oleh Anno Susabun* di 8 March 2023
Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, secara geologis dikelilingi cincin api vulkanik (ring of fire), menyebabkan daya tarik bagi investasi geothermal. Kondisi ini, mengancam masyarakat dan lingkungan.
Pada 2017, melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 2268 K/30/MEM/2017 tertanggal 19 Juni 2017, pemerintah menetapkan Flores sebagai Pulau Geothermal. Ia mendorong pengembangan proyek panas bumi di beberapa tempat, misal, Wae Sano Manggarai Barat, Mataloko, Ngada, dan Ulumbu di Poco Leok, Manggarai.
Proyek geothermal di Pegunungan Poco Leok, bakal menyebar pada 60 titik pengeboran, terletak di 13 kampung adat dalam tiga desa, yaitu, Desa Lungar, Mocok, dan Golo Muntas.
Desain tapak perluasan PLTP Ulumbu Unit 5-6 Poco Leok itu, menurut sosialisasi pemerintah daerah bertujuan meningkatkan kapasitas listrik dari 7,5 MW saat ini jadi 40 MW. Ia terbagi atas Wellpad D (Lingko Tanggong milik Warga Kampung Lungar), Wellpad E (Kampung Cako, Leda, dan Lelak Desa Lungar),
Wellpad F di Lingko Ncamar milik warga Kampung Ncamar (dekat Lingko Mesir). Sedangkan Wellpad G berada di Lingko Lapang, milik warga Kampung Mocok di bagian Lembah Poco Leok.
Anehnya, proyek geothermal ini berlangsung di tengah kondisi surplus elektrifikasi nasional dan lokal.
“Salah satu kebijakan yang kita ambil adalah menaikkan 450 VA ke 900 VA untuk rumah tangga miskin dan 900 VA ke 1.200 VA,” kata Said Abdullah Ketua Banggar DPR dalam rapat panja pembahasan RAPBN 2023, Kompas.com.
Hal itu, menurut pemerintah terjadi karena ada oversupply listrik PT PLN 6 GW (2022), bagian dari ambisi kampanye Presiden Joko Widodo pada 2014 untuk mencapai megaproyek 35.000 MW. Ambisi itu tak sesuai kondisi pertumbuhan ekonomi, yang menyebabkan PLN merugi.
Padahal, dari Bappenas.go.id, menyebutkan, rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2022-2024, sudah menargetkan pertumbuhan ekonomi 6% dengan bantuan energi listrik cukup.
Beberapa bulan belakangan ini PLN makin gencar melakukan beberapa kegiatan, mulai sosialisasi hingga identifikasi lahan dan survei jalan untuk mobilisasi kendaraan proyek, di Poco Leok, Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Kegiatan ini rangkaian dari rencana pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) Ulumbu ke arah Poco Leok. PLTPB Ulumbu telah beroperasi sejak 2011.
Kendati atas nama propaganda peningkatan ratio elektrifikasi di Flores, warga terus mengorganisir diri melawan rencana penambangan panas bumi ini. Sambil berjejaring dengan beberapa komunitas yang melawan proyek geothermal di Flores, masyarakat Wae Sano di Manggarai Barat dan masyarakat Mataloko di Ngada, warga Poco Leok menolak keras rencana ini karena berpotensi mengancam runag hidup mereka.
Pada 25 Oktober 2022, bersama seorang teman saya mengunjungi Poco Leok bertemu warga. Dari Ruteng, ibukota Manggarai, kami bersepeda motor mendaki celah di antara Bukit Golo Lusang, sisi timur dan Poco Likang sisi barat.
Menuruni hutan lebat dari puncak Golo Lusang ke selatan, kami tiba di simpang tiga, yang kanan menurun menuju Iteng- pesisir Selatan Manggarai, yang kiri mendaki menuju Bukit Poco Leok.
Setelah hampir 10 menit mendaki Poco Leok, kami kembali melewati jalan menurun berkelok-kelok hingga tiba di kampung pertama, Lungar.
Poco Leok, merupakan wilayah dengan kontur bukit-bukit. Sebagian besar wilayah itu adalah bukit, dengan sedikit ruang datar dan lembah. Dalam Bahasa Manggarai, poco berarti bukit, leok kurang lebih berarti melingkar.
Pegunungan Poco Leok berada di ketinggian 1.675 mdpl, 23 kilometer arah Selatan Kota Ruteng, Ibukota Manggarai.
Tak jauh dari situ, di sebelah barat, berdiri Bukit Golo Mompong, dipercaya jadi tempat tinggal nenek moyang orang Poco Leok. Beberapa peninggalan, semisal, meriam perang dan compang (tempat penyembahan adat), masih tersisa di sana.
“Tanah Poco Leok ini sangat labil, bukti kalau musim hujan sering longsor, baik skala kecil maupun besar,” kata Servas Onggal, pemuda adat Kampung Lungar.
Senada diutarakan Agustinus Egot, pensiunan sekretaris desa kini sehari-hari bertani. Dia menolak keras rencana proyek geothermal Poco Leok karena alasan topografi wilayah itu berbukit-bukit dan rentan terkena bencana longsor.
Agustinus menunjukkan lahannya di Lingko Belang, tepat di lereng bukit yang berbatasan langsung dengan Lingko Mesir. Dalam desain tapak geothermal, Lingko Mesir yang berada di puncak bukit adalah titik pengeboran Wellpad F, di mana terdapat juga kuburan leluhur warga Kampung Mesir.
“Cepat atau lambat, bahaya itu tidak hanya menimpa saya, juga warga lain,” katanya.
Secara geologis Poco Leok adalah wilayah kaldera, suatu lanskap kawah berukuran besar, hasil dari penurunan tanah yang bagian bawahnya rongga magma. Kaldera terbentuk dari erupsi vulkanik ribuan tahun silam. Salah satu dari rangkaian kerucut di tepi kaldera Poco Leok adalah Gunung Anak Ranakah yang lahir pasca letusan pada Desember 1987.
“Beberapa tahun lalu pernah terjadi keretakan tanah selebar 6–10 cm dengan panjang 300 meter di Kampung Mesir, beberapa warga terpaksa direlokasi ke kampung baru Golo Rua,” kata Servas.
Selain sebagai efek dari kontur kaldera yang terdiri atas sisi-sisi curam, warga meyakini operasi PLTP Ulumbu di Desa Wewo, jadi sebab utama bencana itu.
Tak hanya di tempat-tempat jauh, Teredi, Sukarno, dan Jaya (2022) mengungkap, beberapa indikasi kerusakan lingkungan dan bencana sosial yang dialami warga di sekitar PLTP Ulumbu. Di lokasi itu, terjadi kerusakan massal lahan pertanian, pencemaran air, penurunan tanah, penurunan produktivitas pertanian, penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), hingga konflik sosial karena perebutan posisi tenaga kerja di perusahaan.
Kendati dekat dengan sumber listrik-geothermal Ulumbu yang dikelola PLN, PT Indonesia Power dan PT Cogindo Daya Bersama, yang mulai beroperasi sejak Januari 2012, sebagian kampung di Poco Leok hingga kini belum diterangi listrik.
Keadaan ini bertolak belakang dengan janji Direktur Utama PLN Nur Pamudji. Dari laman resmi KESDM, kala itu Nur bilang, selain jadi sumber energi wilayah sekitar, PLTP Ulumbu akan menerangi kabupaten tetangga dan seluruh daratan Flores pada 2012 dan 2013.
“Bahkan, sampai hari ini, masih ada kampung yang belum mendapat akses listrik,” kata Daniel Adur, tetua adat Kampung Mocok, Poco Leok, dalam diskusi publik di Ruteng, tahun lalu.
Kali ini, sosialisasi geothermal Poco Leok oleh PLN dan Pemerintah Manggarai datang dengan janji sama, yaitu, perluasan jaringan listrik di belasan kampung di wilayah itu. Sebuah kondisi yang seharusnya terpenuhi sejak kemunculan PLTP Ulumbu satu dekade silam.
Dari sisi politik, Pemerintah Manggarai sangat beralasan ngotot membujuk warga Poco Leok menerima proyek ini. Janji kampanye pemenuhan listrik oleh Bupati Hery Nabit dan Wakil Bupati Heri Ngabut, pasangan usungan PDI Perjuangan dan lima parpol lain (ditambah dukungan empat parpol) yang terpilih melalui Pilkada pada 2020. Hingga sekarang, janji ini tak kunjung terpenuhi.
Pada Juni 2022, warga meruduk Kantor Bupati Manggarai menuntut janji elektrifikasi yang tak kunjung terpenuhi.
Namun militansi mempertahankan ruang hidup, membuat warga tidak goyah, meski pemerintah berkali-kali mendekati mereka, bahkan dengan cara manipulatif.
Hendikus H, warga Poco Leok, merasa tertipu hingga secara terpaksa setuju dengan proyek geothermal di lahannya.
Awalnya, PLN mendekati untuk memberi tahu lahan milik saudaranya sudah diserahkan buat geothermal. Lahannya tepat di samping lahan saudaranya itu otomatis akan terdampak.
Kemudian terungkap, PLN juga menyampaikan hal sama kepada saudaranya, bahwa Hendrikus sudah menyerahkan lahan kepada mereka, padahal kenyataan Hendrikus belum menyerahkan kepada PLN. Alhasil, keduanya menandatangani persetujuan menyerahkan lahan kepada PLN.
Cara manipulatif lain diduga ditempuh PLN untuk menggalang dukungan dari banyak pihak. Pada Oktober 2022, PLN diduga mencatut nama lembaga-lembaga Gereja Katolik, misal, Keuskupan Ruteng, Universitas Katolik St. Paulus Ruteng, JPIC SVD Ruteng, dan JPIC OFM sebagai pihak yang menyatakan dukungan terhadap proyek geothermal Poco Leok.
Klaim ini dibantah pihak Gereja dan menegaskan PLN melakukan pencatutan.
Mekanisme ini mirip dengan sosilisasi proyek geothermal Wae Sano di pinggiran Labuan Bajo, Manggarai Barat. Pemerintah dan perusahaan menyatakan sebagian besar warga mendukung proyek ini. Nyatanya, pendukung proyek yang dimaksud adalah warga di luar Desa Wae Sano, bahkan mereka yang tinggal di wilayah lain, termasuk di Kota Labuan Bajo.
Sejak 9-23 Februari 2023, PLN mengadakan survei topografi access road (survei jalan untuk mobilisasi kendaraan proyek) bersama Pemerintah Manggarai, sudah mengadakan aktivitas di beberapa titik.
Titik-titik itu semua berada di jantung ruang hidup warga. Kondisi ini membuat warga menolak rencana PLN, bahkan di manapun letak lokasi pengeboran. Servas Onggal dan Agustinus Sukarno, dua tokoh muda mengatakan, ruang hidup Poco Leok sebagai satu kesatuan integral atau tak terpisahkan.
“Kontur Poco Leok seluruhnya bukit-bukit dengan kemiringan sekitar 80 derajat, di manapun titik pengeboran direncanakan, warga tetap menolak atas nama keutuhan ruang hidup,” kata Karno.
Menurut Servas, kalau titik pengeboran ada di sekitar kampung bagian bukit sebelah utara, yakni, Lungar, Tere, dan Mesir, akan berdampak pada seluruh kampung di Lembah Nderu, Mucu, dan Mocok. Bahkan, juga kampung-kampung di bagian bukit sebelah selatan, seperti Cako, Leda, dan Lelak.
Titik-titik yang direncanakan PLN memang berada di lahan ulayat, seperti, Wellpad D Lingko Tanggong, wilayah adat Lungar, yang juga sumber mata air bersih, termasuk untuk pantai selatan di luar Poco Leok. Lingko Tanggong, juga terletak sekitar 500 meter dari rumah warga terdekat.
Selain itu, Wellpad E yang terletak di antara Kampung Lelak–berdekatan dengan Cako dan Leda—juga berada sekitar 200 meter dari rumah warga..
Di lahan Lingko Mesir (Wellpad F), titik pengeboran berada di atas bukit yang berjarak hanya sekitar 100 meter dari rumah terdekat. Pengeboran di titik ini juga berdampak bagi warga Kampung Nderu, yang berada tepat di sisi selatan Bukit Simon Wajong.
Warga adat Poco Leok dengan lahan diserobot PLN demi ujicoba pengeboran, menilai, proyek geothermal bisa menghancurkan ruang hidup warga. Ruang hidup yang dimaksud adalah beo [kampung], mbaru gendang (rumah adat), uma duat (kebun), compang (tempat penyembahan adat), boa (kuburan), dan mata wae (mata air).
Kesatuan ruang hidup budaya itu, tidak dapat berdiri sendiri per bagian. Kalau salah satu rusak, akan berdampak pada bagian lain.
“Ada banyak mata air di sini (wellpad D, Lingko Tanggong)…. (perusahaan dan pemerintah) jangan mengabaikan keselamatan masyarakat,” kata Servas.
“Kalau kami salah sekarang membuat (menyetujui proyek), leluhur kami di atas gunung itu (Golo Mompong) ngamuk, berbahaya untuk kami, satu per satu out (meningga)]…ini yang kami khawatir.”
Kecelakaan negara akibat ambisi paket kebijakan ekonomi berbasis investasi, yang tertuang dalam dokumen master plan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025, lantas dilimpahkan tanggung jawabnya kepada warga, salah satu, di Poco Leok.
Agustinus Egot mengangkat cerita di beberapa tempat pengembangan energi geothermal, yang dia tonton dan baca melalui berbagai media, misal, kebocoran gas yang memakan korban di Mandailing Natal dan Dieng, hingga kegagalan yang menghancurkan ruang hidup warga Mataloko, Flores.
Sementara itu, Elisabet Lahus, perempuan dari Kampung Lungar mengatakan “bumi adalah ibu” yang memberikan kehidupan kepada seluruh warga Poco Leok. Dia juga bilang, peran penting tanah dan air bagi warga yang sebagian besar berprofesi sebagai petani.
“Uang miliaran rupiah dapat kita cari, dan akan cepat habis, tetapi tanah tak akan bisa diciptakan kembali jika sudah jadi milik perusahaan dan dirusak.”
Hingga kini, warga Poco Leok aktif menolak terhadap kehadiran PLN dan perwakilan Pemerintah Manggarai untuk mengukur lahan, survei wellpad, dan survei jalan untuk mobilisasi kendaraan proyek di wilayah itu.
Warga terus menghadang aktivitas PLN dan pemerintah daerah, meski mereka dikawal aparat keamanan dari Polri dan TNI.
Warga berharap, Pemerintah pusat dan Manggarai, juga PLN menghentikan seluruh aktivitas di wilayah itu, demi menjamin keselamatan lingkungan dan masyarakat. Juga, untuk menghindari konflik sosial antarsesama warga yang kini mulai muncul.
Referensi
Teredi, Ernest L., Agustinus Sukarno, dan Marselinus Joni Jaya, (2022). Catatan Lapangan: Derita Rakyat dan Lingkungan di Balik PLTP Ulumbu. Diakses pada 16 September 2022 melalui https://www.jatam.org/derita-rakyat-dan-lingkungan-di-balik-pltp-ulumbu/
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, (2011). Uap Ulumbu Telah Menghasilkan Listrik. Diakses pada 8 November 2022 melalui https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/uap-ulumbu-telah-menghasilkan-listrik
Floresnews.id, (2022). Janji Kampanye Hery Nabit-Heri Ngabut Ditagih, Warga Cibal Sebut Jargon Perubahan Hanya Omong Kosong. Diakses pada 10 November 2022 melalui https://www.floresnews.id/news/pr-4993772394/janji-kampanye-hery-nabit-heri-ngabut-ditagih-warga-cibal-sebut-jargon-perubahan-hanya-omong-kosong
Bappenas.go.id, (2020). Bappenas Dorong Akses Energi Berkelanjutan Di Indonesia. Diakses pada 10 November 2022 melalui https://www.bappenas.go.id/id/berita/bappenas-dorong-akses-energi-berkelanjutan-di-indonesia-LuvNw
*Penulis: Anno Susabun, staf Divisi Riset dan Advokasi pada Sunspirit for Justice and Peace Labuan Bajo-Flores. Tulisan ini merupakan opini penulis. Email: annosusabun@gmail.com.
Artikel ini pertama kali terbit di kolom Opini Mongabay Indonesia