Floresa.co – Artikel yang mengulas tentang perjuangan perempuan di Poco Leok, Flores dalam melawan proyek geothermal terpilh sebagai pemenang dalam lomba artikel untuk memperingati Hari Anti-Tambang dan Hari Lingkungan Hidup 2023.
Ditulis oleh Anno Susabun, staf pada lembaga Sunspirit for Justice and Peace Labuan Bajo dan bagian dari tim Litbang Floresa, artikel berjudul “‘Tanah itu Ibu Kami’: Cara Perempuan Poco Leok, Flores Pertahankan Tanah dari Ancaman Proyek Geothermal” menjadi juara satu dalam lomba yang digelar oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Indonesiana.id dan Mongabay Indonesia itu.
Dalam pernyataan pada 5 Juni saat mengumumkan hasil lomba itu, Jatam menyebut terdapat total 157 artikel yang ikut ajang ini dan diunggah melalui Indonesia.id, blog komunitas milik Tempo.
“Kurator dari Indonesiana dan Jatam menjaring karya-karya ini sehingga terpilih 37 naskah yang dinilai berdasarkan kesesuaian tema lomba, etika penulisan, dan faktualitas tema,” tulis Jatam.
Dewan juri lomba ini antara lain Hendro Sangkoyo, peneliti School of Democratic Economics; Sapariah Saturi, editor senior Mongabay Indonesia; Siti Maemunah, Tim Kerja Perempuan dan Tambang dan Badan Pengurus JATAM; Wahyu Dhyatmika, Direktur Utama Tempo Digital; serta Ika Ningtyas, Sekretaris Jenderal AJI Indonesia.
Melky Nahar, Koordinator Nasional Jatam mengatakan antusiasme peserta, terutama yang menulis isu-isu dari wilayah krisis, “menunjukkan ada perhatian lebih ihwal krisis berkepanjangan warga dan lingkungan di hadapan laju industri ekstraktif di kepulauan Indonesia.”
Hendro Sangkoyo menyebut, dari seluruh tulisan yang diterima, mencolok sekali bahwa penglihatan dari telapak kaki orang biasa di kampung mendominasi.
“Slogan, kata kunci dari badan-badan internasional, program pengurus negara atau pelaku pasar keuangan dan industri rendah karbon–tinggi korban lainnya justru dibaca sebagai akar-akar masalah global dari derita di kampung,” katanya.
Sementara bagi Siti Maemunah, jika selama ini persoalan klasik pertambangan dan energi adalah perusakan lingkungan dan kekerasan terhadap rakyat di sekitar pertambangan, artikel-artikel dalam lomba ini “memperkaya dengan kedalaman persoalan kemanusiaan dan ekologi, serta tren perusakan pulau-pulau kecil bersama ekspansi pertambangan dan smelter nikel yang dibungkus sebagai proyek hijau, lengkap dengan pendanannya.”
Hal yang juga menarik, menurut dia, para penulis membuka mata publik tentang bagaimana isu kontemporer pertambangan dan energi yang dialami kelompok marjinal, seperti masyarakat adat, orang miskin, perempuan dan queer.
“Artikel-artikel ini dengan kritis menunjukkan bagaimana ekonomi ekstraktif meluluhlantakkan hubungan-hubungan sosial ekologis dan ekonomi umur panjang di kepulauan di Indonesia.”
Sementara Wahyu Dhyatmika, mengungkapkan artikel peserta menunjukkan luasnya kesadaran kritis publik terkait bahaya ekologi tambang “dan suramnya masa depan kita jika tidak diupayakan gerakan akar rumput untuk transisi energi yang sejati untuk selamatnya bumi.”
Bagi Sapariah Saturi, industri ekstraktif menciptakan daya rusak multidimensi, dari kehancuran lingkungan, keanekaragaman sampai ke manusianya dan banyak lagi.
“Banyak cara untuk melawan, salah satunya dengan menulis. Menulis adalah senjatamu,” katanya.
Ika Ningtyas menyebut, artikel-artikel dalam lomba ini memperkaya fakta dan perspektif mengenai daya rusak industri ekstraktif yang terus meluas dan sulit dipulihkan.
Menurutnya, sejumlah penulis juga berhasil mengingatkan publik mengenai narasi dan solusi palsu dalam berbagai kebijakan untuk mengatasi krisis iklim saat ini, yang justru melanggengkan kolonialisme ekstraktif dan akan memperparah bencana sosial ekologis warga.
“Tulisan-tulisan ini juga mengingatkan kita semua agar perjuangan menyelamatkan bumi harus dilakukan secara inklusif, berkeadilan dan berpihak pada mereka yang paling rentan.”
Perjuangan Perempuan Poco Leok
Artikel yang ditulis Anno dalam lomba ini unggul atas tulisan peserta lainnya dari berbagai wilayah di Indonesia.
Tulisan Anggalih Bayu Muh Kamim berjudul “Memasung Hak Atas Air: Beban Produksi dan Reproduksi Perempuan dalam Bayang-Bayang Tambang” berada di peringkat dua.
Sementara itu, artikel yang ditulis bersama oleh Nurul Fadli Gaffar, Muhammad Riszky, dan Abdul Rafi Syafaat berjudul “Pesisir Bantaeng yang Diluluhlantakkan Industri Nikel” di peringkat tiga.
Dalam urainnya, Anno memaparkan tentang bagaimana perempuan di Poco Leok di Kabupaten Manggarai mengambil peran penting dalam perjuangan mempertahankan tanah dan ruang hidup mereka dari ancaman proyek geothermal.
Proyek itu merupakan bagian dari upaya perluasan PLTP Ulumbu yang berada tiga kilometer di sebelah barat Poco Leok, dan realisasi dari rencana pemerintah memaksimalkan potensi geothermal di darafat Flores yang pada 2017 ditetapkan sebagai Pulau Geothermal.
Penolakan warga muncul karena kuatir dengan dampak proyek itu, mengingat titik-titik pengeboran yang dekat dengan pemukiman dan lahan pertanian mereka.
Para perempuan Poco Leok terlibat aktif menghadang petugas dari Perusahaan Listrik Negara dan dari pemerintah setempat yang datang ke wilayah mereka.
Anno dalam artikelnya menyebut perjuangan perempuan Poco Leok yang ‘hidup mati demi ruang hidup’ sebetulnya timbul dari keresahan bersama atas situasi yang kian genting, sebab pemerintah daerah hingga pusat tidak hadir sebagai pendengar suara publik tetapi malah menjadi corong perusahaan.
“Kepentingan bisnis investasi, hal yang menyerang Flores dan Indonesia Timur belakangan ini, menutup telinga pemerintah terhadap berbagai teriakan warga yang terdampak proyek geothermal,” tulisnya.
Anno juga menjelaskan bahwa penolakan warga juga menjadi “tanda bahwa ambisi investasi energi bersih yang diklaim sebagai pilihan terbaik oleh pemerintah tidak akan berjalan mulus.”
“Bara perlawanan akan terus memanas, hingga semua pihak sadar dan yakin bahwa tanah adalah ibu yang memberikan kehidupan dan ruang hidup tidak dapat diobral segampang mengobral ‘menu di restoran,’” tulisnya.