Tekanan Terhadap Mereka yang Bersuara Kritis di Tengah ASEAN Summit Terus Terjadi

Ditulis oleh:Tim Floresa

Floresa.co – Setelah peretasan akun milik jurnalis dan website Floresa, upaya peretasan dan tekanan lain kembali terjadi dalam beberapa hari terakhir terhadap setidaknya tiga organisasi yang berupaya menyampaikan suara kritis di tengah penyelenggaraan ASEAN Summit di Labuan Bajo.

Tiga organisasi itu termasuk di dalam jaringan masyarakat sipil yang ikut membantu warga di Labuan Bajo menuntut ganti rugi atas rumah dan lahan yang digusur untuk proyek jalan strategis nasional Labuan Bajo – Golo Mori.

Upaya tekanan itu dilakukan lewat aplikasi berbagi pesan WhatsApp, baik dengan pengambilalihan akun, maupun permintaan menghapus unggahan di media sosial.

Jaringan Advokasi Tambang atau Jatam melaporkan bahwa peretasan dialami oleh setidaknya empat orang staf organisasi mereka.

Melky Nahar, koordinator nasional organisasi yang berbasis di Jakarta itu mengatakan kepada Floresa bahwa akun WA-nya tiba-tiba diambil alih pada 11 Mei dini hari.

Ia menyadari hal itu ketika telepon selulernya menyala, “lalu muncul pemberitahuan bahwa nomor saya tidak lagi terdaftar di sana dan ada permintaan melakukan verifikasi.”

Namun, kata dia, verifikasi selalu gagal.

Hal itu membuat Melky mengumumkan di media sosialnya agar rekan-rekannya tidak perlu merespon jika ada pesan atau panggilan dari akun WA-nya.

 

Ia mengatakan kasus serupa kemudian terjadi pada tiga akun WA rekannya “dengan pola yang sama.”

“Saat ini akun saya sudah bisa saya ambil alih kembali setelah dilakukan proses verifikasi berulang kali, sementara pemulihan pesan-pesannya masih dalam proses,” kata Melky.

Upaya pengambilalihan akun WA  juga dialami oleh dari Tim Ekspedisi Indonesia Baru. Setidaknya dua orang anggota mereka mengalami peretasan.

Pemegang nomor Whatsapp yang terhubung dengan akun-akun media sosial Ekpedisi Indonesia Baru.

Ia mengatakan kepada Floresa sedang mengikuti diskusi dengan media terkait situasi di Labuan Bajo ketika tiba-tiba mendapat pemberitahuan bahwa akun WA-nya sudah tidak lagi terdaftar di telepon selulernya.

Ketika mencoba melakukan verifikasi dengan SMS, katanya, kode enam digit untuk verifikasi tidak muncul.

Saat mencoba verifikasi lewat panggilan, gagal juga. “Ditungguinnggak ada yang telepon,” katanya.

Ia mengatakan, di laptopnya WA itu sempat terdeteksi masih nyala, namun “ternyata, nggak sampe semenit yang di laptop juga keluar.”

“Jadi aku nggak bisa akses semuanya,” katanya.

Ia mengatakan, nomor itu memang terhubung ke akun-akun media sosial Ekspedisi Indonesia Baru.

Ia mengatakan, baru bisa mengendalikan lagi akunnya empat jam kemudian setelah melakukan percobaan beberapa kali untuk verifikasi ulang.

Sementara itu, tim Sunspirit for Justice and Peace, lembaga advokasi di Labuan Bajo melaporkan bahwa pada Rabu 10 Mei mereka mendapat pesan dari seseorang yang meminta untuk menghapus sebuah cuitan di Twitter resmi lembaga itu.

Pengelola akun lembaga itu mengatakan kepada Floresa bahwa orang tersebut memperkenalkan diri sebagai Anan, dengan telepon bernomor +1(334) 4652077, kode negara Kanada.

“Di foto profil, ia menggunakan logo Siber Polri,” katanya.

Nomor itu, kata dia, menulis pesan berikut: “Perkenalkan saya Anan. Sebelumnya saya mohon maaf, disini saya mau koordinasi mengenai postingan akun Twitter Kakak yang saya cintai dan hormati, bila berkenan bisakah menghapus postingannya.”

Pesan yang diminta dihapus itu adalah sebuah banner berisi informasi acara konferensi pers warga dan lembaga advokasi nasional terkait intimidasi terhadap warga dan aktivis di Flores yang menuntut ganti rugi lahan dalam proyek jalan Labuan Bajo-Golo Mori dan ancaman terhadap jurnalis yang memberitakan tuntutan warga tersebut.

 

Pengirim pesan itu, jelasnya, juga melampirkan tautan berisi cuitan itu.

Tim Sunspirit menanggapi permintaan itu dengan memintanya memperkenalkan ini “dari mana, nama lengkap, dalam kapasitas apa dan dari institusi mana.”

Setelah itu, orang itu tidak merespons lagi.

Upaya peretasan ini terjadi di tengah langkah lembaga-lembaga ini mengangkat suara kritis di tengah ASEAN Summit di Labuan Bajo pada 9-11 Mei.

Jatam, Ekspedisi Indonesia Baru dan Sunspirit bersama  beberapa organisasi lainnya, seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Pers, JPIC OFM Indonesia, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan [Kontras], Zero Human Trafficking Network [ZHTN] dan Konsorsium Pembaruan Agraria [KPA] telah terlibat dalam beberapa seri diskusi sejak 9 Mei, membahas sejumlah isu yang mengkritisi sejumlah kebijakan pemerintah.

Konferensi pers pada 8 Mei juga merespons upaya tekanan terhadap warga yang hendak menggelar unjuk rasa pada saat ASEAN Summit, juga tekanan terhadap para jurnalis.

Tim Ekspedisi Indonesia Baru, yang baru-baru ini juga merilis film ‘Dragon for Sale’, juga gencar mengangkat masalah ketidakadilan dalam industri pariwisata di Labuan Bajo, yang menurut mereka penting untuk diketahui publik.

Upaya tekanan ini terjadi setelah pada 6 Mei, akun Telegram dan WA salah seorang jurnalis Floresa juga diretas. Percobaan peretasan juga menyasar website Floresa pada 7 Mei.

Hal itu terjadi tidak lama setelah Floresa mempublikasi laporan kolaborasi dengan Project Multatuli berjudul: Mereka yang Suaranya Diabaikan dan Dibungkam di Tengah Gegap Gempita ASEAN Summit di Labuan Bajo.

Sementara itu, warga korban penggusuran yang memperjuangkan hak ganti rugi mereka batal melakukan aksi demonstrasi setelah didatangi tim dari “Mabes Polri” dan orang yang mengaku sebagai “Utusan Pusat”.

Mereka diminta untuk membuat pernyataan di atas meterai pernyataan video bahwa mereka mendukung penyelenggaraan ASEAN Summit dan tidak melakukan aksi demonstrasi.

Sebelumnya empat orang warga mendapat surat panggilan polisi Polres Manggarai Barat dengan tuduhan dugaan “tindak pidana penghasutan.”

Publikasi Lainnya