Pandemi Covid-19 dan Tiga Isu Makro Ketahanan Pangan di Kepulauan Flores

Kali ini suasananya tampak sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Para petani tampak memenuhi area persawahan di sekitar Kota Labuan Bajo-Manggarai Barat. Tak ada lagi hamparan petak sawah yang dibiarkan terlantar, tak digarap untuk waktu yang cukup lama. Sawah yang baru saja selesai dipanen, segera dibajak untuk segera memulai musim tanam yang baru.

Krisis pandemi Covid-19, tampaknya menjadi alasan bagi para petani setempat untuk tak mau buang-buang waktu, segera menggarap lahan yang ada. Pasalnya, kendati sektor-sektor lain seperti transportasi, perdagangan, pariwisata mengalami kelumpuhan total  di tengah krisis pandemi Covid-19, kebutuhan akan pangan tetap tak akan tergantikan. Lugasnya, setiap orang harus tetap makan, kendati pandemi  Covid-19 telah menyebabkan macetnya rantai suplai logistik, menurunnya daya beli masyarakat hingga kehilangan pekerjaan sebagai sumber utama penghasilan.

Covid-19 memang lebih dari sekadar sebuah cerita tentang kemunculan virus baru yang pernah menyerang imunitas tubuh manusia di suatu masa. Pandemi ini juga terutama telah dengan terang-benderang membuktikan betapa sentralnya  ketahanan pangan sebagai jaminan utama berlangsungnya sebuah peradaban manusia yang mendiami suatu wilayah, tanpa terkecuali kita yang menghuni Kepulauan Flores. Demikianlah kita bisa menyaksikan hari-hari ini, begitu banyak diskusi virtual yang mengangkat tema strategi antisipasi ketahanan pangan di tengah krisis Covid-19.

Menariknya untuk konteks kita di Flores, diskusi tentang ketahanan pangan, tidak saja urgen dilakukan untuk melayani kebutuhan jangka pendek, soal bagaimana mengantisipasi pemenuhan pangan di tengah krisis Covid-19. Tetapi juga terutama untuk sesuatu yang lebih mendasar dan jangka panjang yaitu bagaimana memutuskan kebijakan-kebijakan pembangunan yang strategis dan tepat dalam rangka memperkuat ketahanan pangan di Flores.

Atas dasar itu, melalui pintu masuk krisis covid-19, diskusi soal ketahanan pangan di Flores mau tidak mau mesti menyinggung tiga isu makro berikut.

Pertama, keragaman pangan masih menjadi salah satu isu pokok ketika menyinggung soal ketahanan pangan di Flores. Di Flores, produksi padi yang begitu tinggi justeru tidak diimbangi dengan produksi jenis-jenis pangan yang lain.

Kedua, kehadiran sektor ekstraktif melalui tambang dan energi kian menjadi jalan terjal bagi agenda ketahanan pangan di Flores ke depan. Sebagaimana yang telah diketahui, Flores dalam dua dekade desentralisasi, telah menjadi episentrum baru proyek-proyek pembangunan sektor ekstraktif melalui pertambangan dan energi.

Ketiga, kendati dinilai sebagi sektor pembangunan yang lebih berkelanjutan, pembangunan pariwisata juga menjadi tantangan berat bagi agenda ketahanan pangan di Flores dalam kurun waktu satu dekade terakhir. Pembangunan pariwisata berpotensi besar menyebabkan alih fugsi lahan pertanian, peternakan dan perikanan di Flores ke depan.

Rendahnya Keberagaman Pangan di Flores

Dari segi ketahanan pangan, keberagaman pangan di suatu wilayah menjadi sangat penting. Bukan saja terkait dengan ketersediaan stok pangan yang cukup, tetapi juga pertama dan terutama untuk memenuhi asupan gizi yang seimbang bagi warga setempat. Singkat kata, keberagaman pangan merupakan salah satu indikator penting untuk menakar derajat kesehatan warga di suatu wilayah.

Di Flores, rendahnya keberagaman pangan terindikasi jelas melalui tingginya produksi padi pada satu sisi serta minimnya produksi pangan yang lain pada sisi yang lain. Lima Kabupaten di Flores Barat misalnya (Manggarai Barat, Manggarai, Manggarai Timur, Ngada, Nagekeo), sejauh ini tercatat sebagai sentra utama produksi padi di Provinsi NTT. Kelima Kabupaten itu, rata-rata menyumbang hingga 45% produksi padi di Provinsi NTT dalam setahun. Secara khusus untuk Kabupaten Manggarai Barat, dengan mengandalkan area persawahan Lembor (Kecamatan Lembor), Terang (Kecamatan Boleng) dan Walang (Kecamatan Komodo), produksi padi dalam setahun tercatat bisa menalangi kebutuhan beras seluruh penduduk di Kabupaten itu dalam kurun  waktu lima tahun ke depan.

Produksi padi yang tinggi ini, sayangnya tidak diiringi dengan tingginya juga produksi pangan yang lain. Di Kabupaten Manggarai Barat misalnya, alokasi lahan untuk padi dan tanaman perdangangan sangat luas, jika dibandingkan dengan tanaman hortikultura. Untuk tanaman padi misalnya, Luas lahan sawah irigasi di Mabar: 11.268 (Bdk. BPS Pertanian Manggarai Barat, 2018) sementara untuk Untuk Perkebunan: Kelapa: 2532 hektar, kopi: 6452 hektar, kakao: 2818 hektar, tembako: 80 hektar. Sementara itu luas lahan untuk sektor pangan hortikultura hanya sebesar 227 hektar dengan rincian untuk bawang merah: 31 hektar; cabai 76 hektar, kubis: 11 hektar, petsai: 93 hektar, tomat: 16 hektar (Bdk. BPS Pertanian Manggarai Barat, 2018). Padahal lahan kering di Kabupaten Manggarai Barat tergolong cukup luas yaitu kurang lebih mencapai 70.000 hektar.

Di tengah kelangkaan ini, sejauh ini kebutuhan akan hortikultura di Kota Labuan Bajo banyak didatangkan dari Provinsi Nusa Tenggara Barat. Setiap hari, Kapal Very penyeberangan Sape-Labuan Bajo, meangangkut berbagai jenis pangan hortikultura. Selain untuk pemenuhan kebutuhan hotel-hotel di Labuan Bajo, produk hortikultura tersebut juga memenuhi kebutuhan masyarakat setempat, dengan jalan mengaksesnya pada pasar-pasar tradisional setempat.

Sementara itu, bagi Rumah Tangga Petani (RTP) tertentu di Flores, ketergantungan yang tinggi pada padi juga telah menyebabkan kelangkaan pangan rumah tangga. Pemicunya adalah komersialisasi beras yang juga cukup tinggi di beberapa sentra produksi padi di Flores. Di Lembor-Kabupaten Manggarai Barat misalnya, komersialisasi padi yang telah berlangsung sekian tahun, menciptakan situasi kelangkaan pangan tersendiri bagi rumah tangga petani. Petani setempat terjebak dalam dua pilihan, antara memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga atau menjual beras untuk mengembalikan biaya produksi. Tak heran hingga sekarang ini, sebagian petani di lumbung pangan NTT itu, tercatat sebagai penerima beras miskin. Sebelumnya dilakukan melalui skema Raskin (Beras Miskin), beberapa tahun belakangan ini penerimaan beras subsidi ini dilakukan melalui skema Program Keluarga Harapan (PKH).

Mengantisipasi situasi ini, sejak tahun 2008, sekelompok petani di Lembor membentuk organisasi petani yang dikenal dengan sebutan Apel (Aliansi Petani Lembor). Anggota organisasi ini juga mengartikan akronom Apel dengan Asosiasi Pangan Lokal. Sebab dalam rangka mengantisipasi krisis pangan rumah tangga petani, orgnisasi ini menghidupkan menghidupkan kembai sorghum, salah satu pangan utama orang Manggarai, sebelum rezim padi. Dengan memanfaatkan lahan tidur milik para petani dan Pemeritah Desa, hingga sekarang ini gerakan ini tetap eksis dengan membudidayakan pangan lokal.[1]

Ancaman Sektor  Ekstraktif

Agenda ketahanan pangan di Flores ke depan makin menapaki  jalan terjal dengan kehadiran industri ekstraktif. Pertambangan dan energi adalah dua sektor utama pembangunan industri ekstraktif yang mengepung bumi Flores dalam kurun waktu dua dekade terakhir. Sebab, kendati terdiri dari gugusan Pulau kecil, Provinsi NTT sangat kaya akan potensi tambang. Di Pulau Flores sendiri, potensi tambang terutama mangan menyebar dari barat hingga ke timur Pulau tersebut.

Kendati hingga sekarang masyarakat Flores tetap konsisten untuk menolak kehadiran tambang di daerah itu, tampaknya upaya itu tidak menghentikan niat korporasi untuk membangun investasi pada sektor ekstraktif di Flores.[1] Buktinya yang tak terbantahkan adalah meski Pemprov NTT telah mengumumkan kebijakan moratorium tambang pada 2018 yang lalu, Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur bersama Pemprov NTT tetap merekomendasikan tambang Batu Gamping di Desa Satar Punda Kabupaten Manggarai Timur. Ke depan agenda penolakan industri ekstraktif di Flores makin berat seiring dengan upaya Pemerintah pusat yang telah dan tengah mengesahkan sejumlah produk regulasi (Revisi UU Minerba dan UU Omnibus Law) yang tak lain bertujuan untuk mempersingkat proses pembebasan lahan untuk proyek infrastruktur  nasional, termasuk energi yang terbarukan.

Selain pertambangan, Flores juga sangat kaya akan potensi sumber daya energi geothermal. Pada tahun 2017, melalui Surat Keputusan Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam, Pulau Flores sendiri telah ditetapkan sebagai Geothermal Island. Dari Barat hingga ke Timur Pulau Flores, terdapat kurang lebih 17 titik sumber energi listrik geothermal. Tiga di antaranya yang sudah mulai beroperasi yaitu Ulumbu di Kabupaten Manggarai, Mataloko di Kabupaten Ngada dan Sokoria di Kabupaten Ende. Sementara terkini yang masih menuai pro-kontra adalah pembangunan geothermal di Desa Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang Kabupaten Manggarai Barat.

Sama seperti di daerah lain, ekspansi pembangunan sektor ekstraktif ini di Flores, tentu memberi tantangan tersendiri di tengah upaya memperkuat ketahanan pangan di Flores.

Pertama, pembangunan sektor ekstraktif berpotensi besar akan menimbulkan alih fungsi lahan pertanian warga setempat. Sebagai contoh, rencana tambang batu gamping dan pabrik semen di daerah Luwuk dan Lengko Lolok Kabupaten Manggarai Timur dilakukan di atas lahan pertanian warga setempat. Demikian halnya di Wae Sano-Kabupaten Manggarai Barat. Rencana proyek geothermal di Wae Sano juga akan menyebabkan alih fugsi lahan pangan warga setempat. Sebagaimana yang telah diketahui, lokasi well pads (sumur pengeboran) di Desa Wae Sano persis terletak di tengah kebun-kebun warga. Atas alasan ini, masyarakat adat Wae Sano tetap konsisten menolak kehadiran rencana pembangunan engeri listrik panas bumi itu dalam dua tahun terakhir.

Kedua, selain menyebabkan alih fungsi lahan pertanian, kerusakan ekologi yang menjadi konsekuensi tak terelakan dari sektor pembangunan ekstraktif akan sangat berdampak buruk bagi ketahanan pangan di Flores. Kendati sebagian dari titik-titik potensial untuk pertambangan dan energi di Flores, tidak terletak di atas lahan-lahan produktif pangan, namun aktivitas pembangunan tersebut akan sangat berdampak buruk bagi wilayah-wilayah sentra pangan di sekitarnya. Menariknya, Pulau Flores yang berukuran kecil memungkinkan letak-letak lokasi pembangunan ekstraktif sangat berdekatan dengan sentra-sentra penghasil pangan.

Sebagai contoh tambang batu gamping di Desa Satar Punda, selain menyebabkan alih fungsi lahan dari warga setempat, juga secara ekologi akan memberi dampak buruk bagi area persawahan sekitarnya (Reo dan Dampek). Situasi ini persis tengah menjadi problem nyata masyarakat yang berada di sekitar sumur pengeboran geothermal Mata Loko-Ngada. Sekarang persawahan penduduk yang terletak di sekitar lokasi geotherma tersebut tidak lagi dapat digunakan karena sebagian besar sumber mata air telah mengalami kekeringan.[2]

Tantangan Sektor Pariwisata

Ancaman ketahanan pangan di Flores juga datang dari sektor pariwisatai. Kendati diklaim sebagai corak pembangunan yang lebih berkelanjutan, pembangunan pariwisata di Flores, terutama dalam kurun waktu satu dekade belakangan ini, adalah tantangan tersendiri bagi agenda ketahanan pangan warga setempat. Letak soalnya adalah, di bawah mega proyek pariwisatsuper-premium, pembangunan pariwisata di Flores, model pengelolaannya bergeser dari yang berbasis komunitas menjadi sangat berbasis industeri yang menyebabkan alih fungsi lahan dalam jumlah yang besar. Lahan-lahan pertanian, pertanian, peternakan, perikanan serta hutan sebagai insentif ekologis bagi ketahanan pangan masyarakat setempat berpotensi besar dialihfungsikan menjadi lahan-lahan bisnis pariwisata.

Mari kita berkaca pada bagaimana tiga mega proyek pembangunan pariwisata super-premium dalam rangka mendukung investasi di Labuan Bajo beriku ini.

Pertama, sebagai bagian dari langkah menjadikan Labuan Bajo sebagai apa yang disebut dengan salah sau dari “10 Bali Baru”, Pemerintahan Jokowi akan mendirikan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di wilayah Tana Mori atas lahan seluas 300 hektar dan di Tana Naga di atas lahan seluas 260 hektar. Kedua lokasi ini terletak di Desa Golo Mori, sebelah selatan Kota Labuan Bajo.[3] Jumlah ini belum terhitung dengan luas lahan kedua Pulau terdekat dalam kawasan Taman Nasional Komodo (Pulau Muang dan Pulau Bero) yang akan dialihfungsikan untuk mendukung KEK Tana Mori. Pengembangan kawasan KEK Tana Mori dan Tana Naga ini, sebagaimana yang telah diumumkan oleh Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, akan mengambil model pengembangan KEK di kawasan Nusa Dua-Bali.

Pembangunan KEK ini tentu menghadirkan ancaman nyata bagi pertanian, peternakan dan perikanan; tiga mata pencaharian sekaligus penopang utama ketahanan pangan masyarakat setempat.[4] Tak hanya di lokasi pembangunan KEK, pembangunan infrastruktur seperti jalan raya dari kota Labuan Bajo menuju kawasan tersebut, pasti akan mengalihfungsikan lahan-lahan untuk pertanian dan peternakan pada kampung-kampung di garis sempadan Pantai Selatan Labuan Bajo, mulai dari Gorontalo, Nanga Nae, Warloka hingga Golo Mori. Untuk daerah-daerah sekitar lokasi pembangunan KEK, pembangunan ini tentu akan mempercepat proses pelepasan tanah-tanah pertanian dan peternakan dari warga setempat. Sebelumnya, lahan-lahan pertanian di Desa seperti Golo Mori, Desa Warloka hingga Desa Gorontalo, juga telah banyak dikuasai oleh para investor.

Kedua, tak jauh dari jantung kota Labuan Bajo, dalam rangka membangun apa yang disebut dengan “kawasan pariwisata Labuan Bajo-Flores”, Pemerintah melalui Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo-Flores (BOP-LBF) mengalih fungsi lahan seluas 400 hektar dari hutan tutupan Bowosie. Alih fungsi lahan kawasan hutan ini tentu saja sangat berbahaya dari sisi ekologis bagi area persawahan Satar Walang. Selain itu, perluasan kawasan perkotaan Labuan Bajo ini akan mempercepat proses pelepasan kawasan-kawasan pertanian yang subur di sekitar kota Labuan Bajo. Selama ini, banyak kawasan-kawasan pertanian di sekitar Kota Labuan Bajo hingga ke wilayah Melo yang sudah jatuh ke tangan investor. Seiring dengan perkembangan pariwisata di Kota Labuan Bajo, lahan-lahan tersebut pasti akan digunakan untuk bisnis properti.

Ketiga, agenda menjadikan Taman Nasional Komodo sebagai area wisata super-premium, selain menghadirkan ancaman nyata bagi habitat alami satwa Komodo dan satwa lainnya baik di darat maupun di laut, agenda ini juga menghadirkan ancaman nyata bagi ketahanan pangan kita pada sektor perikanan. Sebagaimana yang telah diketahui, pemasok utama ikan untuk Kota Labuan Bajo (Manggarai Barat) dan Kota Ruteng (Kabupaten Manggarai) adalah nelayan-nelayan suku Bajau dan Bima yang menghuni kawasan Taman Nasional Komodo dan sekitarnya. Rencana Pemerintah untuk menghadirkan investasi pariwisata dalam Taman Nasional Komodo, dengan jalan makin memperluas zona pemanfaatan untuk pariwisata, tentu saja akan berdampak buruk bagi semakin sempitnya lahan tangkapan ikan dari warga setempat. Penelitian kami telah menemukan bahwa penerapan zona-zona dalam kawasan Taman Nasional Komodo, pada satu sisi makin memperlebar zonasi bagi investasi pariwisata, dan makin mempersempit zona penangkapan ikan dari para nelayan setempat.[5]

Beberapa Rekomendasi

Dengan mempertimbangkan segala sisi soal ketahanan pangan di Flores (luas lahan, insentif ekologi, Flores sebagai Pulau kecil, mata pencaharian penduduk, potensi wilayah) kita mesti sepakat bahwa pembangunan di Flores harus berdiri kokoh di atas tiga sektor yaitu pertanian, peternakan dan perikanan. Mengulang kembali pernyataan Fransiskus Lema, DPR RI Dapil NTT, bahwa pembangunan di NTT mesti mendorong optimalisasi tiga sektor utama pangan yaitu Nelayan, Tani dan Ternak. Tegasnya, pengembangan sektor pertanian, peternakan dan perikanan merupakan paradigma utama pembangunan di Flores.

Dalam rangka mengoptimalkan pembangunan pada ketiga sektor pangan tersebut, saya mengusulkan beberapa hal berikut.

Pertama, dari sisi anggaran, Pemerintah perlu mengalokasikan anggaran yang lebih banyak untuk penguatan ketiga sektor ini. Meski ususan ini terbilang klasik, namun Pemerintah kita memang tampak tidak mengalokasikan anggaran yang banyak untuk optimalisasi sektor-sektor pendukunga ketahanan pangan. Kita bisa berkaca pada Kabupaten Manggarai Barat sebagai contoh. Pada tahun 2020, untuk pembangunan infrastruktur pariwisata saja, Pemerintah Pusat mengalokasikan anggaran sejumlah 1,3 T.[6] Bandingkan dengan anggaran untuk Pertanian yang hanya sejumlah 44 milyard dan perikanan yang berjumlah 1 Milyard. Dari jumlah tersebut belum dipotong belanja birokrasi dan sebagainya.

Kedua, secara teknis Pemerintah dan lembaga-lembaga lain yang bergerak dalam advokasi para petani (LSM, Gereja, institusi pendidikan), perlu secara serius mendampingi kelompok tani, nelayan dan ternak. Di wilayah Merombok dekat kota Labuan Bajo misalnya, sekelompok petani asal Bima-Nusa Tenggara Barat, berbekalkan pengetahuan serta keterampilan mengontrak lahan petani setempat untuk mengembangkan hortikultura. Situasi ini, salah satunya dipicu oleh kurangnya pendampingan terhadap petani setempat, yang membuat mereka dengan sangat mudah melepaskan tanahnya untuk dijual atau dikontrakan.

Ketiga, perlu perbaikan infrastruktur menuju area-area sentra pangan. infrastruktur yang memadai merupakan insentif penting bagi para petani dalam membudidayakan tanaman pangan. Di Kabupaten Manggarai Barat misalnya, salah satu kondisi yang memungkinkan tingginya ketergantungan masyarakat terhadap pasokan produk pangan dari Nusa Tenggara Barat adalah akses transportasi yang memadai. Sementara itu, akses menuju sentra-sentra pangan seperti ke pedalaman Kecamatan Sano Nggoang, ke Kecamatan Kuwus, Macang Pacar, hingga sekarang masih sangat buruk.

Keempat, dari sisi regulasi Pemerintah Daerah (OPD terkait bersama DPRD) perlu memikirkan produk-produk regulasi yang memihak para petani, nelayan dan ternak. Seperti Perda Perlindungan lahan-lahan pertanian atau juga Perda perlindungan lahan-lahan komunal milik masyarakat adat.


Catatan:

[1] https://nttprogresif.com/2020/07/03/pabrik-semen-dan-ikhtiar-mempertahankan-flores-sebagai-ekologi-pulau-kecil/

[2] https://www.youtube.com/watch?v=XF7q_tSXXqo

[3] http://amp.oppo.baca.co.id/33957947.

[4] Mega proyek ini, akan menyebabkan apa yang disebut dalam literatur-literatur studi agraria dengan dispossesion by urbanization atau pelepasan lahan warga setempat yang disebabkan oleh pengembangan kawasan perkotaan. Dalam pembangunan pariwisata, disposession by urbanization bekerja melalui model-model pengembangan kota berbasis investasi hingga ke wilayah-wilayah pedesaan.

[5] https://sunspiritforjusticeandpeace.org/tag/hidup-dan-penghidupan-dalam-kawasan-taman-nasional-komodo/.

[6] https://bisnis.tempo.co/read/1335713/bangun-infrastruktur-labuan-bajo-pemerintah-siapkan-rp-13-t

[1] https://islambergerak.com/2018/04/pembangunan-depolitisasi-demokrasi-dan-resistensi-petani-manggarai-flores-barat/.

Publikasi Lainnya