‘BPN Lakukan Pemaksaan dan Abaikan Hak Masyarakat Adat,’ Protes Warga Poco Leok, NTT Soal Pengukuran Lahan Proyek Geothermal

Ditulis oleh:Anno Susabun

Floresa.co – Mengenakan pakaian adat Manggarai, lebih dari empat puluh warga adat Poco Leok mendatangi Kantor Badan Pertanahan Nasional [BPN] Kabupaten Manggarai di Ruteng, Selasa, 4 Juli 2023.

Warga yang berasal dari Gendang Lungar, Tere, Jong, Rebak, Nderu, Ncamar, Cako, Mocok, Mori, dan Mucu itu menumpangi sebuah truk kayu. Beberapa lainnya menggunakan sepeda motor.

Tiba pada pukul 11.15 WITA, mereka disambut oleh staf kantor itu, Mar’atus Shalikhah dan Yudha.

Kedatangan warga tanpa pemberitahuan sebelumnya. Yudha yang mengaku kaget dengan kehadiran mereka kemudian menemui Siswo Haryono, kepala kantor itu.

Usai diskusi dengan Siswo, Yudha memberitahu warga bahwa hanya dua orang yang boleh masuk untuk audiensi di dalam ruangan.

Warga menolak, meminta agar mereka semua atau paling tidak sepuluh orang yang mewakili 10 kampung adat di Poco Leok yang bisa menemui Siswo.

“Kalau hanya dua orang yang boleh masuk, lebih baik bertemu kami di depan pintu saja,” ujar seorang perempuan di tengah puluhan warga.

“Oh tidak, kami minta hanya dua orang. Kalau berdiri, itu namanya demo,” balas Yudha.

“Di sana [ruang pertemuan] hanya ada empat kursi saja,” lanjutnya.

Seorang warga merespon, “Kan tinggal ditambah saja kursinya atau kami juga bisa duduk di lantai.”

Tidak lama kemudian, muncul rombongan polisi yang melanjutkan negosiasi dengan warga.

Setelah hampir satu jam, Siswo menyetujui permintaan warga mengutus 10 orang perwakilan.

Warga Poco Leok ada di luar kantor Badan Pertanahan saat negosiasi sedang berlangsung terkait siapa yang bisa masuk ke dalam kantor itu. (Foto: Anno Susabun)
Abaikan hak masyarakat adat

Kedatangan warga itu untuk menyampaikan protes terkait langkah Badan Pertanahan yang melakukan pengukuran lahan di Lingko Tanggong, salah satu lahan ulayat milik Gendang Lungar untuk lokasi pemboran proyek geothermal.

Simon Wajong, juru bicara warga mengatakan di depan Siswo dan aparat kepolisian yang berjaga di ruang rapat itu bahwa komunitas adat atau Gendang memiliki hak penuh atas kepemilikan suatu tanah ulayat atau lingko.

Ia mengatakan, mengutip para ahli hukum adat di Manggarai, di antaranya Anton Bagul Dagur, “tanah lingko tidak bisa disertifikasi sebab dengan begitu kehadiran Gendang tidak ada [artinya] lagi.”

“Seorang warga kampung boleh menggarap satu bagian di tanah ulayat, tetapi tidak bisa dialihkan kepada orang lain yang bukan warga Gendang itu,” lanjutnya.

Pernyataan warga juga disampaikan dalam sebuah surat yang kemudian diserahkan kepada Siswo.

Dalam surat “Keberatan dan Penolakan atas Pemasangan Pilar dan Sertifikasi atas Tanah di Lingko Tanggong” itu, Komunitas Masyarakat Adat Gendang Lungar menyatakan sungguh menyayangkan tindakan Badan Pertanahan yang memasang pilar “tanpa konsultasi dan komunikasi dengan tokoh adat dan warga Gendang Lungar yang adalah pemilik sah atas Lingko Tanggong.”

“Tindakan pihak BPN Manggarai ini kami anggap sebagai bentuk pemaksaan dan pengabaian hak masyarakat adat Gendang Lungar,” demikian menurut warga.

Warga juga mendesak BPN mencabut kembali pilar-pilar yang sudah ditanam di Lingko Tanggong dan menghentikan proses sertifikasi/legalisasi atas tanah di wilayah tersebut.

Audiensi warga Poco Leok dengan Badan Pertanahan yang dijaga oleh polisi, Selasa, 4 Juli 2023. (Foto: Anno Susabun/Floresa.co)

Desakan lain adalah “menghentikan semua aktivitas apapun dari BPN Kabupaten Manggarai di lingko manapun yang menjadi hak ulayat masyarakat Gendang Lungar.”

Warga juga menyatakan ketidakpuasan karena keterlibatan BPN dalam pemasangan pilar di lahan ulayat tersebut melibatkan aparat gabungan TNI, Polri dan Pol PP Kabupaten Manggarai.

Surat warga itu juga dikirimkan sebagai tembusan kepada Menteri BPN/ATR Republik Indonesia dan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Nusa Tenggara Timur itu.

BPN: ‘Kami Hanya Melaksanakan [Perintah] Dokumen’

Setelah mendengar pernyataan warga dan membaca surat mereka, Siswo mengatakan, pihaknya hanya menjadi pelaksana dari dua dokumen yang sudah diselesaikan oleh PT PLN dan Pemda Manggarai pada dua tahap sebelumnya.

Dua tahap yang dimaksud Siswo adalah tahapan perencanaan, yang sudah dilakukan oleh PT PLN dalam rangka kajian dan studi-studi lingkungan dan sosial.

“Bukti otentik bahwa itu sudah dilaksanakan karena sudah ada produknya, namanya Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah,” ungkapnya.

Tahapan kedua, lanjutnya adalah tahapan persiapan, yang dilakukan oleh Pemda Manggarai berdasarkan Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah.

“Di sana tim melakukan semacam komunikasi dengan masyarakat, dan konsultasi publik oleh Pak Bupati dan timnya. Masyarakat ada kesempatan menolak dan menerima di tahapan ini,” lanjutnya.

Produk dari tahapan kedua ini adalah SK Penetapan Lokasi, yang menurut Siswo tidak akan diterbitkan jika ada masyarakat yang menolak.

BPN kemudian mengambil bagian pada tahap selanjutnya yang disebut pelaksanaan.

“Kami tidak punya kewenangan [pengadaan lahan] di luar lokasi yang sudah ditetapkan,” kata Siswo.

“Bapak-bapak bisa kasih masukan, tetapi kami tidak bisa mengambil keputusan terhadap tanah-tanah yang di luar Penlok [Penetapan Lokasi],” sambungnya.

Meski demikian, kata dia, sertifikasi lahan tersebut masih memiliki kemungkinan untuk dicabut kembali jika diperintahkan oleh pengadilan, apabila SK Penetapan Lokasi juga dicabut atas gugatan warga.

Ia juga menegaskan bahwa urusan lainnya yang berhubungan dengan penolakan warga lebih tepat jika diadukan kepada pihak PT PLN sebagai pengelola proyek, sebab BPN hanya berkewajiban menjalankan perintah dokumen yang sudah diselesaikan sebelumnya oleh perusahaan tersebut dan Pemda Manggarai.

Selain itu, kendati merasa tidak berkepentingan terhadap urusan di luar tahap pelaksanaan proyek geothermal, Siswo justeru menegaskan bahwa proyek tersebut adalah bagian dari Proyek Strategis Nasional [PSN].

“Berbicaranya sudah bukan atas nama Manggarai, Satar Mese, Lungar, NTT, tetapi nasional, artinya negara yang urus,” katanya.

Ia juga mengatakan, PSN tidak didapat oleh semua daerah.

“Bagi Manggarai sebenarnya ini adalah sebuah berkah karena bermanfaat untuk masyarakat, jaringan listrik akan ditambah. Ini adalah kepentingan negara, kami membantu bagaimana perekonomian di Manggarai bisa maju,” ungkapnya.

DPRD: ‘Pemda dan PLN Harus Hentikan Sementara’

Setelah sekitar satu jam berdiskusi di Kantah Manggarai, warga kemudian bertolak ke Gedung Kantor DPRD Kabupaten Manggarai pukul 12.45.

Surat yang sama lalu diserahkan kepada perwakilan DPRD, di antaranya Edi Rihi, Ketua Komisi A bersama Flori Kampul, David Suda, dan Kris Jehata.

Warga Poco Leok saat audiensi dengan DPRD Manggarai, Selasa, 4 Juli 2023. (Foto: Anno Susabun/Floresa.co)
David Suda mengatakan, sosialisasi yang dilakukan oleh Pemda memang tidak berjalan dengan baik, yang kemudian menimbulkan soal di lapangan yaitu perbedaan pandangan.

“Kalau ada persoalan dalam sosialisasi atau pendekatan [di Poco Leok], pemerintah dan PLN harus mengambil langkah untuk berhenti sementara,” ungkapnya.

Terkait SK Penetapan Lokasi oleh Bupati Manggarai, yang menurut beberapa anggota DPRD bukan hanya tidak diketahui tetapi juga tidak melibatkan lembaga legislatif tersebut, David mengatakan “bisa dievaluasi atau ditinjau kembali.”

Hal lainnya yang menurut David menjadi sorotan dalam pandangan Fraksi Demokrat saat sidang pada 4 Juli 2023 adalah  sikap PT PLN yang hingga kini sama sekali belum pernah memenuhi kewajibannya membayar royalti atau bagi hasil arus dari PLTP Ulumbu, geothermal yang sudah beroperasi sejak tahun 2012.

“PLN harus memenuhi kewajibannya, apanya untuk daerah, dan itu ada aturannya. Pemerintah juga harus tagih” tambahnya.

Ia juga mengatakan, hingga kini sebagai anggota DPRD ia belum pernah mendapatkan informasi mengenai kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan [AMDAL] dari proyek geothermal Poco Leok.

Simon Wajong mengatakan selain merasa keberatan dengan aktivitas perusahaan, Pemda dan BPN di lahan ulayat, hal yang selalu menjadi perhatian mereka adalah dampak buruk geothermal, yang hampir pasti tidak pernah dijelaskan secara jujur dalam setiap kesempatan sosialisasi.

“Misalnya kalau ada gas beracun dari [Lingko] Tanggong, tidak mungkin kendaraan turun ke Mocok untuk menyelamatkan masyarakat di sana. Mereka tidak ada jalur [evakuasi] ke selatan, tetapi harus mendaki bukit sejauh 10 kilometer,” ungkapnya.

Mocok merupakan kampung yang berada di dataran lebih rendah, dekat dengan Lingko Tanggong.

Proyek geothermal di Poco Leok, wilayah yang mencakup 14 kampung adat di tiga desa, dikerjakan oleh PT PLN, dengan pendana Bank Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW).

Ini merupakan proyek perluasan Pembangkit Listrik Panas Bumi [PLTP] Ulumbu  yang beroperasi sejak tahun 2012 dan menghasilkan 10 MW energi listrik.

Proyek di Poco Leok, yang berlokasi sekitar tiga kilometer ke arah timur Ulumbu, direncanakan akan menghasilkan energi listrik 2×20 MW.

Publikasi Lainnya