Floresa.co – Perusahaan daerah Provinsi NTT, PT Flobamor tetap memberlakukan kebijakan kenaikan tarif di kawasan Taman Nasional [TN] Komodo, mengabaikan perintah dalam surat yang dikirimkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [LHK] berdasarkan hasil pertemuan dengan Kantor Staf Presiden [KSP].
Sesuai surat Kementerian LHK pada 5 Mei, seharusnya pembatalan kenaikan tarif itu dilakukan sebelum ASEAN Summit pada 9-11 Mei yang digelar di Labuan Bajo dan perusahan itu mesti melakukan sejumlah langkah lain sebelum mengambil kebijakan apapun.
Namun, hingga kini, kebijakan itu tetap dijalankan, hal yang memicu kebingungan bagi pelaku wisata.
Dalam sebuah video yang diterima Floresa, pelaku wisata terlibat perdebatan dengan staf lapangan PT Flobamor di Pulau Padar pada Sabtu, 13 Mei, mempersoalkan tarif jasa pemandu wisata yang tidak berubah.
Sementara pelaku wisata bersikeras bahwa kebijakan itu sudah dibatalkan oleh pemerintah pusat, namun staf lapangan itu mengklaim belum mendapat pemberitahuan dari perusahaannya serta mengaku “serba bingung dan serba salah.”
Di hadapan pelaku wisata itu, yang ngotot membayar sesuai tarif yang ditentukan KLHK dalam PP 12 tahun 2014, kemudian staf lapangan tersebut menerima, dan mengatakan “kita bisa bicarakan ini baik-baik.”
Dalam video tersebut, staf lapangan itu mengatakan, karena belum mendapat pemberitahuan dari perusahaan terkait pembatalan kebijakan kenaikan tarif, penerapannya akan ‘fleksibel’ atau akan tetap diberlakukan kepada mereka yang tidak mempersoalkannya.
Kebijakan baru PT Flobamor diberlakukan mulai 15 April dan telah memicu protes dari banyak pihak karena dilakukan secara sepihak. Dalam kebijakan baru ini, sejumlah tarif dinaikkan, seperti untuk jasa pemandu wisata alam (naturalist guide) yang sebelumnya Rp 120 ribu untuk lima wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, berubah jadi Rp 250 ribu per wisatawan domestik dan Rp 400 ribu per wisatawan mancanegara.
Permintaan pencabutan tarif itu sebenarnya sudah disampaikan dalam rapat yang digelar KSP pada 5 Mei yang diikuti PT Flobamor bersama sejumlah kementerian, seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian LHK, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif [Kemenparekraf], Pemprov NTT, Pemkab Manggarai Barat, Badan Pelaksana Otoritas Pariwisata Labuan Bajo Flores, perwakilan asosiasi pelaku wisata dan lembaga keagamaan Gereja Katolik, Keuskupan Ruteng.
Usai rapat itu, Direktur Operasional PT Flobamor, Abner Runpah sempat mengatakan bahwa mereka akan membatalkan tarif baru tersebut jika ada surat resmi dari Kementerian LHK. Ia beralasan bahwa kebijakan mereka mengacu pada Perjanjian Kerja Sama dengan kementerian itu pada 2022, yang menjadi landasan bagi Izin Usaha Pariwisata Jasa Wisata Alam (IUPJWA) di kawasan seluas 712,12 hektar di Pulau Komodo, Pulau Padar dan sekitarnya.
Dalam surat dari Kementerian LHK yang ditandatangani Sekretaris Jenderal Bambang Hendroyono dinyatakan bahwa pencabutan kebijakan PT Flobamor “harus dilakukan sebelum kegiatan ASEAN Summit dimulai” dan “dengan pencabutan tersebut maka tarif jasa pemanduan menggunakan tarif yang lama.”
Dalam kurun waktu dua sampai tiga bulan, jelas Bambang, PT. Flobamor “harus melakukan tahapan yang mengikuti konsep ‘good governance’ dalam rangka penyesuaian tarif,” termasuk sosialisasi, konsultasi publik dan dialog dua arah sehingga tarif jasa pemanduan yang diterapkan sudah mempertimbangkan masukan dan disepakati para pihak terkait.
Evodius Gonsomer, Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia [Asita] Manggarai Raya, yang ikut dalam rapat dengan KSP menuding polemik ini terjadi karena ketidaktegasan Kementerian LHK dan Balai Taman Nasional Komodo [BTNK] sebagai lembaga di bawahnya yang berbasis di Labuan Bajo dan mengontrol TN Komodo.
“Mungkinkah ada oknum pejabat yang berkuasa sehingga mereka takut?” katanya kepada Floresa pada 16 Mei.
Menurut Evodius, Kementerian LHK seharusnya memiliki kewenangan untuk “mencabut atau membatalkan Perjanjian Kerja Sama dengan PT Flobamor,” sebagai tindak lanjut dari pertemuan bersama KSP.
“Kami sangat kecewa dengan KLHK yang belum mencabut perjanjian kerja sama tersebut,” tambahnya.
Sementara itu, Leo Embo, salah satu pelaku wisata di Labuan Bajo mengatakan PT Flobamor telah melakukan pembangkangan terhadap permintaan Kementerian LHK.
“Kewenangan ada di Kementerian LHK atau BTNK, bukan di PT Flobamor. Jadi, dia tidak punya kekuatan memaksa,” ungkapnya.
Menurut Leo, kehadiran sebuah badan usaha milik daerah seharusnya membantu warga dan pelaku wisata dalam pembangunan pariwisata, “bukan murni urus bisnis.”
“Harus ada niat baik dari PT Flobamor untuk memberikan kepastian, kenyamanan membangun pariwisata Manggarai Barat, bukan ngotot dengan tarif itu,” ungkapnya.
“Punya izin usaha kok malah mereka yang berkuasa? Jangan merasa paling berkuasa karena sudah memiliki izin usaha, tolong berikan contoh yang baik,” tambahnya.
Di samping itu, kata dia, Kemenparekraf juga “tidak serius menanggapi masalah ini” dan terkesan “semua masalah diserahkan kepada pelaku wisata.”
“Mereka lebih paham soal dampak dari suatu isu, tetapi tidak pernah punya upaya untuk membantu kita keluar dari masalah itu,” ungkapnya.
Pimpinan PT Flobamor belum berhasil dimintai komentar terkait polemik ini.
Sementara itu, ketika ditanyai respons terhadap sikap PT Flobamor yang mengabaikan surat Kementerian LHK dan KSP, Hendrikus Rani Siga, Kepala BTNK mengatakan, “harusnya PT Flobamor melakukan, menjalankan instruksi [dalam surat Kementerian LHK] itu.”
“Di situ sudah jelas isi suratnya. Harusnya mereka [PT Flobamor] menaati surat itu,” katanya kepada Floresa di kantornya pada 16 Mei.
Ia mengatakan seharusnya PT Flobamor juga konsisten dengan pernyataan bahwa pembatalan akan dilakukan setelah mendapat surat dari Kementerian LHK.
“Kalau mereka tidak ikuti, mereka harus sampaikan, balas surat itu,kenapa tidak ikuti,” katanya.
“Kita menunggu apakah mereka [PT Flobamor] ada langkah selanjutnya atau tidak,” tambahnya.
Ini merupakan kebijakan kontroversi kedua PT Flobamor setelah gagal menerapkan kebijakan tarif masuk 3.750.000 rupiah per orang pada tahun lalu karena protes yang luas dan dinyatakan oleh pemerintah pusat bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lainnya.
Venansius Haryanto, peneliti yang banyak mengkaji isu kebijakan di kawasan TN Komodo mengatakan, perkembangan terbaru ini menambah carut-marutnya tata kelola kawasan itu.
“Bagaimana bisa sebuah perusahaan daerah tampak seperti begitu kuatnya sehingga kebijakannya yang sudah dinyatakan bermasalah oleh berbagai pihak, bahkan oleh pemerintah sendiri, malah tetap dibiarkan,” katanya.
“Apa yang sebenarnya sedang mau diperlihatkan oleh pemerintah kita kepada publik. Apakah memang permintaan pembatalan kebijakan ini kali lalu hanya sebuah gimik demi ‘kenyamanan’ selama ASEAN Summit dan bukan pertama-tama demi perubahan menuju tata kelola yang baik?” tambahnya.
Ia menegaskan bawa polemik ini merupakan dampak dari “tata kelola kebijakan yang amburadul, tanpa koordinasi, dan sudah diduga tujuannya hanya mau merebut sumber daya.”
“Belajar dari kasus ini perlu dipikirkan ulang tata kelola kebijakan yang baik. Di antaranya saat suatu kebijakan diambil, perlu sekali mendengarkan suara publik,” katanya.