Persoalan Petani Diabaikan, Warga Kritisi Festival Kopi Colol, Tolak Kehadiran Bupati Agas

Ditulis oleh:Tim Floresa

Floresa.co – Sejumlah warga di Colol, yang dikenal sebagai sentra kopi di Kabupaten Manggarai Timur, Flores mengkritisi penyelenggaraan festival di daerah mereka, mengingatkan pemerintah untuk tidak mengabaikan sejumlah persoalan serius yang mendera petani kopi.

Sebagai bentuk protes, mereka memasang sejumlah poster berisi pernyatan penolakan kehadiran Bupati Manggarai Timur, Andreas Agas di pinggir jalan menuju lokasi festival yang digelar pada 13-14 Juni 2023 itu.

“Tolak kehadiran Bupati Matim di wilayah Colol,” tulis warga dalam salah satu poster.

“Festival Kopi Ijon dan Ijon Kopi Lembah Colol,” demikian poster lainnya.

Ferdinando Seferi, salah satu pemuda Colol mengatakan, mereka menolak Bupati Agas karena tidak memberi perhatian pada masalah yang dihadapi petani, meski ia sudah belasan tahun memimpin kabupaten itu sejak menjadi wakil bupati selama dua periode.

“Pemerintah Daerah Manggarai Timur mestinya mendahulukan penyelesaian persoalan di tengah petani kopi Colol sebelum melaksanakan festival,” katanya kepada Floresa, Rabu, 14 Juni.

Ia mengatakan hingga kini mayoritas masyarakat Colol masih menggunakan cara-cara konvensional dalam membudidayakan kopi, dengan intervensi minim dari pemerintah.

“Dinas Pertanian belum pernah melakukan sosialisasi terkait pemberdayaan kopi yang baik dan benar ke petani. Ketika petani masih menggunakan cara-cara konvensional, dampak yang terjadi hari ini produktivitas kopi menurun,” katanya.

Seharusnya, kata dia, ada gagasan baru dari pemerintah daerah untuk para petani yang bisa mencegah persoalan seperti menurunnya produktivitas.

Persoalan lain, lanjut dia, hingga saat ini belum ada pengakuan dari negara terhadap sejumlah lahan petani kopi Colol.

“Tanah kopi Colol masih sengketa sejak persoalan ‘Rabu Berdarah’ pada 10 Maret 2004,” katanya.

Tragedi Rabu Berdarah terjadi ketika enam petani Colol tewas usai ditembak oleh polisi saat berunjuk rasa di Ruteng, Kabupaten Manggarai. Mereka kala itu memprotes pembabatan kopi oleh pemerintah yang dianggap masuk ke wilayah hutan lindung, meski warga menganggap itu sebagai ulayat mereka.

Kasus itu masih menyisahkan soal. Selain polisi yang menjadi pelaku penembakan, termasuk Kapolres Manggarai kala itu, melenggang bebas, juga tidak ada penanganan terhadap korban yang tujuh di antaranya cacat permanen hingga kini.

Dalam sebuah laporan Floresa, Korban “Tragedi Rabu Berdarah” yang Dilupakan Negara, para korban mengakui bagaimana trauma akibat peristiwa itu masih terus menghantui mereka dan tidak ada perhatian dari pemerintah terhadap kehidupan mereka.

Di sisi lain, belum ada penanganan tuntas terkait lahan konflik tersebut.

Fernando mengatakan, “ketika persoalan-persoalan petani belum diselesaikan oleh pemerintah, maka festival ini sebenarnya bukan untuk masyarakat Colol, tetapi lebih banyak untuk keuntungan Pemda Manggarai Timur.”

Festival ini diklaim pemerintah untuk mempromosikan berbagai potensi yang ada di Manggarai Timur agar dikenal oleh masyarakat Indonesia maupun internasional.

Sejumlah acara yang digelar antara lain pentas seni budaya, pameran produk kopi dan ekonomi kreatif, parade 1.000 penumbuh kopi, wisata kebun kopi dan air terjun, cupping test dan lelang kopi, dialog kopi dan budaya serta berbagai lomba lainnya.

Bupati Agas mengatakan Pemerintah Manggarai Timur festival ini bagian dari upaya mengadopsi pariwisata berbasis masyarakat sebagai dasar dari arah pembangunan pariwisata di kabupaten itu.

Dengan jumlah penduduk 172.603 dan mayoritas (82,28 %) adalah petani, Manggarai Timur memiliki 77,17 ribu (26,50%) warga miskin, menurut data tahun 2021. Kabupaten ini juga menjadi salah satu dari 13 kabupaten tertinggal di NTT, menurut Keputusan Peraturan Presiden No 63 Tahun 2020.

Agas mengatakan, dalam konsep pariwisata berbasis masyarakat yang bertujuan mengentas kemiskinan, praktik kepariwisataan dijalankan sepenuhnya dari, oleh dan untuk masyarakat lokal.

“Upaya pembangunan pariwisata yang dilakukan oleh pemerintah pada hakikatnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” kata Agas dalam sebuah pernyataan.

Kualitas Kopi dan Produktivitas yang Buruk

Colol berada di daerah lembah di kaki bukit Poco Nembu, 1.300 meter di atas permukaan laut. Daerah ini berjarak 40 kilometer ke arah utara dari Borong, ibukota Kabupaten Manggarai Timur.

Dibagi ke dalam empat wilayah desa, yakni Desa Ulu Wae, Desa Colol, Desa Rende Nao, dan Desa Wejang Mali, mayoritas penduduk Colol adalah petani, dan kopi menjadi sumber penghasilan utama mereka.

Colol juga dikenal sebagai kampung cikal bakal penyebaran kopi di seluruh wilayah Manggarai.

Pada zaman penjajahan Belanda tahun 1937, kopi dari Colol pernah memenangkan sayembara nasional “Pertandingan Keboen Kopi.”

Dua varietas kopi dari daerah ini – Robusta dan Arabika –  juga dinobatkan sebagai kopi terbaik dalam kontes kopi spesialti Indonesia oleh Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia serta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember pada 2015.

Menurut data Badan Pusat Statistik Kabupaten Manggarai Timur tahun 2020, luas areal perkebunan kopi di Kecamatan Lamba Leda Timur, yang mencakup Colol, adalah 10.560 hektar dengan produksi 2.201 ton per tahun.

Namun, cerita soal kualitas dan banyak kopi di daerah itu tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan warga.

Praktik ijon disebut-sebut sebagai salah satu masalah serius bagi petani. Ijon merupakan praktek di mana tengkulak meminjamkan uang kepada petani kopi yang sedang kesulitan finansial dan saat musim panen kopi petani langsung diberikan kepada tengkulak dengan kesepakatan harga ijon, bukan harga pasar.

Petani umumnya melakukan ijon karena harga kopi yang rendah, sehingga uang yang mereka dapat saat musim kopi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sepanjang tahun.

Di petani, kopi biji robusta saat ini dibeli dengan harga Rp 30.000 per kilogram, setara dengan harga segelas kopi yang dijual di kafe-kafe.

Ijon menjadi salah satu praktik yang sering mendera petani kopi. (Dokumentasi Floresa)

Soal lain adalah produktivitas kopi, yang menurut hasil kajian Dekan Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana Kupang, Damianus Adar, tergolong rendah.

Ia mengatakan, sesuai penelitiannya di Desa Ulu Wae pada tahun 2020,  produktivitas kopi di Colol hanya 1,2 ons per pohon – dari potensi 4-5 kg per pohon untuk jenis Arabika, dan 8 kg per pohon untuk Robusta – pada umur ekonomis 12 tahun untuk Arabika dan 18 tahun untuk Robusta.

“Ini produktivitas yang sangat-sangat rendah,” katanya.

Ia menambahkan, dengan produktivitas seperti itu, setiap hektar kopi di Colol hanya menghasilkan 400 kg kopi, jauh di bawah daerah penghasil kopi lain, seperti di Lampung yang sudah mencapai 700 kg per hektar.

Damianus menyebut penyebab utamanya adalah usia kopi yang tua dan petaninya juga tua, di mana 90 persen petani kopi Colol berusia 50 tahun ke atas.

Faktor lain, lanjutnya, belum ada penangkar bibit kopi yang benar di Manggarai Timur.

Kalaupun ada, kata dia, jumlah bibitnya tidak sebanyak kebutuhan petani.

Publikasi Lainnya