Geothermal Poco Leok Investasi Paksa yang Korbankan Rakyat

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

BETAHITA.ID – Di tengah menguat dan meluasnya gelombang penolakan warga, pemerintah dan PT PLN justru terus berupaya paksa memperluas wilayah operasi penambangan panas bumi PLTP Ulumbu ke wilayah Poco Leok di Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai, Flores. Upaya paksa ini melibatkan aparat Kepolisian dan TNI, serta Satpol PP, lantas menggunakan pendekatan represif terhadap warga yang mempertahankan hak atas ruang hidupnya.

Sejak Selasa hingga Rabu, (20-21/06/23) lalu–setelah upaya yang sama sebelumnya berulang kali digagalkan warga, pemerintah (Badan Pertanahan Nasional/BPN) dan PT PLN yang dikawal ketat aparat kepolisian dan TNI justru memaksa masuk ke Lingko Tanggong–tanah ulayat milik warga Kampung Lungar, Poco Leok yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai salah satu titik pengeboran yaitu well pad D.

Upaya paksa untuk melakukan pematokan lahan pengeboran ini dihadang puluhan warga adat dari Kampung Lungar, Tere, Rebak, Racang, Mucu, dan Cako. Ironisnya, warga penolak tak hanya berhadapan dengan pemerintah, perusahaan, dan aparat keamanan, tetapi juga dengan sejumlah warga pro yang dimobilisasi dari luar wilayah Poco Leok.

Warga penolak kemudian terlibat bentrokan dengan aparat di sekitar lokasi, yang menurut mereka sudah menyalahi prinsip bahwa aktivitas apapun yang berkaitan dengan lingko harus melalui kesepakatan komunitas adat di Mbaru Gendang (rumah adat).

Perempuan tua Poco Leok pingsan terkena pukulan saat terjadi bentrok antara warga Poco Leok dengan aparat polisi pada, Rabu (21/6/2023) kemarin. Foto: Istimewa.

Dalam bentrokan fisik tersebut, tercatat ada empat orang warga perempuan dan lima orang laki-laki mengalami kekerasan karena ditendang dan didorong hingga terjatuh ke selokan. Bahkan seorang perempuan juga mengaku organ kewanitaannya dipegang oleh polisi.

“Kami menghadang mereka supaya tidak lewat di lahan kami ketika hendak mematok lahan untuk geothermal, tetapi kami didorong sampai terjatuh. Mereka (polisi) bahkan membantu perusahaan tanam pilar di wilayah lingko dan kami merasa itu adalah pengkhianatan aparat terhadap warga,” ungkap Elisabeth Lahus, perempuan asal Kampung Lungar, dalam pernyataan tertulisnya, Sabtu (24/6/2023).

Setelah kejadian itu, Lahus kemudian sempat menggelar aksi protes dengan melepaskan pakaiannya, lalu menutup dadanya dengan jaket. Ia lalu tampil di bagian depan, menghadang aparat polisi, TNI, dan Pol PP.

“Kami mau tunjukkan bahwa polisi sudah keterlaluan,” ungkap Wihelmina Sesam, perempuan yang bersama Lahus menjadi korban kekerasan aparat.

Tindakan represif aparat tersebut juga terjadi pada Rabu, 21 Juni, yang menyebabkan belasan warga mengalami sakit fisik, hingga dua orang pingsan dan dilarikan ke Puskesmas Ponggeok, Kecamatan Satar Mese, empat kilometer sebelah barat Poco Leok.

Mengecam Tindakan Represif Aparat

Pengerahan aparat keamanan dalam memuluskan rencana perluasan pengeboran panas bumi Ulumbu tersebut, terhitung sudah dilakukan sejak bulan Februari lalu. Pengerahan aparat itu memicu rasa tidak aman bagi warga. Warga bahkan tidak lagi punya waktu untuk bekerja, mengingat sebagian besar waktunya digunakan untuk menjaga lahan dari upaya penerobosan paksa pihak perusahaan dan pemerintah.

“Kami mengecam keras tindakan brutal, penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusiawi oleh aparatus kekerasan Polri, TNI, dan Sat Pol PP terhadap penduduk asli Pocoleok, Flores. Aparatus negera tersebut, selain telah gagal menjalankan tugasnya, juga lebih memilih bertindak layaknya centeng korporasi,” ucap Muh Jamil, Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).

Menurut Jamil, brutalitas aparat itu harus diselidiki, pelaku tidak cukup hanya dikenakan sanksi disiplin dan kode etik, tetapi juga harus diproses secara pidana.

“Kami akan melaporkan dugaan tindak kejahatan aparat tersebut ke Mabes Polri,” kata Jamil.

Adapun langkah pemerintah dan perusahaan yang diduga memobilisasi warga pro geothermal dari luar wilayah Poco Leok menunjukkan siasat buruk pemerintah untuk menggeser konfliknya ke sesama warga.

“Meski tidak kita harapkan, dugaan mobilisasi warga dari luar Poco Leok itu sebagai siasat licik untuk menggeser konflik geothermal Ulumbu ke sesama warga. Hal ini bisa berakibat fatal, dan Bupati serta Kapolres Manggarai menjadi pihak yang paling bertanggungjawab,” ujar Jamil.

Menurut Jamil, polarisasi warga yang memicu konflik di Poco Leok itu, bukan sesuatu yang terjadi secara organik, tetapi didesain. Jamil berpendapat, dalam sejarahnya, belum pernah ada konflik agraria di Poco Leok. Semua baru terjadi ketika ada proyek geothermal masuk ke wilayah warga.

“Artinya, baik yang kontra maupun pro, semua sama-sama korban,” katanya.

Alasan Penolakan Warga

Proyek geothermal di Poco Leok, wilayah yang mencakup 14 kampung adat di tiga desa, dikerjakan oleh PT PLN, dengan pendana Bank Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW). Ini merupakan proyek perluasan Pembangkit Listrik Panas Bumi [PLTP] Ulumbu  yang beroperasi sejak tahun 2012 dan menghasilkan 10 MW energi listrik.

Proyek di Poco Leok, yang berlokasi sekitar tiga kilometer ke arah timur Ulumbu, direncanakan akan menghasilkan energi listrik 2×20 MW. Pihak PT PLN pun mengintensifkan upayanya menggolkan proyek itu, termasuk dengan memberikan bantuan babi kepada keluarga-keluarga di Lungar.

Rencana perluasan pengeboran itu berpotensi besar menghilangkan lahan dan “habitat”, serta merusak bentang-bentang air, bahan bongkaran padat dan limbah, semburan gas, debu dan bising, serta kesehatan dan keselamatan kerja.

“Kami telah mendatangi lokasi proyek geothermal yang gagal di Mataloko, Kabupaten Ngada, dengan melihat lubang bekas pemboran ditinggalkan, sementara lumpur panas meluap sampai 500 meter hingga 1 km dari titik bor, dekat dengan kampung dan merusak sawah, jagung, ubi jalar dan hasil pangan lain milik warga,” ujar Agustinus Sukarno, salah satu Pemuda Poco Leok yang terlibat dalam aksi penolakan.

Tidak hanya di Mataloko, menurut Sukarno, hal serupa juga terjadi di wilayah lain, seperti di Mandailing Natal, Sumatra Utara, Dieng di Jawa Tengah, dan wilayah kerja panas bumi lainnya di Indonesia.

“Di Mandaling Natal bahkan bencana industri panas bumi telah berulang kali terjadi. Pada Januari 2021 lalu, misalnya, terdapat korban jiwa sebanyak lima orang akibat semburan gas beracun hidrogen sulfida (H2S). Ratusan warga lainnya dirawat intensif di Rumah Sakit setempat,” ujar Sukarno.

Meski begitu, pemerintah dan perusahaan seringkali mengklaim bahwa geothermal adalah sumber energi terbarukan dan ekstraksi panas bumi di Poco Leok, adalah taruhan komitmen Indonesia dalam KTT G-20 serta bagian dari proyek strategis nasional.

“Situasi di Poco Leok dan berbagai wilayah pembongkaran panas bumi lainnya di Indonesia menunjukkan betapa warga dan ruang hidupnya ditumbalkan untuk sesuatu yang diklaim “ramah lingkungan” dan strategis bagi kepentingan nasional,” ujar Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTT.

Menurut Umbu Wulang, label strategis yang disematkan kepada proyek panas bumi ini, tidak bisa dijadikan justifikasi untuk merampas tanah rakyat, berikut melakukan intimidasi dan teror, serta kekerasan fisik kepada warga yang mempertahankan haknya atas ruang hidup.

Lebih lanjut, Umbu Wulang mengatakan bahwa perjuangan warga Poco Leok dijamin konstitusi, dan upaya membatasi dan atau melumpuhkan resistensi warga dengan cara-cara kekerasan, selain melanggar hukum juga mendelegitimasi makna strategis dalam proyek itu sendiri.

“Pasal 66 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) menyebutkan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata,” ujar Umbu.

Umbu Wulang melanjutkan, industri tambang panas bumi seringkali mengandalkan kekerasan terorganisir untuk memaksa rakyat menerima kehadiran proyek, memberikan konfirmasi bahwa proyek panas bumi di Poco Leok dan wilayah lainnya di Indonesia adalah investasi paksa.

“Industri panas bumi yang digadang-gadang bersih justru adalah sumber energi kotor karena mengabaikan hak tolak warga, meniadakan hak warga atas tanah dan menihilkan aspirasi warga. Inilah jadinya kalau kebutuhan jenis energi ditentukan secara sepihak dan top down oleh pengambil kebijakan,” terang Umbu.

 

Artikel ini sudah tayang di Betahita.id

Publikasi Lainnya