Floresa.co – Surat Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat yang dikirimkan ke Presiden Joko Widodo tahun lalu telah menjadi senjata bagi kelompok yang mendukung proyek geothermal di Desa Wae Sano untuk meloloskannya di tengah upaya perlawanan yang terus disuarakan oleh sebagian warga.
Karena uskup sudah pernah memberi rekomendasi, bagi kelompok yang mendukungnya, maka proyek itu harus dilanjutkan.
Sementara itu, kepada Floresa.co, Keuskupan Ruteng berharap menghentikan upaya “jual nama uskup” dan menegaskan bahwa uskup tidak “setuju buta” terhadap proyek itu.
Disebut-sebut Warga Pro, Hingga KSP
Dalam sebuah pertemuan di Wae Sano pada Selasa, 13 Desember 2022 yang diinisiasi Bank Dunia, nama Uskup Sipri berkali-kali disebut oleh beberapa warga yang mendukung proyek itu.
Bank Dunia diwakili Muchsin Abdul Qodir, energy specialist; Lestari Boediono, senior external affair officer serta Anye dan Satoshi, tim sosial. Mereka difasilitasi oleh PT Geo Dipa Energy sebagai pelaksana proyek dan Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat.
Servasius, salah satu warga pendukung proyek itu, menyebut sikap uskup sebagai pimpinan tertinggi Gereja Katolik lokal harus menjadi pertimbangan bagi Bank Dunia untuk segera mendanai proyek tersebut.
“Ini rekomendasi Yang Mulia Bapak Uskup, pimpinan tertinggi Gereja lokal Keuskupan Ruteng,” katanya.
Seorang warga lainnya mengklaim bawah uskup sempat tergiring untuk menolak proyek itu karena melihat berita di media sosial.
“Setelah dia turun ke lapangan, maka dia turut serta merekomendasikan geothermal ini,” ungkapnya.
Ia juga membela uskup yang menurutnya dianggap oleh sebagian orang telah melupakan umatnya.
“Bagaimanapun, dia bukan pelaksana, dia bukan pekerja, dia bukan punya wewenang untuk jadi tidaknya geothermal ini,” tambahnya.
“Menyebutkan satu ayat di agama lain saja ada pihak kita yang dipenjara, merendahkan uskup …. itu suatu fitnah,” tambahnya lagi.
Suara warga lainnya berulang kali menyebut uskup “memperhatikan umat” dengan melakukan “survei di lapangan” sebelum memberikan rekomendasi, “berubah sikap” dari menolak menjadi memberi dukungan.
Selain warga juga secara berulang menyebut media dan lembaga advokasi sebagai kelompok yang menghambat proyek tersebut.
Warga menyebut mereka dengan istilah melakukan ‘komporisasi’, istilah yang juga dipakai Camat Sano Nggoang Alfons Arfon dalam pertemuan tersebut untuk menunjuk apa yang mereka klaim sebagai hasutan sehingga membuat sebagian besar warga menolak proyek tersebut.
Membawa-bawa nama Uskup Sipri juga dilakukan oleh Yando Zakaria, utusan dari Kantor Staf Presiden saat kegiatan sosialisasi lanjutan proyek itu pada 15 November 2022.
Dia mengaku bahwa sejak awal ia ditugaskan oleh KSP untuk bertemu dengan berbagai pihak, termasuk Uskup Sipri.
“Saya datang sebagai utusan Kantor Staf Presiden yang ditugaskan untuk menyelesaikan persoalan penolakan proyek Wae Sano ini, yang disampaikan oleh Yang Mulia Uskup Ruteng,” ujarnya.
Yando juga sempat membawa-bawa Keuskupan Ruteng di dalam sebuah silang pendapat di media sosial.
Mengomentari sebuah video yang diunggah Farid Gaban, jurnalis senior sekaligus tim ekspedisi Indonesia Baru yang menarasikan bagaimana Yando ditolak warga Wae Sano pada acara 15 November, ia menulis bahwa pro kontra atas proyek itu sebagai hal biasa dan pihaknya terus melakukan berbagai upaya.
“Beberapa pihak yang semula menolak, termasuk Keuskupan Ruteng, sudah berubah sikap karena bisa menerima penjelasan dari proyek [ini],” tulis Yando.
Sikap uskup yang disinggung itu merujuk pada sebuah surat yang dikirim oleh Uskup Sipri kepada Presiden Joko Widodo pada 29 Mei 2021.
Itu merupakan surat kedua untuk presiden setelah surat sebelumnya pada 9 Juni 2020, di mana Uskup Sipri mengingatkan bahaya dari proyek itu.
Surat kedua itu dikirim setelah pemerintah melakukan pendekatan dengan keuskupan yang berujung pada penandatanganan Nota Kesepahaman [MoU] dengan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi pada 2 Oktober 2020 dan pembentukan sebuah komite bersama, yang antara lain melakukan rangkaian proses sosialisasi ulang atas proyek itu. Tim itu melibatkan keuskupan, pemerintah dan perusahaan.
Dalam surat itu, Uskup Sipri merekomendasikan agar proyek itu dilanjutkan dan mengklaim keuskupan telah “memahami dan dapat menerima penjelasan-penjelasan dari pihak pemerintah tentang persoalan-persoalan yang menjadi keprihatinan masyarakat Wae Sano.”
Ia menambahkan, pihaknya juga mengapresiasi jaminan pemerintah atas keamanan proyek tersebut, di antaranya terkait eksistensi kampung dan situs adat, pembentukan lembaga pengaduan serta komitmen meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Uskup juga memuji Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat yang ia sebut “terlibat proaktif dan kreatif melalui dialog dengan warga.”
Pada poin akhir surat itu, ia kemudian merekomendasikan agar proyek itu ditindaklanjuti.
Proyek itu, sebutnya, “menyediakan energi listrik terbarukan yang ramah lingkungan demi kemajuan bangsa dan wilayah Manggarai Barat dan yang menjamin keselamatan dan kesejahteraan masyarakat Wae Sano serta melindungi dan mengembangkan integritas ciptaan dan warisan kultural setempat.”
Surat uskup saat itu memicu protes dari kelompok warga yang menolak proyek itu. Mereka mempersoalkan sejumlah klaim uskup itu. Mereka sempat mendatangi keuskupan, menyampaikan keberatan-keberatan mereka.
Sikap Uskup Sipri berbeda dengan lembaga Gereja Katolik lainnya, seperti Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) Ordo Fratrum Minorum dan JPIC SVD tetap menolak karena khawatir akan dampak proyek itu bagi kehidupan warga.
Keuskupan: Uskup Tidak “Setuju Buta”
Floresa.co menghubungi Uskup Sipri pada 15 Desember terkait tanggapannya atas upaya sejumlah pihak membawa-bawa namanya dan bagaimana keuskupan merespons kontroversi yang terus berlanjut atas proyek ini.
Uskup yang baru saja ditunjuk sebagai Ketua Komisi Keadilan, Perdamaian, Migran dan Perantau di Konferensi Waligereja Indonesia ini mengarahkan untuk mewawancarai Romo Martin Chen, Direktur Pusat Pastoral Keuskupan Ruteng.
Romo Martin, kata dia, adalah orang yang dipercayakan ‘untuk meladeni’ berbagai pertanyaan terkait Wae Sano.
Dalam wawancara dengan Floresa.co pada 16 Desember, Romo Martin mempersoalkan upaya membawa-bawa nama uskup itu yang ia sebut sebagai cara instan untuk meloloskan proyek.
“Mereka [pemerintah dan warga pendukung] rupanya cari gampang, lalu jual nama Bapa Uskup,” katanya.
Ia menjelaskan bahwa kehadiran Uskup Sipri dalam dinamika proyek tersebut adalah “untuk mencari solusi atas polemik yang terjadi terutama karena warga menyatakan penolakan mengingat proyek tersebut mengancam ruang hidup mereka.”
“Sebetulnya sejak awal, Bapa Uskup justeru menyuarakan suara umat yang berkeberatan karena mereka menganggap bahwa pembangunan itu akan merusak, membahayakan kehidupan, termasuk merusak ruang hidup. Itu yang Bapa Uskup sampaikan sejak awal kepada pemerintah,” lanjut Romo Martin.
Ia juga menyinggung terkait Nota Kesepahaman [MoU] antara Keuskupan dengan pemerintah terkait proyek itu, yang menurut dia tuntutannya adalah agar proyek itu “mesti aman, tidak membahayakan keselamatan warga, menjamin ruang hidup, lahan pertanian, ruang kultural, rumah adat termasuk ruang hidup, seperti sumber mata air.
“Kita juga menuntut … proyek itu harus punya dampak kesejahteraan bagi masyarakat setempat,” katanya.
“Tidak bisa bilang untungkan masyarakat banyak, tapi yang lokal tidak dapat apa-apa,” katanya, sambil menambahkan pihaknya menekankan agar “prosesnya harus dialogal.”
Ia menegaskan, konteks kehadiran Uskup Sipri dalam proyek tersebut adalah memastikan poin-poin tersebut dipenuhi oleh pemerintah dan perusahaan hingga keuskupan “tidak punya alasan lagi untuk berkeberatan.”
“Mungkin konteksnya dimengerti seperti itu,” ujar imam yang juga adik kandung wakil Bupati Manggarai Barat, Yulius Weng tersebut.
“Tidak bisa bilang Bapa Uskup setuju dalam keadaan kosong, [tapi] setuju dengan syarat [bahwa] semua keberatan masyarakat yang terkait beberapa poin itu harus dijamin pemerintah tidak terjadi,” katanya.
Ia mengatakan, “kita tidak boleh merusak Bapa Uskup, seolah Bapa Uskup ini istilahnya setuju buta saja.”
Ia menegaskan, untuk memahami polemik kehadiran Uskup Sipri dalam proyek tersebut, titik tolaknya bukan setuju tidak setuju, tetapi memastikan keberatan yang disampaikan warga dijamin oleh pemerintah.
“Tidak benar bahwa Bapa Uskup setuju bodoh-bodoh, tapi ini semua jaminan itu atas keberatan masyarakat,” katanya.
Proyek yang Terus Ditentang
Acara pada 13 Desember itu adalah acara kedua yang dihadiri Bank Dunia setelah acara pertama pada 9 Mei.
Dalam acara itu, panitia membuat beberapa kali sesi pertemuan. Sesi pertama pada 09,45 dengan warga yang menolak, sesi kedua pada pukul 14.00 dengan warga yang pro.
Sebagaimana disaksikan Floresa.co, warga penolak menegaskan kembali sikap mereka, baik dalam ruang pertemuan maupun dalam aksi mulai dari Rumah Adat hingga Kantor Desa Wae Sano.
Mereka membawa spanduk-spanduk bertuliskan “No Consent, No Project. World Bank Please Respect Your Own Principle”; “Tambang Panas Bumi, Rendah Karbon Tinggi Korban” dan beberapa lainnya.
Yosef Erwin Rahmat, salah satu warga mengatakan, “sikap warga tegas menolak, apapun dalil, apapun argumen, apapun caranya.”
“Dengan tegas, warga yang menolak proyek geothermal Wae Sano tetap tidak berubah sikap,” katanya.
Dalam pertemuan itu, Floresac.co juga menyaksikan upaya mobilisasi warga-warga dari kampung lain di luar lokasi yang direncanakan menjadi titik-titik pengeboran, yaitu dari Taal, Wakar, dan Ponceng Kalo.
Mereka datang dengan tiga mobil truk kayu. Kehadiran mereka membuat ruang pertemuan menjadi penuh.
Selain utusan Bank Dunia, hadir pula dalam pertemuan tersebut utusan PT Geodipa Energi yakni Johnedy Sinurat; Yando Zakaria dari KSP dan Tim Komite Bersama atas nama Sil Harsidi, Itho Umar dan Geri Minus.
Kepala Desa Wae Sano, Mikael Pedo serta Camat Sano Nggoang, Alfons Arfon juga ikut.
Tidak ada perwakilan dari lembaga Gereja Katolik dalam pertemuan itu, seperti dalam pertemuan pada 15 November yang diwakili Pastor Rekan Paroki Nunang, Romo Earlich Herbert.
“Proyek geothermal Wae Sano adalah salah satu dari proyek geothermal yang didorong pemerintah di banyak tempat di Pulau Flores menyusul penetapan pulau itu pada 2017 sebagai Pulau Geothermal.
Proyek itu lm merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dikenal dengan nama Proyek Pengeboran Pemerintah atau Goverment Drilling.
Di tempat lain, seperti di Poco Leok, Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai pemerintah juga sedang mendorong proyek serupa, perluasan dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu. Proyek yang ditargetkan akan menghasilkan 40 MW tenaga listrik itu juga ditentang warga.
Seperti halnya di Wae Sano, penolakan warga karena titik-titik pengeboran yang sangat dekat dengan pemukiman dan lahan pertanian mereka.