Dari Relokasi Warga hingga Kenaikan Drastis Tarif Masuk; Kontroversi-kontroversi Gubernur Laiskodat di TN Komodo

Ditulis oleh: Tim Redaksi Floresa

Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat. (Foto: Victorynews.id)

Floresa.co – Sejak memimpin Provinsi Nusa Tenggara Timur empat tahun lalu, Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat memunculkan sejumlah wacana kebijakan di Taman Nasional [TN] Komodo yang menuai kontroversi.

Kenaikan drastis tarif masuk ke taman nasional itu yang rencananya akan berlaku pada awal tahun depan kendati sudah dinyatakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] bertentangan dengan undang-undang dan terus ditentang warga dan pelaku wisata, hanyalah salah satu di antaranya.

Floresa.co mencatat kontroversi-kontroversi lain sebelumnya dalam kebijakan Laiskodat, termasuk soal idenya untuk menjadikan Pulau Komodo hanya sebagai tempat hidup Komodo.

Baginya, di pulau itu “tidak ada yang namanya perlindungan manusia.” “Yang ada hanya perlindungan hewan,” demikian salah satu pernyataannya.

Relokasi Warga dan Penutupan TN Komodo

Pada 2018, tidak lama setelah dilantik, Gubernur Laiskodat menyatakan bahwa seharusnya Pulau Komodo hanya diperuntukan untuk satwa Komodo dan hanya binatang purba itu yang dilindungi di sana.

“Kalau kita sudah sepakat bahwa komodo itu binatang langka dan dilindungi, itu berarti [di] Taman Nasional Komodo itu tidak ada yang namanya perlindungan manusia. Yang ada hanya perlindungan hewan,” katanya pada 5 Desember 2018.

“Jadi, manusianya boleh mati, tapi komodonya tidak boleh mati,” sambung Laiskodat saat memberi sambutan dalam rapat kerja triwulan III Polda NTT di Hotel Aston, Kupang.

“Kecuali tempat itu disebut perlindungan manusia, itu berarti manusia tidak boleh mati. Tapi di situ disebut tempat perlindungan komodo, sehingga komodo tidak boleh mati,” kata Laiskodat lagi.

Beberapa bulan setelah itu, Laiskodat kemudian memunculkan wacana relokasi warga Kampung Komodo.

Ia berargumen bahwa keberadaan manusia dalam kawasan TN Komodo mengganggu habitat satwa itu. Tempat hidup manusia yang berkembang, demikian Laiskodat, menjadi penghambat bagi perkembangan habitat Komodo.

“Kami mau agar tidak ada manusia yang tinggal di Pulau Komodo. Mereka yang sekarang tinggal di sana akan kami pindahkan ke Pulau Rinca atau Pulau Padar,” katanya pada 22 Mei 2019.

Ia juga menyampaikan rencana penutupan Pulau Komodo selama setahun,yang direncanakan dimulai tahun 2020. Tujuannya, untuk menata kawasan itu.

Penolakan keras dari masyarakat serta pegiat lingkungan dan hak asasi manusia membuat rencana itu batal.

Rapat koordinasi yang melibatkan berbagai kementrian di bawah komando Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Pemerintah Provinsi  NTT pada tanggal 30 September 2019 memutuskan bahwa Pulau Komodo tidak jadi ditutup dan rencana relokasi warga dibatalkan.

Warga Pulau Komodo masih terus mengenang pernyataan-pernyataan Laiskodat kala itu.

Iskandar, pedagang suvenir berumur 54 tahun di Loh Liang, akses masuk bagi wisatawan dan tempat penjualan suvenir dan kuliner di Pulau Komodo menyebut pernyataan Laiskodat itu “sangat menyakitkan” dan “sangat melukai” masyarakat Komodo.

“Jika warga seperti yang dituduhkan gubernur, mengapa kami tidak tangkap saja bayi komodo untuk diselundupkan?,” katanya kepada Tim Floresa.co saat melakukan liputan di Pulau Komodo pada September lalu,  kolaborasi dengan Project Multatuli.

“Faktanya, kan, tidak! Komodo itu kami punya saudara, jadi harus dilindungi,” katanya.

​​Kampung Komodo dihuni oleh 2.000 jiwa. Orang Komodo, dikenal “Ata Modo”, sudah mendiami pulau ini sejak ratusan tahun, jauh sebelum penetapan pulau itu sebagai kawasan lindung oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1915 dan sebagai taman nasional oleh pemerintah Indonesia pada 1980.

Selama ratusan tahun itu, Ata Modo dan satwa Komodo hidup berdampingan. Mereka memiliki kepercayaan turun-temurun bahwa satwa Komodo adalah saudara kembar mereka yang lahir dari rahim ibu yang sama. Dalam bahasa Komodo (Wana Modo), satwa Komodo dikenal dengan nama Sebae, artinya sebelah atau kembar.

Tarif Masuk 1.000 dolar Amerika Serikat

Selain wacana relokasi warga dan penutupan TN Komodo, pada 2019, Laiskodat juga berencana menaikkan tarif masuk TN Komodo menjadi 1.000 dolar Amerika Serikat, atau setara 14 juta rupiah sesuai nilai tukar saat itu.

Ia menyatakan, tarif tersebut berlaku dalam sistem keanggotaan atau membership dengan kartu khusus.

“Saya minta untuk masuk Pulau Komodo harus menjadi member only. Itu kita tawarkan 1.000 dollar Amerika Serikat per tahun untuk bayarnya,” ujarnya.

Tarif tersebut, demikian Laiskodat, bertujuan untuk membatasi jumlah pengunjung dan menaikkan pendapatan per tahun dari TN Komodo menjadi 50 juta dolar. Jika dirupiahkan menjadi sekitar 780 miliar.

“Kalau 50.000 kartu, berarti 50 juta dollar Amerika Serikat. Dibandingkan dengan Rp. 33 miliar pemasukan per tahun yang didapat dari Taman Nasional Komodo selama ini, jelas lompatannya yang sangat luar biasa, dan itu pemasukan per tahun,” tambah Viktor.

Wacana itu memang kemudian hilang, setelah direspons dengan kritikan dari pelaku wisata.

Harga tiket yang melambung itu pun sempat ramai diberitakan media-media internasional.

PT Flobamor dan Kebijakan Kenaikan Tarif Masuk TN Komodo

Rencana Laiskodat untuk menaikkan tarif masuk ke TN Komodo itu kemudian muncul dalam kebijakan yang hendak diterapkan oleh PT Flobamor.

Bada usaha milik Pemerintah Provinsi NTT mendapat karpet merah untuk menjadi pelaku bisnis di TN Komodo, dengan kewenangan yang besar.

Gubernur Laiskodat menerbitkan Peraturan Gubernur [Pergub] Nomor 85 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Konservasi di Taman Nasional [TN] pada Juli 2022 sebagai payung hukum bagi penerapan kebijakan oleh PT Flobamor.

Perusahan itu menetapkan tarif masuk sebesar 3,75 juta rupiah atau 15 juta untuk sistem membership per empat orang. Kebijakan itu berlaku untuk kawasan seluas 712,12 hektar yang dikuasainya di TN Komodo.

Saat mengumumkan kebijakan itu pada 29 Juni 2022, Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Zeth Sony Libing beralasan, kebijakan kenaikan tarif masuk ini demi membatasi kunjungan ke TN Komodo. Kebijakan itu juga berdasarkan hasil studi tim ahli dari Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, Universitas Udayana Bali dan Universitas Nusa Cendana Kupang untuk meningkatkan upaya konservasi dalam kawasan TN Komodo.

Kebijakan tersebut, semula akan diberlakukan pada 1 Agustus 2022. Namun, gelombang demonstrasi dari pelaku wisata dan warga sipil membuatnya ditunda.

Pada tanggal 18 Juli, ribuan pelaku pariwisata, pegiat konservasi, masyarakat Komodo, serta berbagai elemen masyarakat sipil melakukan aksi massa di berbagai instansi Pemerintah di Labuan Bajo.

Aksi lainnya terjadi di Hotel Local Collection Labuan Bajo pada 29 Juli, di mana massa menuntut pembatalan launching kenaikan tarif dan aplikasi INISA di bawah pengelolaan PT Flobamor.

Pada 1 Agustus, hari pertama kebijakan tersebut hendak diberlakukan, asosiasi pelaku wisata Labuan Bajo mengadakan aksi mogok massal. Aksi itu direspon dengan tindakan represif oleh aparat yang sebelumnya diterjunkan besar-besaran ke Labuan Bajo, termasuk dari Polda NTT. Kota kecil itu pun diamankan oleh 1.000 aparat.

Puluhan pelaku wisata kemudian ditangkap, enam luka-luka dan satu orang ditetapkan sebagai tersangka. Mereka baru dibebaskan dari tahanan setelah menandatangani pernyataan untuk menghentikan aksi mogok.

Laiskodat memang mencabut Pergub-nya, menyusul munculnya surat dari Menteri LHK, Siti Nurbaya Bakar yang menyebut sejumlah isi peraturan tersebut melawan berbagai undang-undang.

Namun, menurut Kepala Dinas Pariwisata Provinsi NTT, Zeth Sony Libing yang mengumumkan pencabutan Pergub tersebut, tidak berarti sejumlah rencana mereka di TN Komodo akan berhenti, termasuk soal kenaikan tarif masuk.

Ia mengatakan, kebijakan baru ini akan berlaku pada 1 Januari 2023.

Zeth mengklaim pencabutan Pergub itu tidak berpengaruh terhadap komitmen Pemprov NTT dan Pemerintah Pusat dalam hal penguatan fungsi TN Komodo, yang sudah diikat dalam tiga dokumen yang telah ditandatangani.

Tiga dokumen yang diteken sebelum terbitnya Pergub itu adalah Nota Kesepahaman (MoU) antara Direktorat Jenderal KSDAE dan Pemprov NTT; Perjanjian Kerja Sama (PKS) Balai TNK dengan PT Flobamor; dan izin usaha pengelolaan jasa wisata alam (IUPJWA) untuk PT Flobamor.

Pelaku Wisata Dalam Ketidakpastian

Pernyataan Pemprov NTT menimbulkan pertanyaan bagi pelaku wisata dan kelompok sipil, mengingat isi surat Menteri LHK yang menyebut dengan terang bahwa sejumlah kebijakan Pemprov NTT bertentangan dengan undang-undang.

Budi Widjaja, Ketua Gabungan Pengusaha Wisata Bahari dan Tirta [GAHAWISRI] DPC Labuan Bajo menyatakan bingung karena seolah-olah pemerintah provinsi menganggap bahwa kebijakan mereka sudah tepat, hanya dengan bersandar pada PKS dan MoU itu.

“Masa PKS dan MOU bisa mengalahkan undang-undang? Apakah provinsi lebih tinggi dari negara?” katanya kepada Floresa.co baru-baru ini.

Ia mengatakan, seharusnya ketika Pergub itu batal, maka rencana kebijakan pemerintah provinsi sudah kehilangan dasar hukum, termasuk soal kenaikan tarif masuk.

“Jadi, apabila dipaksakan segala bentuk pungutan dan tidak memiliki dasar hukum, disebut pungutan liar. Hal ini juga bisa menjadi bentuk pelanggaran hukum,” jelasnya.

Venansius Haryanto, peneliti Sunspirit for Justice and Peace, lembaga riset dan advokasi di Labuan Bajo juga menegaskan, dengan dicabutnya Pergub maka Pemprov NTT seharusnya “sudah tidak punya dasar lagi untuk terus menjalankan kegiatannya di TN Komodo.”

Sementara kontroversi terkait kebijakan ini belum berakhir, selama ini, PT Flobamor sudah melakukan berbagai aktivitas di lapangan.

Dalam sebuah kegiatan pelatihan pada 29 September untuk naturalist guide atau ranger di Pulau Padar bagian utara, mereka menggandeng pelatih dari Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC). TWNC adalah kawasan yang dikelola perusahaan yang berafiliasi dengan grup bisnis milik pengusaha Tomy Winata, sosok yang dikenal memiliki kedekatan personal dan bisnis dengan Gubernur Laiskodat.

Publikasi Lainnya