Kelompok Advokasi dan Lembaga Gereja Kecam Aksi Represif Aparat terhadap Warga Poco Leok, Flores

Ditulis oleh:Tim Floresa

Floresa.co – Kelompok advokasi dan lembaga Gereja Katolik mengecam aparat keamanan yang dituding melakukan represi saat mengawal proses pengukuran lahan untuk proyek geothermal di Poco Leok, Kabupaten Manggarai.

“Kami mengecam keras tindakan brutal, penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusiawi oleh Polri, TNI, dan Sat Pol PP terhadap penduduk asli Poco Leok,” kata Muhamad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang [Jatam], Jumat, 23 Juni 2023.

“Aparat negara tersebut, selain telah gagal menjalankan tugasnya, juga lebih memilih bertindak layaknya centeng korporasi,” tambahnya.

Ia mengatakan, brutalitas aparat perlu diselidiki dan pelaku tidak cukup hanya dikenakan sanksi displin dan kode etik, tetapi juga harus diproses secara pidana.

“Kami akan melaporkan dugaan tindak kejahatan aparat tersebut ke Mabes Polri,” kata Jamil dalam pernyataan tertulis kepada Floresa.

Jatam merespon insiden pada Selasa-Rabu, 21-22 Juni di Poco Leok saat warga berusaha menghadang upaya PT Perusahaan Listrik Negara [PT PLN] dan Badan Pertanahan Nasional [BPN] melakukan pengukuran lahan untuk proyek geothermal.

Pengukuran di Lingko Tanggong, tanah ulayat milik warga Kampung Lungar yang ditetapkan sebagai salah satu titik pengeboran itu dihadang puluhan warga adat dari Kampung Lungar, Tere, Rebak, Racang, Mucu, dan Cako.

Dalam bentrok fisik saat penghadangan itu, menurut Jatam, empat orang perempuan dan lima orang laki-laki ditendang dan didorong hingga terjatuh ke selokan.

Lembaga itu juga mempersoalkan upaya mobilisasi warga yang pro proyek itu dari luar wilayah Poco Leok sebagai “siasat buruk pemerintah untuk menggeser konfliknya ke sesama warga. “

“Meski tidak kita harapkan, dugaan mobilisasi warga dari luar Poco Leok itu sebagai siasat licik untuk menggeser konflik geothermal ke sesama warga. Hal ini bisa berakibat fatal, dan Bupati [Manggarai, Herybertus GL Nabit] serta Kapolres Manggarai [ AKBP Edwin Saleh] menjadi pihak yang paling bertanggung jawab,” ujar Jamil.

Menurutnya, polarisasi warga yang memicu konflik di Poco Leok bukan sesuatu yang terjadi secara organik, tetapi didesain.

“Dalam sejarahnya, belum pernah ada konflik agraria di Poco Leok. Semua baru terjadi ketika ada proyek geothermal masuk ke wilayah warga. Artinya, baik yang kontra maupun pro, semua sama-sama korban,” katanya.

Sementara itu, lembaga Gereja Katolik Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation SVD Ruteng menyatakan “mengutuk semua bentuk pemaksaan dan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh PLN dan aparat keamanan.”

Pastor Simon Suban Tukan, SVD, koordinator lembaga itu mengatakan, berdasarkan hasil asesmen lapangan dan dari rekaman video dan foto, “terdapat begitu banyak warga yang dipukul dan ditendang.”

“Bahkan kekerasan dan pelecehan terhadap kaum perempuan dilakukan sehingga mereka mengalami trauma yang dalam,“ katanya.

Lembaga itu mendesak Kapolri Listyo Sigit Prabowo “segera menghentikan mobilisasi aparat keamanan, mengusut tindakan kekerasan yang dilakukan, dan menghukum oknum aparat terkait jika terbukti bersalah.”

“Kami juga meminta supaya Kapolri memeriksa Kapolres Manggarai yang diduga ikut mendukung membiarkan kekerasan yang dilakukan anggotanya di lapangan. Kami percaya bahwa aparat keamanan adalah pengayom dan pelindung masyarakat, bukan musuh masyarakat.”

JPIC-SVD juga meminta Bupati Nabit segera mencabut ijin lokasi yang diberikan kepada PLN pada Desember 2022 tanpa mendengar terlebih dahulu warga.

“Bagaimanapun, pembangunan mega proyek seperti ini harus mendapat persetujuan bebas dari warga di mana proyek itu dikembangkan, karena resiko pembangunan akan ditanggung oleh warga Poco Leok di mana proyek itu dibangun bukan warga yang tanggal di luar Poco Leok.”

Proyek geothermal di Poco Leok, wilayah yang mencakup 14 kampung adat di tiga desa, dikerjakan oleh PT PLN, dengan pendana Bank Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW). Ini merupakan proyek perluasan Pembangkit Listrik Panas Bumi [PLTP] Ulumbu  yang beroperasi sejak tahun 2012 dan menghasilkan 10 MW energi listrik.

Proyek di Poco Leok, yang berlokasi sekitar tiga kilometer ke arah timur Ulumbu, direncanakan akan menghasilkan energi listrik 2×20 MW.

Siswo Haryono, Kepala BPN Cabang Kabupaten Manggarai mengatakan, proses pengukuran lahan adalah tahapan lanjutan untuk pengerjaan proyek itu.

Ia mengatakan ini merupakan Proyek Strategis Nasional [PSN], dalam klaster Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, bagian dari upaya pemerintah memprioritaskan penggunaan pembangkit listrik berbasis energi baru dan terbarukan sebesar 51 persen.

“[Proyek] ini akan tetap jalan terus karena ini adalah PSN, ndak bisa kami tunggu sampai masalah selesai,” katanya, seperti dilansir Krebadia.com.

Ia mengatakan, “bola ada pada kami” dan “saya selaku kepala BPN yang juga ketua pelaksana tahap tiga punya tanggung jawab agar tahapan ini bisa berialan lancar,” katanya.

Senada dengan Siswo, Kapolres Manggarai mengatakan, sebagai PSN, “diminta atau tidak diminta, [proyek itu] wajib diamankan.”

“Sekali lagi ini merupakan proyek strategis nasional yang tujuannya untuk kemajuan Flores, NTT, secara umum khususnya Manggarai,” katanya kepada wartawan pada 21 Juni.

Selain membantah tindakan represif terhadap warga yang menolak proyek itu, ia bahkan menyebut kemungkinan penegakan hukum terkait adanya dugaan intimidasi atau pengancaman/penganiayaan terhadap warga yang pro.

Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Cabang NTT mengatakan, “situasi di Poco Leok dan berbagai wilayah pembongkaran panas bumi lainnya di Indonesia menunjukkan betapa warga dan ruang hidupnya ditumbalkan untuk sesuatu yang diklaim ‘ramah lingkungan’ dan strategis bagi kepentingan nasional.”

Label strategis yang disematkan kepada proyek panas bumi ini, kata dia, tidak bisa dijadikan justifikasi untuk merampas tanah rakyat, berikut melakukan intimdiasi dan teror, serta kekerasan fisik kepada warga yang mempertahankan haknya atas ruang hidup.

Umbu mengatakan, perjuangan warga Poco Leok dijamin konstitusi, dan upaya membatasi dan atau melumpuhkan resistensi warga dengan cara-cara kekerasan, selain melanggar hukum juga mendelegitimasi makna strategis dalam proyek itu sendiri.

“Pasal 66 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) menyebutkan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata,” katanya.

Menurut Umbu, industri tambang panas bumi seringkali mengandalkan kekerasan terorganisir untuk memaksa rakyat menerima kehadiran proyek, memberikan konfirmasi bahwa proyek panas bumi di Poco Leok dan wilayah lainnya di Indonesia adalah investasi paksa.

“Industri panas bumi yang digadang-gadang bersih justru adalah sumber energi kotor karena mengabaikan hak tolak warga, meniadakan hak warga atas tanah dan  menihilkan aspirasi warga. Inilah jadinya kalau kebutuhan jenis energi ditentukan secara sepihak dan top down oleh pengambil kebijakan,” ujar Umbu Wulang.

Warga Poco Leok terlibat perdebatan dengan aparat keamanan yang melakukan pengukuran lahan untuk proyek geothermal pada Selasa, 20 Juni 2023. (Dokumentasi Floresa)

Sementara itu, Agustinus Sukarno, salah satu Pemuda Poco Leok yang terlibat dalam aksi penolakan mengatakan, ia bersama warga lainnya telah mendatangi lokasi proyek geothermal yang gagal di Mataloko, Kabupaten Ngada.

“Kami melihat lubang bekas pemboran ditinggalkan, sementara lumpur panas meluap sampai 500 meter hingga satu kilometer dari titik bor, dekat dengan kampung dan merusak sawah, jagung, ubi jalar dan hasil pangan lain milik warga,” katanya.,

Tidak hanya di Mataloko, menurut Sukarno, hal serupa juga terjadi di wilayah lain, seperti di Mandailing Natal, Sumatra Utara, Dieng di Jawa Tengah, dan wilayah kerja panas bumi lainnya di Indonesia.

“Kami tidak mau hal seperti terjadi di tanah kami,” katanya.

Publikasi Lainnya