan. Itu yang kita pelajari selama ini setelah beberapa kali kejadian,” ujar Evo.
Asita, kata Evo, juga sudah sering berkomunikasi dengan para pengelola kapal terkait kondisi arus.
“Cuma itu tadi, kembali lagi ke oknum-oknumnya, terutama kapten kapalnya. Mereka yang lebih tahu kondisi di situ karena hari-hari lewat di situ,” ujarnya.
“Kalau arusnya deras, berhenti saja, tidak usah kejar waktu pulang ke Labuan Bajo. Kadang-kadang kan orang mau kejar waktu. Tidak mau sabar,” katanya.
Perlu Perhatian Serius
Sebelum tiga kasus kecelakaan bulan ini, juga terdapat beberapa kasus sebelumnya.
Pada 21 Januari lalu, KLM Tiana Liveaboard yang mengangkut 17 penumpang – empat di antaranya wisatawan asing – tenggelam di wilayah Batu Tiga.
Insiden itu terjadi hanya beberapa hari setelah sebuah kapal lain KM Dunia Baru Komodo tenggelam di dekat Komodo Resort, Pulau Sebayur pada 16 Januari. Kapal itu mengangkut lima orang turis asing – semuanya satu keluarga besar – bersama empat orang awak kapal dan seorang pemandu wisata.
Pada 20 Mei, kapal lain KM Lalong Koe juga tenggelam di sekitar perairan Batu Tiga.
Sejak 2021, tercatat sudah ada sejumlah kapal lain yang mengalami kecelakaan, yakni Kapal Indo Komodo, Kapal KM Air Dua, Kapal KM Dua By Larea-Rea, Kapal KLM Lexxy, Kapal KLM Sea Savari VII, Kapal Lintas Batas 05, dan Kapal KLM Neomi Cruise.
Rentetan kecelakaan kapal ini telah menjadi keprihatinan para wisatawan.
Di Tripadvisor, situs yang berisi konten terkait perjalanan dan wisata, kabar tentang rangkaian kecelakaan ini sudah mulai banyak dibicarakan.
Dalam salah satu unggahan di website itu, salah satu yang aktif melaporkan berbagai kasus kecelakaan ini adalah Yves de Ryckel.
Ia merupakan warga asal Belgia, yang menjadi korban kecelakaan kapal KM Dunia Baru Komodo. Ia memang pernah mengkritik cara otoritas menangani kecelakaan kapal itu, yang menurutnya tidak akuntabel.
Sebagaimana diakses Floresa pada 24 Juli, dalam salah satu komentarnya, Yves memberi peringatan kepada para wisatawan usai kecelakaan kapal KM Lalongkoe pada 20 Mei.
“Kapal tenggelam karena kondisi cuaca yang cepat berubah, dengan angin kencang dan ombak tinggi. Anda disarankan meminta [pemilik kapal] untuk membaca ramalan cuaca selama pengarahan awal saat hendak berlayar,” tulis Yves.
Dalam komunikasi dengan Floresa, Yves yang mengaku mencintai Flores dan tidak ingin kecelakaan yang menimpanya terjadi pada wisatawan lain mengatakan, ia telah berupaya memberikan beberapa usulan langkah perbaikan standar keselamatan berwisata di Labuan Bajo kepada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif [Kemenparekraf].
Usulan-usulan itu, kata dia, disampaikan setelah ada komunikasi dengan Frans Teguh, Pelaksana Tugas Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur Kemenparekraf.
Dalam salinan usuala yang diperoleh Floresa, yang telah dikirim kepada Frans, dengan tembusan kepada Menteri Sandiaga Salahudin Uno, Yves memaparkan sejumlah langkah praktis.
Beberapa di antaranya adalah keterliban spesialis yang berpengalaman dalam peningkatan keselamatan di bidang transportasi; identifikasi atau pendataan yang rinci terhadap berbagai pihak yang terkait dengan pariwisata – pemilik kapal, sumber daya untuk pemeliharaan kapal kapal, operator tur, dinas terkait, Polisi Air, Otoritas Pelabuhan dan Layanan prakiraan cuaca.
Ia juga menekankan pentingnya pelatihan berkala, ketelitian dalam mengecek persyaratan berlayar, termasuk juga soal kemampuan untuk responsif terhadap kebutuhan wisatawan.
Yves juga mengusulkan standar baku tentang laporan kecelakaan kapal, evaluasi serius setelah ada kejadian yang melibatkan semua pemangku kepentingan, juga memperhitungkan dampak peristiwa seperti ini bagi kepentingan bisnis lokal lewat informasi yang disebar di internet.
Yves juga menyertakan usulan dari Anne Mieke de Hoon, warga Belanda yang sering berkunjung ke Flores dan mengelola secara pribadi situs Flores Surga Kita.
Usulan Anne antara lain agar situs yang menawarkan perjalan wisata memberikan informasi rinci tentang perusahaan; harus sering diperbarui dan menunjukkan tanggal pembaruan terakhir; memuat semua ketentuan yang jelas untuk pemesanan; transparan soal harga [tidak meminta tamu kirim email atau pesan WhatsApp terlebih dahulu]; harus berisi informasi rinci tentang kapal, termasuk standar keselamatan; informasi tentang kondisi cuaca aman; dan izin dari Syahbandar.
Yves memberitahu Floresa pada 23 Juli bahwa hingga kini, usulannya belum direspons.
Setelah kecelakaan kapal pada 20 Mei, kta dia, ia telah menulis kembali surat elektronik kepada Frans Teguh, melampirkan versi dokumen usulan yang diperbarui.
“Sejauh ini saya belum menerima tanggapan atas surat terakhir saya. Sayang sekali.”
Anne Mieke de Hoon, dalam komunikasi dengan Floresa, mengatakan ikut prihatin dengan situasi keamanan pariwisata di Labuan Bajo.
Ia mengatakan cukup beruntung bahwa saat ini pers internasional belum terlalu banyak melaporkan peristiwa kecelakaan kapal di Labuan Bajo, sehingga dampaknya mungkin tidak terlalu besar bagi penurunan jumlah wisatawan asing.
Anne mengingatkan bahwa, ketika pariwisata tidak aman, “yang jadi korban itu bukan hanya investor dari luar atau para pemilik kapal,” yang ia sebut pihak yang paling banyak mengeruk untung dari pariwisata di Labuan Bajo.
“[Yang rugi adalah] semua orang yang kerja di sektor pariwisata, seperti agen, karyawan di kapal, di hotel, sopir, pemandu wisata dan masyarakat di seluruh Flores,” katanya.
Ia mengatakan, pengelolaan pariwisata tidak perlu begitu rumit “kalau kita siap berbagi profitnya, siap kerja dengan keras, ada transparansi, ada rasa hormat dan tanggung jawab.”
Saatnya, kata dia, pembangunan pariwisata di Flores, tidak hanya memikirkan apa yang bisa didapat hari ini, tetapi juga di masa depan, sehingga yang perlu dibangun adalah “investasi kejujuran, investasi kepercayaan, investasi keseriusan dan investasi kedisiplinan.”
Kalau itu semua bisa diupayakan, kata Anne, maka pariwisata bisa membawa manfaat bagi berbagai pihak, termasuk warga lokal, juga berkelanjutan, terjangkau dan aman.