Sunspirit-2021. Warga Desa Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menegaskan kembali penolakan atas rencana penambangan panas bumi di ruang hidup mereka.
Dalam konferensi pers secara daring, Kamis (28/10/2021) warga dari Kampung Lempe dan Nunag kembali menegaskan bahwa penolakan warga telah dilakukan sejak tahun 2018.
Yosep Erwin, warga Kampung Nunang menegaskan apa yang selama ini mereka suarakan sejak 2018 merupakan suara warga meskipun ada beberapa lembaga yang mendampingi mereka.
“Suara penolakan berasal dari masyarakat bukan direkayasa. Itu murni suara masyarakat bukan rekayasa dari siapapun,” tegas Yosep saat dihubungi Mongabay Indonesia,Jumat (29/10/2021).
Yosep menyebutkan pemerintah selama ini tidak mendengar penolakan warga dan tetap memakasa menandatangani MoU. Dia mengakui tetap menolak dan selama ini tetap berjuang agar Geothermal jangan dibangun di ruang hidup warga Wae Sano.
“Pemda Manggarai Barat sedang menjebak pemerintah pusat seakan-akan masyarakat sudah menerima pembangunan ini. Pemerintah terkesan masa bodoh dengan suara penolakan warga,” ujarnya.
Yosep tegaskan kembali, sedari awal warga sudah menyuarakan bahwa titik eskplorasi berada di dalam ruang hidup mereka. Ada kampung, rumah, kebun air, dan tugu persembahan atau Compang (Bahasa Manggarai) dimana manusia menjalin relasi vertikal dan horisontal.
“Bila ruang hidup ini rusak maka makna hidup manusia sebagai sebuah komunitas akan hancur,” ucapnya.
Warga Tetap Menolak
Warga Kampung Lempe sekaligus pemilik lahan di lokasi pembangunan, Eduardus Watumedang mengatakan dirinya tidak mengerti mengenai rekomendasi bahwa warga sudah setuju pembangunan geothermal.
Eduardus menegaskan, warga belum didatangi tim dari manapun yang menyampaikan bahwa sudah ada persetujuan warga. Ia mengakui, memang ada yang mendatangi rumahnya dan menanyakan keabsahan nama dan tandatangan penolakan.
Ia pun membenarkan bahwa dirinya memang sejak awal menolak dan menandatangani surat penolakan tersebut. Menurutnya, pembangunan geothermal sangat mengganggu ruang hidup warga, bukan mengganggu kenyamanan pemilik lahan.
Sementara itu, Frans Napang, warga Lempe lainnya menyesalkan adanya rekomendasi Uskup Ruteng dan tidak mengetahui kapan pihak keuskupan datang ke kampung Lempe dan melakukan sosialisasi pembangunan proyek geothermal.
Frans mengaku tetap menolak rencana pembangunan geothermal dan dirinya berceritera tentang kegiatan pembangunan gedung gereja.
Ia sebutkan, saat penggalian tanah, alat berat saat menggali hingga kedalaman hampir 8 meter, ada gas beracun yang keluar dari dalam tanah dan sangat berbau sehingga tanah ditutup kembali dan ditimbun dengan batu.
“Waktu sosialisasi dari pihak perusahaan geothermak dikatakan tidak ada dampak bagi masyarakat dan ramah lingkungan?, Saya bertanya apakah alat berat tidak merusak hutan, kampung kami?,” ucapnya.
Dalam rilis yang diterima Mongabay Indonesia, warga menyampaikan, penegasan penolakan ini dilakukan untuk merespon upaya paksa dari pemerintah dan perusahaan yang tetap melanjutkan proses proyek ini, di tengah derasnya arus penolakan warga.
Yang terbaru, misalnya, pada 28 September 2021 lalu, Komite Bersama dan Pemerintah Daerah Manggarai Barat menandatangani nota kesepahaman pengembangan panas bumi Wae Sano di Jakarta.
Selain penandatanganan MoU, dalam acara tersebut juga turut ditandatangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) Pengadaan Tanah untuk Area Eksplorasi (Pengeboran Eksplorasi) pada Wilayah Terbuka Wae Sano antara PT Geo Dipa Energi (Persero) dengan Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat.
“Upaya paksa dari Pemerintah ini juga tampak dipicu oleh surat rekomendasi dari Keuskupan Ruteng kepada Presiden Jokowi pada tanggal 29 Mei 2021, yang memberi lampu hijau kelanjutan proses proyek panas bumi, secara khusus di Wellpad A Kampung Lempe,” sebut Frans.
Frans menjelaskan, sekitar sebulan setelah itu, Rabu 20 Oktober 2021, anggota Komite Bersama yang mendukung rencana ekstraksi proyek panas bumi Wae Sano, mendatangi warga penolak untuk mengklarifikasi keaslian tanda tangan warga pada surat yang telah dikirim ke Bank Dunia pada 2020 lalu.
Ia katakan, upaya paksa pemerintah dan perusahaan, menimbulkan banyak pertanyaan penting dari warga selaku pemilik ruang hidup Wae Sano, terkait kepentingan apa dan siapa sesungguhnya yang sedang diperjuangkan di balik upaya paksa pembangunan ini.
Lanjutnya, demikian juga dengan Bank Dunia yang meminta anggota Komite Bersama untuk verifikasi (tanda tangan) penolakan warga, seolah menunjukkan jika penolakan warga Wae Sano selama ini tampak sudah direkayasa oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan kelompoknya sendiri.
Ruang Hidup Masyarakat
Terkait dengan berbagai kejadian yang dialami warga pasca didatangi tim dari Komite Bersama maka warga Wae Sano kembali menegaskan beberapa hal.
Pertama, jelas Yosep, warga perlu menegaskan kembali bahwa warga menolak pembangunan geothermal Wae Sano karena titik-titik pengeboran yang berada langsung di ruang hidup masyarakat.
Bahkan, katanya, pihak pemerintah dan perusahaan juga telah secara terbuka menawarkan opsi relokasi menggusur perkampungan warga Nunang.
Kedua, sebutnya, pihaknya juga perlu menegaskan bahwa langkah Pemerintah Manggarai Barat menandatangani MoU dengan pihak Komite Bersama sangat merugikan pihaknya sebagai masyarakat penolak.
“Kami menegaskan bahwa penandatanganan MoU ini adalah sebuah proses yang terjadi di ruang gelap yang berupaya merekayasa suara penolakan kami,” ungkapnya.
Ketiga, lanjut Yosep, secara khusus warga penolak di sekitar wellpad B (Kampung Lempe) menegaskan bahwa warga sama sekali tidak pernah menyetujui dan tidak pernah memberikan mandat ke pihak manapun untuk bertindak atas nama mereka dalam rangka mendukung kelanjutan proyek panas bumi di Wellpad B.
“Karena itu, rekomendasi dari pihak Keuskupan Ruteng sama sekali tidak berdasarkan aspirasi kami,” tegasnya.
Keempat, sebut Yosep, kepada Bank Dunia warga tegaskan, bahwa meski hampir seluruh proses masuknya rencana pengeboran panas bumi Wae Sano ini menggunakan pendekatan “jalur atas”, serba tertutup dan diduga penuh transaksional, penolakan warga (secara lisan dan tertulis) selaku pemilik ruang hidup Wae Sano adalah nyata.
Ia jelaskan, penolakan warga berangkat dari kesadaran bersama warga kampung. Itulah sebabnya, dari awal, warga meminta Bank Dunia untuk turun langsung, sehingga bisa mengetahui secara utuh situasi yang terjadi di lapangan.
“Sekali lagi ditegaskan, warga Wae Sano menolak rencana penambangan panas bumi skala raksasa itu, sekaligus mendesak pemerintah dan perusahaan untuk hentikan seluruh proses, berikut Bank Dunia harus segera hentikan pendanaan kepada PT SMI dan Geo Dipa,” harapnya.
Peneliti dari Sun Spirit for Justice and Peace, Venansius Haryanto menyebutkan, di tengah konsistensi warga terkait penolakan, pemerintah mengambil langkah lain dengan melakukan pengeboran di Kampung Lempe.
Venan sapaannya menjelaskan proyek Geothermal di Wae Sano ada 3 sumur pengeboran yakni di Kampung Lempe, Dasak dan Nunang. Selama ini dibangun persepsi publik bahwa pemerintah akan mengutamakan pengeboran di Welped A di Kampung Lempe.
“Menurut versi pemerintah, di Welped B di Kampung Nunang tidak jadi dikerjakan dan diutamakan dilakukan eksplorasi di Kampung Lempe,” terangnya.