Floresa.co – Warga di Kabupaten Manggarai Barat, NTT yang hendak menggelar aksi unjuk rasa saat ASEAN Summit untuk mendesak pemerintah membayar ganti rugi atas rumah dan kebun mereka yang digusur untuk proyek jalan mengaku mendapat tekanan dan telah dilapor ke polisi karena tudingan pidana penghasutan.
Dominikus Safio Bion dan Viktor Frumentius, warga Kampung Cumbi, Desa Warloka mendapat surat dari polisi pada Sabtu malam, 6 Mei, sementara Doni Parera dan Ladis Jeharun, dua aktivis yang hendak membantu warga berunjuk rasa mendapat surat panggilan pada hari ini, Minggu pagi, 7 Mei.
Dalam surat keempatnya yang fotonya diperoleh Floresa, rumusannya sama bahwa polisi “sedang melakukan penyelidikan terhadap dugaan tindak pidana ‘penghasutan’ yang akan terjadi pada tanggal 9 Mei 2023 di jalan raya yang akan dilintasi oleh peserta rombongan ASEAN Summit ke-42.”
Viktor dan Dominikus dipanggil untuk diperiksa pada Senin esok, 8 Mei, sementara Doni dan Ladis pada Selasa, 9 Mei, hari pertama ASEAN Summit dan hari mereka berencana menggelar aksi unjuk rasa sesuai surat pemberitahuan yang sudah diserahkan ke polisi.
Saat Floresa menghubungi Bripka Suharman Nasrulah, polisi yang akan meminta keterangan kepada Doni dan Dominikus, untuk meminta informasi terkait pihak yang menyampaikan pengaduan tentang mereka dan bentuk hasutan yang mereka lakukan, ia mengarahkan untuk menghubungi Kasat Reskrim, AKP Ridwan.
Ridwan tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan Floresa dan hanya mengatakan, “Saya masih di luar.”
Dilihat dari nomor surat, laporan keempatnya adalah laporan model B, yaitu laporan yang dibuat oleh polisi sendiri atas laporan/pengaduan yang diterima dari masyarakat.
Dipanggil Setelah Menolak untuk Batalkan Aksi
Warga di Cumbi dan kampung tetangganya Nalis dan Kenari terus memperjuangkan ganti rugi untuk jalan dan kebun mereka yang digusur untuk jalan dari Labuan Bajo menuju Golo Mori.
Jalan sepanjang 25 kilometer yang telah diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 14 Maret 2023 itu akan dilalui oleh sebagian delegasi ASEAN Summit.
Golo Mori merupakan salah satu titik penyelenggaraan pertemuan yang berlangsung pada 9-11 Mei itu.
Menurut data Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation–Societas Verbi Divini (JPIC-SVD), lembaga advokasi Gereja Katolik yang selama ini ikut membantu warga terdampak proyek jalan itu, setidaknya 51 keluarga yang mayoritas petani dan guru honorer, masih terus memperjuangkan haknya menuntut ganti rugi.
Jumlah aset warga yang menjadi korban penggusuran antara lain dua rumah permanen dua lantai, lima rumah permanen, 16 rumah semi permanen, 14.050 meter persegi pekarangan, 1.790 meter persegi sawah, dan 1.080 meter persegi ladang.
BACA JUGA: Mereka yang Suaranya Diabaikan dan Dibungkam di Tengah Gegap Gempita ASEAN Summit di Labuan Bajo
Warga telah melakukan berbagai cara untuk mendesak pemerintah memenuhi hak mereka mendapat ganti rugi, namun gagal. Karena itu, mereka ngotot akan menggelar aksi unjuk rasa saat ASEAN Summit.
Surat panggilan polisi itu muncul setelah keempatnya mengaku didekati oleh berbagai pihak, termasuk intel polisi, meminta membatalkan rencana aksi itu.
Doni mengatakan, intel dari Polres Mabar dan Polda NTT beberapa kali menemuinya.
Doni mengatakan, Kepala Satuan Intelijen dan Keamanan Polres Manggarai Barat, Iptu Markus Frederiko Sega Wangge bahkan mengingatkannya agar “hati-hati”, namun tanpa memberi penjelasan lebih lanjut.
Polisi, kata dia, juga dua kali mendatangi rumah keluarganya di Labuan Bajo dan meminta mereka agar mengingatkan dirinya tidak melakukan aksi.
Pendekatan juga dilakukan lewat orang sipil, yang menurut Doni, mengaku diutus oleh “orang dari pusat.”
Pada 3 Mei, Doni mengatakan seseorang yang ia kenal menemuinya dan Ladis, menawarkan mereka uang masing-masing sepuluh juta rupiah agar tidak menggelar aksi itu.
Ketika pada 5 Mei mereka tetap nekad menyerahkan surat pemberitahuan aksi, Doni dan Ladis dipanggil polisi.
Doni dijemput oleh 15 orang polisi dari tempat tinggal sementaranya di Labuan Bajo, memberitahunya bahwa akan bertemu dengan Kapolda NTT di kantor Polres Manggarai Barat.
Setibanya di Polres, ia dan Ladis hanya bertemu dengan Kasat Intel Ipda Markus, yang lagi-lagi memberitahu mereka tidak menggelar aksi.
Pada Sabtu, 6 Mei, Doni dan Ladis juga didatangi seseorang yang mengaku wartawan dari Jakarta untuk sama-sama mengajak menemui warga Cumbi.
Keduanya menolak, menduga orang tersebut bukan wartawan karena tidak bisa menunjukan identitasnya.
Upaya pendekatan oleh aparat juga dilakukan terhadap warga di Kampung Cumbi dan Nalis.
Sejumlah sumber Floresa di dua kampung itu mengaku berkali-kali didatangi oleh orang yang mengaku aparat keamanan dan perwakilan pemerintah, mendesak mereka untuk tidak melakukan aksi.
Tokoh Agama Dilibatkan
Doni dan Viktor juga mengaku upaya pendekatan yang dilakukan tokoh agama Katolik agar membatalkan rencana aksi itu.
Doni mengatakan, ia diminta oleh setidaknya dua imam Katolik, agar membatalkan aksi.
“Intinya mereka mengatakan bahwa aksi itu akan mengganggu ASEAN Summit,” katanya.
Viktor dari Cumbi mengatakan kepada Floresa bahwa seorang imam Katolik yang merayakan misa di kapel mereka menemui warga usai Misa pada hari ini.
Ia mengatakan, imam itu mengaku membawa pesan dari Uskup Ruteng, Siprianus Hormat, meminta agar warga tidak melakukan aksi.
“Imam itu menjanjikan bahwa nanti setelah ASEAN Summit warga boleh bertemu Vikjen [Vikaris Jenderal Keuskupan Ruteng] untuk berjuang bersama-sama,” katanya. Vikjen adalah semacam wakil uskup.
“Untuk saat ini, [kata imam itu], jangan aksi dulu,” kata Viktor.
Floresa tidak bisa mengkonfirmasi kepada imam yang disebut Viktor. Nomornya tidak aktif saat dihubungi sejak Minggu siang.
Merurut Doni, imam yang disebut Viktor itu adalah salah satu dari dua imam yang juga mendekatinya.
Pada hari ini memang di gereja-gereja Katolik di Keuskupan Ruteng membacakan surat imbauan uskup dalam rangka ASEAN Summit.
Dalam surat itu, Uskup Siprianus menyampaikan terima kasih kepada Presiden Joko Widodo yang telah membangun Labuan Bajo dan Flores sebagai “destinasi pariwisata super prioritas” dan memilih Labuan Bajo sebagai “tempat perhelatan akbar pimpinan negara-negara Asia Tenggara.”
Ia menyebut ASEAN Summit sebagai momentum historis dan karena itu mengajak umat Katolik bahu membahu dengan pemerintah menyukseskan kegiatan tersebut dengan “menciptakan suasana yang sejuk, nyaman, dan penuh suka cita.”
Selain imbauan resmi dari Uskup Sipri, sejumlah imam juga telah menyampaikan pernyataan serupa mendukung acara ini.
Imbauan ini muncul usai Kapolda NTT, Johni Asadoma pada 27 April meminta agar “menahan diri menyampaikan masalah” sampai ASEAN Summit selesai.
“Nanti setelah ASEAN Summit, silakan menyampaikan secara langsung, tatap muka, unjuk rasa. Sehingga tidak mengganggu ketertiban, kelancaran, dan keamanan ASEAN Summit,” katanyanya.
Akan Didampingi Pengacara
Sementara itu Doni mengatakan, mereka akan tetap berjuang, selagi hak ganti eugi warga tidak dipenuhi.
Dalam pernyataannya kepada Floresa, ia menegaskan, “kalau di tengah momen ASEAN Summit ini saja hak warga diabaikan, ke depan saya sangat tidak yakin hak warga akan dipenuhi.”
“Kami hanya akan batal aksi kalau ada jaminan pasti bahwa hak ganti rugi warga dipenuhi.”
Sementara Ladis mengatakan, “substansi aksi yang mau kita sampaikan ke hadapan pemerintah adalah segera memberikan ganti rugi yang menjadi hak masyarakat terdampak penggusuran jalan menuju jalur Golo Mori.
Floresa mendapat informasi pada Minggu malam, bahwa akan ada pengacara yang mendampingi keempatnya dalam pemeriksaan esok.
“Kami juga sedang mengupayakan koordinasi dengan kawan-kawan dari jaringan di lembaga-lembaga nasional untuk bisa segera ke Labuan Bajo, mendampingi warga agar tidak dikriminalisasi,” kata sumber Floresa yang terlibat dalam upaya advokasi keempatnya.