Floresa.co– Sekitar pukul 18.00 Wita, ank-anak mulai berdatangan ke halaman rumah milik Jumain di Kampung Komodo.
Mereka datang lebih awal ke tempat itu yang sedang disiapkan untuk menjadi lokasi pemutaran perdana film “Dragon for Sale.”
“Sebentar ada nonton di sini,” kata seorang anak kepada teman-temannya yang sedang bermain di halaman rumah itu, Kamis, 1 April 2023.
Jumain, tuan rumah, mendatangi mereka, memberitahu bahwa film itu baru akan diputar pukul 19.30 Wita.
“Orang tua di sana masih sembahyang,” katanya, sembari menunjuk ke arah masjid yang berada di sisi barat kampung itu.
Sejam kemudian, pantauan Floresa, orang-orang dewasa mulai berdatangan dari arah masjid ke halaman rumah Jumain. Di sana sudah ada sebuah komputer, proyektor dan sebuah kain putih yang disulap menjadi layar untuk menyaksikan film.
Mereka mengatur posisi duduk dengan rapi. Yang usia lanjut dipersilakan untuk menempati kursi paling depan, sementara anak-anak, ibu-ibu dan orang-orang dewas lainnya duduk di bagian belakang. Sebagian lainnya berdiri.
Kinan, salah satu putra Ata Modo, suku asli yang mendiami pulau yang juga menjadi habitat Komodo itu dipercayakan menyampaikan kata pengantar sebelum pemutaran film.
Ia menjelaskan, menyaksikan film dokumenter itu menjadi semacam mengenang perjuangan mereka menghadapi invansi korporasi-korporasi yang mendapat konsesi bisnis pariwisata di kawasan Taman Nasional Komodo, termasuk di pulau mereka.
“Ini adalah momen penting mengenang perjuangan kita Ata Modo menolak para pemodal yang menguasai kita,” ungkap Kinan, yang selama beberapa tahun terakhir bergerak bersama warga lainnya menolak kebijakan-kebijakan pariwisata yang tidak pro kepentingan warga lokal.
Sebelum pemutaran film utuh, warga menyaksikan trailer, ringkasan film yang menggambarkan keseluruhan sisi gelap pariwisata super premium Labuan Bajo.
Suasana hening ketika di akhir trailer itu sebuah lagu khas Ata Modo berjudul “Alu Gele” dilantunkan.
“Dengar, bagian akhir itu membuat saya merinding. Itu panggilan untuk leluhur,” kata seorang warga.
Sesaat kemudian, film dokumenter itu ditayangkan.
Suara-suara menggerutu dari warga terdengar ketika film tiba pada bagian di mana Presiden Joko Widodo membicarakan rencana menjadikan Pulau Komodo sebagai pulau eksklusif yang hanya bisa dikunjungi oleh orang-orang kaya.
“Yang tidak mampu bayar jangan ke sana,” kata presiden, yang sontak memicu protes warga.
Pernyataan Jokowi itu disampaikan tahun lalu, di tengah protes warga sipil di Labuan Bajo, juga Ata Modo, atas rencana kebijakan kenaikan tiket dan monopoli bisnis pariwisata oleh badan usaha pemerintah provinsi – PT Flobamor -di Pulau Komodo dan sekitanya, dengan menetapkan tiket masuk Pulau Komodo 3,75 juta rupiah. Rencana itu memang kemudian dibatalkan sendiri oleh pemerintah.
Sebagaimana ditampilkan dalam film itu, Jokowi berdiri berdampingan dengan beberapa pejabat tinggi, termasuk Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat, saat menyampaikan pernyataannya.
Saat wajah Laiskodat terlihat jelas di layar, beberapa warga sontak berkomentar: “Dia yang mau naikkan tiket. Jangan pilih lagi.”
Warga juga terlihat geram ketika melihat grafis beberapa perusahaan yang memiliki izin konsesi di kawasan taman nasional. Diantaranya adalah PT Komodo Wildlife Ecotorusim, milik Grup Plataran, yang salah satu resort mewahnya ada di Labuan Bajo.
“Orang kaya semua,” gerutu seorang warga, sambil menggeleng-geleng kepala.
Film produksi Ekpedisi Indonesia Baru dan Sahabat Flores yang disaksikan warga Komodo malam itu ada dua seri dari total lima seri film tersebut. Dua lainnya akan dirilis dalam beberapa hari ke depan.
Film ini mengangkat sisi gelap pembangunan pariwisata dan ambisi pemerintah membangun pariwisata di berbagai wilayah termasuk Labuan Bajo yang diberi label “10 Bali Baru” dan “super premium.”
Film ini, dalam pernyataan dari Ekspedisi Indonesia Baru, berusaha menjawab pertanyaan; demi kepentingan siapakah sebenarnya proyek pariwisata super premium itu dan apakah benar rakyat yang menerima manfaat terbesar?
Film ini mengungkap hal-hal yang selama ini tak tampak di mata para turis, seperti tentang peminggiran warga lokal, penyangkalan hak masyarakat adat, privatisasi pantai, pencaplokan sumber daya air, pengrusakan hutan, serta penguasaan bisnis oleh aktor-aktor bisnis raksasa yang berkelindan dengan kekuasaan politik, serta tentang kuatnya gelombang perlawanan warga untuk mempertahankan ruang hidup mereka.
Kinan mengatakan kepada Floresa usai menonton film itu bahwa mereka makin memahami bahwa pariwisata Labuan Bajo sedang dirancang untuk orang-orang elit.
“Sedangkan warga lokal dihancurkan, tidak ada pariwisata berbasis komunitas,” tambahnya.
Kinan mengatakan dirinya khwatir ketika suatu saat perusahaan-perusahaan masuk ke Pulau Komodo dan menguasai ruang hidup warga, mengingat saat ini sudah ada beberapa korporasi yang mendapat izin ratusan hektar di dalam kawasan taman nasional.
“Saya tidak bisa bayangkan 10 tahun ke depannya skema ini, perusahan-perusahan oligarki akan masuk ke Kampung Komodo,” tandasnya.
“Ruang hidup warga Ata Modo menjadi sempit dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi,” sambungnya.
Dragon for Sale merupakan dokumenter keenam yang dihasilkan oleh Ekspedisi Indonesia Baru, setelah sebelumnya film Silat Tani, Angin Timur, Tanah Tabi, Base Genep, dan the Soulmate.
Tim Ekspedisi Indonesia Baru berkeliling Indonesia selama setahun dengan sepeda motor. Mereka terdiri dari empat orang, yakni Yusuf Priamodo, Benaya Harobu, Dandhy Laksono dan Farid Gaban.
Di Flores mereka bekerja sama dengan Sahabat Flores yang merupakan kumpulan lintas komunitas peneliti, jurnalis, videografer, seniman, aktivis hingga pekerja sektor wisata, serta warga yang terdampak proyek pariwisata.
Selain di Kampung Komodo, premiere film ini pada 1 April juga berlangsung di Komunitas Baku Peduli Center di Watu Langkas – Labuan Bajo, Komunitas Warga Adat Wae Sano dan Around Me Caffee Shop di Wonosobo yang merupakan markas Koperasi Ekspedisi Indonesia Baru.
Di Wae Sano, warga yang sedang berjuang melawan proyek geothermal berkumpul di sebuah rumah warga menyaksikan film ini.
Yosef Erwin Rahmat, warga adat yang berdiri di garis depan menolak proyek itu mengapresiasi kehadiran film itu yang mengangkat masalah-masalah pembangunan yang selama ini dihadapi warga Flores, termasuk dalam proyek geothermal Wae Sano.
“Pertanyaan utamanya adalah untuk apa dan untuk siapa sebenarnya pembangunan geothermal Wae Sano ini? Apakah untuk warga atau untuk kepentingan bisnis orang-orang kaya di Labuan Bajo dan tempat lain?” katanya
Sementara di Baku Peduli Center, para pelaku wisata, aktivis dan pemuda berbaur menyaksikan film ini.
Hendrikus Rani Siga, Kepala Balai Taman Nasional Komodo, lembaga di bawah Kementerian Lingkungan Hidup, ikut hadir dan memberikan komentar di akhir pemutatan film selama dua jam itu.
Ia mengakui bahwa perjalanan panjang pengelolaan Taman Nasional Komodo memunculkan “hiruk pikuk” dalam tayangan Dragon for Sale.
“Hiruk pikuk tersebut dikritisi oleh teman-teman yang mempunyai kepedulian terhadap sisi lain dari pembangunan pariwisata,” ungkapnya.
Ia mengatakan, “ini hal yang positif, bahwa harus ada pemikiran-pemikiran alternatif dalam sebuah proses pembangunan.”
Sikap kritis dalam film tersebut menjadi penting, demikian Hendrikus, karena mereka sebagai pengelola Taman Nasinla Komodo tidak dapat menilai diri sendiri, tetapi membutuhkan pihak lain.
Produser film ini masih terus membuka peluang kepada berbagai komunitas di seluruh Indonesia yang berminat melakukan acara nonton bersama, dalam apa yang mereka sebut “Bioskop Warga.”
Jika Anda tertarik, bisa mendapat informasinya di akun Instagram mereka, @idbaruid dan @sahabatflores_official.