Kacaunya tata kelola TN Komodo: penuh kepentingan bisnis, minim aksi konservasi, dan menyisihkan warga setempat

Baru-baru ini, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengumumkan perubahan pengelolaan pariwisata di Taman Nasional (TN) Komodo, Nusa Tenggara Timur. Menurut Jokowi, Pulau Rinca akan difokuskan untuk destinasi wisata dengan target wisatawan 1-1,5 juta orang per tahun. Sedangkan Pulau Padar dan Komodo diarahkan untuk konservasi dengan pariwisata eksklusif bertarif khusus.

Dengan skema ini, tarif masuk wisata ke Pulau Komodo dan Padar naik dari Rp 150 ribu menjadi Rp 3,75 juta per orang. Selain itu pengelolaan tiket masuk ke kawasan eksklusif itu tidak lagi dikelola Balai Taman Nasional Komodo (BTNK), melainkan oleh PT Flobamor, perusahaan daerah Provinsi NTT dan mitra bisnisnya.

Sebelumnya pemerintah juga sudah mengeluarkan izin konsesi kepada berbagai perusahaan untuk membuka resort dan bisnis wisata lain di Pulau Komodo, Padar, Rinca, dan Tatawa dengan total luas mencapai 452,37 hektar.

Pengumuman presiden memperjelas sebuah skema baru pengelolaan TN Komodo: Pulau Rinca dan wilayah laut sekitarnya dijadikan kawasan pariwisata massal, Pulau Komodo dan Padar dan wilayah laut sekitarnya menjadi pariwisata eksklusif yang dikelola korporasi.

Penelitian kami sebelumnya mengungkapkan bahwa pengembangan bisnis pariwisata di kawasan konservasi berpotensi membahayakan aspek pelestarian komodo serta bentang alam di pendukungnya – fungsi yang semestinya menonjol di kawasan taman nasional.

Studi itu juga menggarisbawahi risiko hilangnya mata pencaharian masyarakat setempat dari sektor pariwisata berbasis komunitas setelah di masa lalu tanah pertanian mereka diambil untuk pembentukan taman nasional dan wilayah penangkapan ikan dibatasi dengan alasan perlindungan terumbu karang.

Alih-alih melakukan perbaikan, skema pengelolaan terbaru seperti yang diumumkan Presiden Jokowi justru berisiko menambah masalah itu.

Empat kekacauan pengelolaan TN Komodo

Ada setidaknya empat persoalan pokok terkait skema yang didengungkan Jokowi.

Pertama, “pemisahan fungsi” Pulau Rinca dengan Pulau Padar dan Pulau Komodo merusak keutuhan TN Komodo sebagai satu kesatuan bentang alam. Padahal, keutuhan kawasan tersebut penting sebagai “rumah perlindungan yang aman bagi Komodo dari ancaman kepunahan akibat perubahan iklim.”

Kedua, terjadi perubahan drastis dari pariwisata (dan konservasi) berbasis masyarakat (community-based) menjadi pariwisata berbasis perusahaan (corporate-based). Laporan masyarakat sipil dan media sudah mengungkapkan adanya relasi pemilik perusahan dan elit politik rezim yang berkuasa dalam model pariwisata saat ini.

Transisi ini menghasilkan konflik karena warga di dalam dan sekitar kawasan tidak dilibatkan. Berbagai aksi demonstrasi yang terjadi di Labuan Bajo selama ini merupakan wujud perlawanan masyarakat atas proses itu.

Ketiga, dalam skema yang disampaikan Jokowi, Pemerintah tampak tidak memiliki visi, program, dan rencana induk untuk konservasi. Semakin banyak aktor bisnis diberi akses untuk mengeruk cuan di Taman Nasional. Namun, kapasitas dan kewenangan BTNK tidak diperkuat. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang memiliki mandat menjaga lingkungan hidup dan kehutanan seperti lebih berfungsi sebagai instansi pemberi konsesi dan memfasilitasi investasi.

Keempat, kendati gencar membangun infrastruktur fisik di Labuan Bajo dan sekitarnya, pemerintah tidak mengembangkan infrastruktur tata kelola yang komprehensif untuk mengkoordinasi berbagai pemangku kepentingan baik untuk pengembangan konservasi maupun pariwisata.

Keempat masalah ini mengarah kepada kekacauan sistem pengelolaan TN Komodo pasca penetapannya sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional berstatus super-premium. Kekacauan tata kelola seperti itu tidak saja berakibat buruk bagi kelangsungan konservasi, tetapi juga merusak reputasi pariwisata kita sebagai destinasi yang berkualitas rendah karena kesemrawutan manajemen, merusak alam, dan mengabaikan hak warga setempat.

Pelajaran dari Kegagalan KCMI

Model pengelolaan berbasis korporasi seperti yang diusung pemerintah saat ini sebenarnya sudah diterapkan di TN Komodo pada tahun 2005. Di bawah tuntunan dan sokongan dana dari Bank Dunia, USAID, dan organisasi lingkungan The Nature Conservancy, terciptalah model pengelolaan yang bernama Komodo Collaborative Management Initiative (KCMI). Gagasan pokoknya: TN Komodo perlu dikelola secara komersial agar memfasilitasi bisnis di satu sisi dan mendapatkan dana untuk konservasi dan pemberdayaan masyarakat di sisi lain, serta untuk melindungi komodo serta bentang alam daratan dan lautannya.

Wewenang pengelolaan dialihkan dari BTNK ke PT Putri Naga Komodo (PT PNK), sebuah perusahaan patungan antara TNC dan perusahaan swasta PT Jaytasya Putrindo Utama. Selain memungut tiket dari wisatawan, PT PNK ini juga mengelola dana bantuan dan pinjaman luar negeri.

Namun, hanya dalam waktu 5 tahun, kemitraan ini bubar. Kendati kontraknya berlangsung 25 tahun, PT PNK menghilang tanpa pertanggungjawaban publik dan hukum. Pada tahun 2011, pengelolaan TN Komodo kembali diambil alih BTNK.

Kegagalan KCMI ini memberi pelajaran penting bagi pengelolaan TN Komodo:

1) KCMI adalah bentuk komersialisasi dan privatisasi pengelolaan TN Komodo. Sebagaimana yang kami tunjukkan dalam buku Kuasa, Pembangunan, dan Pemiskinan Sistemik (2013) model KCMI bersifat komersial dan mengabaikan tanggungjawab negara untuk konservasi.

2) Peran pemerintah (dalam hal ini KLHK dan BTNK) dalam KCMI menjadi sangat kecil. Kepercayaan tanpa mekanisme kontrol kepada PT PNK, TNC dan PT JPU mengabaikan kenyataan bahwa perusahaan-perusahaan itu memiliki tendensi untuk mengedepankan kepentingan bisnis ketimbang melayani kepentingan publik.

3) Analisis peneliti pariwisata pada Leeds Beckett University di Inggris Janet Cochrane menunjukkan, kegagalan itu juga diakibatkan oleh masih kentalnya perilaku koruptif dan rendahnya kesadaran lingkungan hidup di kalangan birokrat yang terlibat dalam pengelolaan taman nasional waktu itu.

Apa yang harus dilakukan Presiden

Di tengah ancaman kepunahan komodo akibat tekanan perubahan iklim, pemerintah semestinya bersungguh-sungguh meningkatkan upaya konservasi di TN Komodo. Hal itu penting mengingat TN Komodo adalah satu-satunya bentang alam yang tersisa bagi satwa purba ini, sehingga integritas dan keasliannya harus dijaga.

Demi tujuan tersebut, Presiden harus membatalkan desain pariwisata massal di Pulau Rinca, serta mengatur jumlah dan lama waktu kunjungan di setiap tempat kunjungan sesuai dengan daya dukung ekologis. Izin konsesi bisnis perusahaan-perusahaan di dalam habitat Komodo juga harus dibatalkan karena tidak sejalan dengan prinsip konservasi.

Presiden dan jajarannya juga perlu belajar dari kegagalan KCMI. Dibutuhkan desain kelembagaan yang kuat, di mana pemerintah memegang kendali dan tidak menyerahkannya kepada entitas bisnis. Sebuah manajemen terpadu dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme diperlukan untuk mengkoordinasi semua pemangku kepentingan dalam upaya konservasi.

Pengembangan konservasi dan pariwisata juga harus menjamin keikutsertaan aktif serta distribusi keadilan bagi warga di dalam dan sekitar kawasan. Harapannya, mata pencaharian mereka tidak dicaplok oleh kepentingan elit bisnis dan politik.

Di sisa-sisa hari kekuasaannya, semoga Presiden Jokowi segera sadar bahwa kepemimpinannya dibutuhkan untuk memperkuat konservasi dan pengembangan pariwisata berbasis komunitas sebagai dasar yang kokoh bagi ekonomi pariwisata berkelanjutan di TN Komodo.

 

Pertama kali terbit di Theconversation pada 3 Agustus 2022

Publikasi Lainnya