Melawan Mafia Tanah di Labuan Bajo-Flores

Sunspritit_2021-Publik berharap agar langkah Polri serta BPN yang telah membentuk Satgas mafia tanah membawa angin segar bagi sengkarut persoalan agraria di Indonesia, termasuk Labuan Bajo-Flores. Pasalnya, maraknya mafia tanah merupakan salah satu faktor pemicu dari ketimpangan struktur agraria di Labuan Bajo yaitu penguasaan tanah oleh pemodal, investor dan pendatang pada satu sisi, kehilangan tanah, peminggiran serta pemiskinan bagi masyarakat lokal pada sisi yang lain.

Seperti apa ekosistem mafia tanah di Labuan Bajo? Bagaimana keterlibatan aktor negara serta swasta? Seperti apa modus operandinya? Apa dampaknya bagi masyarakat lokal serta proses pembangunan secara umum?

Merespon persoalan ini, Zoom in on Flores, Edisi Kamis, 16 Maret 2021 menyelenggarakan sebuah diskusi bertajuk “Mencermati Tipologi Mafia Tanah di Labuan Bajo, Flores”. Diskusi yang diikuti oleh 30an peserta ini, menghadirkan empat orang pemantik diskusi yaitu Iwan Nurdin-Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria, Fransiskus Door-Praktisi Hukum di Labuan Bajo, Venan Haryanto-Peneliti pada Sunspirit for Justice and Peace Labuan Bajo dan Gerasimos Satria-Jurnalis di Labuan Bajo. Forum ini mendiskusikan beberapa point penting terkait ekosistem mafia tanah di Labuan Bajo serta langkah-langkah apa yang dapat dilakukan dalam rangka memutuskan mata rantai mafia tanah di Labuan Bajo.

Ekosistem Mafia Tanah di Labuan Bajo

Kendati lebih banyak dibicarakan sebagai masalah hukum, mafia tanah di Indonesia sebenarnya secara umum dipicu oleh beberapa faktor lain yang lebih struktural. Hubungan antara faktor-faktor ini telah lama membentuk semacam ekosistem mafia tanah di Indonesia.

Pertama-tama, maraknya mafia tanah di Indonesia sangat tidak tidak terlepas dari politik hukum agaria kita yang lebih mendorong pertumbuhan ekonomi yang berbasis investasi dalam skala besar. Pembangunan model kapitalisme ini memicu komodifikasi tanah secara besar-besaran yang menyebabkan beralihnya kepemilikan serta akses atas lahan-lahan warga ke tangan pengusaha-pengusaha besar.

Selain itu, praktik mafia tanah juga dipicu sejumlah faktor struktural lain. Ketidakterbukaan institusi BPN menjadi faktor pemicu praktik mafia tanah di Indonesia. Tidak adanya format keterbukaan yang jelas dari cara kerja insitutusi BPN ini dimanfaatkan oleh para mafia tanah untuk mempermudah segala proses pengurusan dokumen-dokumen tanah. BPN kerap membentengi diri dengan alasan soal privasi atau juga data resmi dan tidak resmi. Kondisi ini kemuduan diperparah oleh rendahnya pengawasan publik dan tumpulnya penegakan hukum.

Baca: Mencermati Status Legal Tanah Kerangan

Sementara itu, dari sisi tipologi kendati muncul dalam banyak bentuk, secara umum, mafia tanah di Indonesia muncul dalam dua bentuk utama. Pertama, usaha sistematis untuk melegalkan, mengurus sertifikat, tumpang tindih sertifikat, balik nama palsu dan sertifikat-sertifikat lain. Yang menjadi korban adalah warga sebagai pemilik lahan, sebab mereka tidak memiliki bukti formil atau juga karena minimnya jaring kekuasaan. Kedua, dengan memanfaatkan kedekatan dengan intitusi-intitusi negara sejumlah mafia tanah juga dapat mengubah tata ruang lahan tertentu untuk membangun kawasan investasi. Persekongkolan ini misalnya berhasil mengkonversi kawasan konservasi atau kawasan hijau menjadi kawasan bisnis dengan cara diputihkan pelanggaran tata ruangnya. Ada juga modus lain seperti proyek-proyek infrastruktur dialihkan ke ruang-ruang rencana pengalihan tanah-tanah masyarakat.

Di Labuan Bajo, kendati telah dimulai sejak lama, praktik mafia tanah makin marak terjadi seiring dengan pembangunan pariwisata yang bebasis investasi dalam beberapa tahun terakhir. Pembukaan sejumlah kawasan strategis baru untuk investasi pariwisata makin mempermudah proses alih milik serta akses atas tanah-tanah warga setempat ke tangan para pemodal. Sebagai contoh, rencana rencana pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di wilayah Golo Mori, disertai dengan pembangunan jalan raya, tentunya mempercepat proses pengalihan tanah-tanah milikk warga sekitar ke tangan para pemodal. Atau juga pembukaan Jalan Raya Trans Utara Flores, menjadikan tanah-tanah yang terletak di sepanjang garis sempadan Pantai utara dari arah Labuan Bajo hingga Boleng menjadi area strategis. Kondisi ini persis menjadi peluang emas bagi para mafia tanah dalam rangka mempercepat proses pengalihan tanah-tanah dari warga setempat ke tangan para pemodal Jakarta.

BACA: Utak-Atik Regulasi demi Investasi di TN Komodo

Di Labuan Bajo, para mafia tanah ini umumnya menipu warga setempat dengan memanfaatkan kelemahan intitusi mulai dari tingkat Desa, BPN hingga Pemda setempat.

Dalam sejumlah kasus tanah di Kota Labuan Bajo, Pemerintah Desa cenderung permisif terhadap upaya mafia tanah untuk memalsukan dokumen-dokumen tanah. Pemerintah Desa sebagai garda terdepan yang mengurus administrasi tanah, antara lain, tidak turun langsung ke lapangan untuk mengecek langsung objek lahan. Persis kelemahan struktural ini dimanfaatkan oleh para mafia tanah untuk memalsukan dokumen alas hak atas suatu tanah.

Selain itu, di Labuan Bajo para aksi para mafia tanah juga dipicu oleh tidak terbukanya cara kerja institusi BPN sebagai lembaga yang penting yang mengurus administrasi pertanahan. Ketidakterbukaan ini menandakan bahwa ada kongkalinkong antara para mafia tanah dengan institusi BPN untuk mempercepat proses pengurusan legal atas dokumen-dokumen tanah yang mau dijual. Dalam beberapa kasus ditemukan bahwa BPN mengurus sertifikat suatu tanah yang saksi-saksi batasnya sama sekali tidak terkait dengan lahan tersebut. Bahkan dalam kasus tertentu, BPN mengurus sertifkat atas tanah dengan mencantumkan nama calo tanah sebagai saksi batas.

Sementara itu, tata administrasi tanah yang ambu radul dari Pemda setempat juga memicu praktik mafia tanah yang melibatkan lahan-lahan milik Pemda. Sengketa tanah Kerangan salah satunya dipicu oleh ketidakseriusan Pemerintah Manggarai Barat dalam menata aset-aset tanah milik Pemda Manggarai Barat.

Langkah ke Depan

Bertolak dari situasi demikian, masalah mafia tanah di Labuan Bajo secara khusus dan di Indoesia secara umum, perlu ditangani secara serius dengan melibatkan banyak pihak.

Pertama, perlu mendorong semacam format keterbukaan yang menjadi landasan kerja institusi BPN. Antara lain BPN mesti mengambil inisiatif untuk mengumumkan syarat-syarat penting terkait proses pengurusan sertifikat lahan.

Kedua, membentuk badan khusus seperti satgas mafia tanah, namun dengan melibatkan  banyak lagi institusi lain selain BPN, seperti kementerian ATR. Artinya BPN harus didorong untuk mengurus tanggung jawabnya lebih jauh lagi.

Ketiga, lebih jauh, kebijakan seperti mengurus data-data pertanahan harus didorong yang sistematis dan terbuka atau apa yang disebut dengan open land data. Open land data ini sangat penting tidak saja agar kita mempunyai data agraria yang lengkap, tetapi juga dapat mendorong  keadilan agraria.

Sunspirit-2021

Publikasi Lainnya