Sunspirit-2021-Organisasi lingkungan, pegiat konservasi, dan pelaku pariwisata di Nusa Tenggara Timur mengapresiasi peringatan UNESCO yang meminta penghentian kegiatan proyek pembangunan sarana pariwisata di Taman Nasional Komodo. Langkah UNESCO itu dinilai dapat menyelamatkan usaha-usaha konservasi di taman yang dianggap sebagai situs warisan dunia.
Venan Haryanto, peneliti di Sunspirit for Justice and Peace di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, mengatakan, peringatan UNESCO itu merupakan teguran penting untuk menyelamatkan Taman Nasional Komodo. Peringatan UNESCO itu, katanya harus ditanggapi secara serius oleh pemerintah Indonesia dengan mengungkapkan informasi yang menyeluruh kepada publik mengenai pembangunan infrastruktur pariwisata di taman itu, baik yang didanai oleh negara melalui APBN maupun oleh pihak swasta.
“Kendati peringatan UNESCO ini datangnya cukup terlambat mengingat pembangunan yang di Pulau Rinca itu sudah berjalan tapi ini menjadi energi yang besar untuk keseluruhan pembangunan lainnya yang sudah direncanakan tapi belum dieksekusi yaitu konsesi tiga perusahaan itu sekitar mau ada 600 hektare di Pulau Rinca, Pulau Padar, Pulau Komodo, lalu pembangunan infrastruktur oleh APBN yang lain yang terus berada dalam pantauan kita,” kata Venan Haryanto dalam diskusi media secara daring bertema Taman Nasional Komodo Dalam Bahaya, Respon Publik Terhadap Peringatan UNESCO Kepada Pemerintah, Kamis (5/8) pekan lalu.
Dia menegaskan pembangunan di dalam kawasan Taman Nasional Komodo itu membahayakan konservasi, ekonomi pariwisata yang berbasis komunitas dan juga ruang penghidupan warga.
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB (UNESCO) mengkhawatirkan pembangunan infrastruktur pariwisata di situs warisan dunia itu berdampak pada nilai universal yang luar biasa (OUV) taman tersebut.
Dalam dokumen WHC/21/44.COM/7B, Komite Warisan Dunia UNESCO mendesak Pemerintah Indonesia menghentikan semua proyek infrastruktur pariwisata di dalam kawasan Taman Nasional Komodo hingga Pemerintah Indonesia mengajukan revisi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang akan ditinjau oleh Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN).
AMDAL Perlu Pelibatan Publik
Grita Anindarini, Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan Hidup dan Keadilan Iklim ICEL ( Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia), mengatakan, sejak awal proyek pembangunan infrastruktur pariwisata di Pulau Rinca dikecualikan dari keharusan mengajukan AMDAL, sehingga minim partisipasi publik.
“Jika sampai UNESCO menyatakan kita butuh AMDAL, berarti UNESCO sudah melihat bahwa pembangunan di Taman Nasional Komodo ini betul-betul memiliki dampak penting terhadap lingkungan. Sehingga perlu betul-betul menyusun dokumen AMDAL dengan pelingkupan yang komprehensif dengan menyajikan berbagai alternatif pendekatan,” jelas Grita dalam diskusi media tersebut.
Grita menambahkan penyusunan dokumen AMDAL baru nantinya perlu melibatkan masyarakat seluas-luasnya, termasuk ahli keanekaragaman hayati, ahli kawasan lindung dan ahli warisan dunia.
“Kami juga melihat selama proses ini belum selesai, selama AMDAL barunya belum tersusun, selama AMDAL barunya belum mendapat persetujuan seharusnya segala pembangunan ini tidak dilanjutkan terlebih dahulu,” imbau Grita Anindarini.
Aleksander Pelung, pelaku pariwisata dari kalangan masyarakat, berharap peringatan UNESCO tersebut dapat menghentikan proyek betonisasi dan pipanisasi di dalam kawasan Taman Nasional Komodo yang tidak sesuai dengan prinsip konservasi.
“Jadi yang menjadi kendala ketika ada bangunan di sana itu, bentangan alamnya itu sudah berubah di mana dari sisi pariwisata yang kita jual adalah alam itu sendiri. Nah ada aturan sebelumnya bahwa di Taman Nasional Komodo itu tidak boleh ada bangunan besar, sangat tidak relevan ketika ada bangunan seperti itu disisi lain itu disebut daerah konservasi,” papar Aleksander.
Yohanis Fransiskus Lema, Anggota Komisi IV DPR RI, menilai peringatan UNESCO itu menjadi pelajaran agar pembangunan pariwisata di Taman Nasional Komodo yang berbasis alam berdasarkan perspektif konservasi.
“Saya kira KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) itu mestinya mengambil posisi sebagai benteng terakhir, pilar penting menjaga konservasi bukan memberi karpet merah kepada investasi yang tujuannya memberi ruang semakin luas kepada korporasi untuk mengakumulasi profit atau kapital yang justru mencederai lingkungan hidup,” tegas Yohanis Fransiskus Lema anggota DPR RI asal Nusa Tenggara Timur itu.
Dalam catatan VOA, pembangunan sarana dan prasarana pendukung pariwisata di pulau Rinca merupakan bagian dari penataan menyeluruh Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Labuan Bajo di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Pembangunan kawasan Pulau Rinca mencakup perbaikan Dermaga Loh Buaya;pembangunan pengaman pantai, jalan akses setinggi dua meter, tempat penginapan, dan pos penelitian; serta pemantauan habitat komodo.
Berita ini sebelumnya dipublikasi pada: voaindonesia.com