Mengenal Wisata Super Premium Labuan Bajo dan Ancamannya

Masalah-masalah belakangan ini di Manggarai Barat seperti masalah proyek geothermal, relokasi penduduk komodo, pembangunan geopark, privatisasi pantai dan pulau, dan booking online tidak merupakan kejadian yang terpisah-pisah, tetapi satu-kesatuan yang memiliki hubungan satu sama lain.

Akar persoalannya adalah rencana wisata premium yang berdalih untuk keberlanjutan konservasi. Nyatanya, rencana tersebut bertolak belakang dengan prinsip konservasi itu sendiri, meminggirkan masyarakat lokal, dan membatasi pergerakan dari pelaku wisata dan wisatawan, serta perampasan tanah dan kawasan laut secara masif. Sebaliknya, rencana tersebut lebih menonjolkan geliat ekonomi yang eksklusif dan memprioritaskan pengusaha kelas kakap.

Rencana wisata premium ini diumumkan presiden Jokowi. Semula ia mengumumkan rencana 10 Bali Baru dan mengerucut dengan menetapkan empat di antaranya sebagai destinasi premium, seperti Toba, Borobudur, Mandalika, dan Labuan Bajo. Wisata premium yang dimaksud adalah upaya untuk membatasi jumlah kunjungan wisatawan dan menerapkan harga yang mahal bahkan menerapkan sistem kuota.

Tahun lalu, rencana ini sudah bergeliat. Gubernur NTT, Viktor Laiskodat mengumumkan rencana menaikan entrance fee senilai 1000 US dollar dan pengelolaan pulau Komodo secara eksklusif.  Pada saat bersamaan, ia juga berencana merelokasi masyarakat komodo. Rencana itu tidak bisa direalisasikan. Namun, Kemenko maritim, Luhut Bijar Panjaitan mengusulkan sistem membership.

Sementara itu, tahun 2019, pembentukan BOP LBP dilengkapi dengan kepengurusan.  Lima direkturnya dilantik pada awal tahun 2019. Lembaga ini dibentuk antara lain untuk mempercepat pembangunan dan realisasi dari rencanan kawasan wisata superpremium ini.

Tahun ini, di Labuan Bajo dan kawasan sekitarnya ditandai dengan pembangunan yang masif untuk mewujudkan kawasan super premium ini. Menariknya, kendati sektor pariwisata meredup karena covid-19, pembangunan tetap berlangsung masif. Padahal,  pelaku wisata mengalami krisis yang luar biasa dan tidak mendapat perhatian yang signifikan dari pemerintah.

Dari rencana wisata premium tersebut, ada beberapa rencana yang makin kelihatan jelas antara lain penerapan sistem membership, pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), pembangunan geopark, dan pembangkit listrik tenaga geothermal.  Seperti apa rencana tersebut dan bagaimana dampaknya secara sosial dan ekologis di Labuan Bajo dan kawasan konservasi?

Sistem Membership

Jika belum berkunjung ke Pulau Padar atau Pulau Komodo, barangkali ini saatnya berkunjung ke sana. Sebab, sistem membership akan mengecilkan kemungkinan untuk melihat kedua pulau tersebut.

Sistem ini membuat pulau Komodo dan Pulau padar akan dikelola secara eksklusif. Tidak hanya pulau, wilayah perairan termasuk site dive juga bakalan dikelolah dengan sistem membership yang mengepankan kuota. Konon maksud model pengelolaan tersebut adalah keberlanjutan konservasi. Kawasan ini rencananya dikelola “Seperti Taman Safari di Afrika” dengan “melibatkan perusahaan filantropi dari Amerika”.

Shana Fatina, direktur BOP menjelaskan bahwa rencana pembagian ruang tersebut sedang digodok lintas kementerian. Karena sistem membership tersebut dilakukan dengan adanya rezonasi terlebih dahulu.

Sayangnya, gagasan membership tersebut seolah mengabaikan sejumlah konteks penting dalam wilayah tersebut. Pertama, kawasan konservasi adalah ruang hidup dari komunitas dalam kawasan seperti penduduk komodo, Rinca, Papagarang dan komunitas warga pesisir di sekitarnya yang bermata pencarian nelayan. Belakangan ini menjadi kawasan wisata umum dan mata pencarian dari pelaku wisata. Kedua, keseluruhan wilayah tersebut adalah konservasi. Rinca yang direncanakan untuk wisata massal atau terbuka untuk umum merupakan habitat dari satwa komodo yang sangat penting juga.

Sistem membership yang berorientasi pada penerimaan yang besar—misalnya 1000 US dollar untuk entrance fee—memiliki  ancaman terhadap komunitas, pelaku wisata, dan konservasi itu sendiri. Komunitas nelayan atau masyarakat pesisir yang sudah terpinggirkan dalam beberapa dekade terakhir karena sistem zonasi akan makin terhimpit ruang penghidupannya. Penduduk komodo dan pelaku wisata yang menjual patung, souvenir, dan menawarkan jasa guide dan travel agency akan terancam dan dibatasi.

Dalam kasus penduduk komodo, mereka akan mengalami situasi yang ekstrem yakni relokasi. Tahun lalu, mereka terancam direlokasi. Namun, rencana tersebut batal. Akan tetapi, dalam desain premium, tempat penjualan mereka di pulau Komodo kemungkinan besar akan dipindahkan di pulau Rinca. Rencana tersebut sama dengan manuver lain dari upaya untuk merelokasi penduduk komodo.

Sementara itu, ancaman terhadap konservasi juga nyata. Apabila, hanya Pulau Rinca yang diplotkan untuk wisata masal apalagi adanya pembangunan geopark di sana, dampak terhadap habitat komodo menjadi ancaman nyata. Padahal, sistem membership juga tidak menjamin perlindungan terhadap satwa laut maupun darat.

Di atas semuanya itu, sistem membership ini menjadi wajah lain dari model privatisasi dimana hanya segelintir orang yang diperbolehkan memiliki akses dan manfaat terhadap sumber daya publik atau keindahan alam yang dimiliki oleh masyarakat adat di dalam kawasan sebelumnya dan menjadi kekayaan bersama di bawah pengelolaan negara selama ini. Jika selama ini daratan saja yang menjadi ancaman privatisasi, kini area laut juga terancam dikapling dengan sistem membership. Apalagi, KLHK telah memberikan izin kepada sejumlah perusahaan menguasai setidak-tidaknya 465,17 hektar lahan untuk pembangunan resort dan sarana wisata lainnya. Yaitu PT KWE seluas 274,13 hektar di Pulau Padar dan 151,94 di Pulau Komodo.

Pembangunan Kawasan Ekonomi Khusu (KEK)

Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) menjadi suatu kawasan kota yang eksklusif yang letaknya berada di wilayah selatan kota Labuan Bajo yakni di Tana Mori dan Tana Naga. Luasnya mencapai 560 hektar. Sementara itu, orang per orangan sudah mulai mengincar dan menguasai wilayah ini sebagai daerah yang menjanjikan untuk bisnis pariwisata. Untuk menjangkau wilayah ini, pemerintah akan membangun jalan sepanjang 30-an km dari kota Labuan Bajo. Lebarnya, tak tanggung-tanggung mencapai 20 meter, jauh melebihi lebar jalan lintas-Flores.

Desain “kota ini” akan jauh lebih menarik dari kota Labuan Bajo sendiri. Kota Labuan Bajo sudah tergolong padat, kurang tertata, bahkan tergolong “jorok” karena persoalan sampah. Sebaliknya, Kawasan premium ini akan menjadi lebih tertata dan eksklusif dengan iming-iming menjamu tamu G-20 dan ASEAN Summit tahun 2023. Namun, tanggung jawab pemerintah adalah membangun infrastruktur yang bersumber dari , sementara investasi bergantung kepada.

Untuk pengusaha yang berinvestasi di sana, letaknya di bagian selatan kota Labuan Bajo ini menjadi sangat strategis. Setidaknya karena dua alasan. Pertama, akses ke Taman Nasional Komodo menjadi jauh lebih dekat, apalagi desain pembangunan TNK yang kian eksklusif. Ibaratnya, KEK adalah rumah, sementara Taman Nasional Komodo menjadi halaman rumah yang eksklusif karena pada saat bersamaan pulau Komodo. Apalagi dua pulau dalam kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) yakni Pulau Muang dan Pulau Bero akan dikeluarkan dari kawasan dan diprivatisasi demi pertemuan G-20. Kedua, sumber energi listrik yang digembar-gembor ramah lingkungan karena bersumber dari geothermal tergolong dekat.

Pembangunan ini menambah potret buram pembangunan pariwisata di Labuan Bajo. Pengambialihan lahan dan kawasan pesisir berlangsung secara masif melalui mekanisme pasar yang akan meningkatkan masalah privatisasi. Selain itu, kawasan yang dijadikan rumah untuk pertemuan G-20 justru bertentangan dengan tema-tema pertemuan G-20 yang mengedepankan persoalan lingkungan dan perubahan iklim. Sebaliknya, KEK mengambialih pulau dalam kawasan konservasi. Mirisnya pula, pembangunan bersumber dari APBN tersebut diprioritaskan untuk  melayani investasi ketimbang masyarakat banyak yang turut dalam membayar pajak dan mengorbankan sumber daya alam bersama.

Pembangunan Geopark (betonisasi)

Pembangunan geopark di Pulau Rinca menjadi bagian dari rencana wisata premium. Dengan menelan anggaran sekitar 69,19 milliar, KLHK bekerja sama dengan Kementerian PUPR membangun “geopark” di kawasan tersebut. Rencananya, geopark ini menjadi destinasi yang terbuka untuk umum, sementara pulau Komodo dan Padar dibuat eksklusif. Sementara itu, bangunannya dibuat megah dan menguasai area sekitar 400 meter persegi dimana komodo biasa bermain.

Pembangunan ini menimbulkan kerancuan dalam soal konservasi di kawasan Taman Nasional Komodo. Pasalnya, Pulau Rinca adalah salah satu habitat terpenting dari Komodo dari tiga pulau utama di kawasan Taman Nasional Komodo yakni pulau Komodo dan Pulau Padar.  Mengijinkan pulau Komodo dan Padar dibuat eksklusif, sementara Pulau Rinca dibuatkan massaal dan diperbolehkan “betonisasi” merupakan logika yang cacat dalam konservasi. Padahal, ketiganya sama-sama penting dan mesti dilindungi ekosistemnya dari segala bentuk pembangunan yang masif dan merusak bentang alam yang natural tersebut.

Di sisi lain, keberadaan pembangunan itu merusak potret keindahan wisata alam yang menawarkan pengalaman trekking dan berwisata di alam. Sebab geopark berupaya memudahkan wisatawan yang membuat mereka menyaksikan komodo dari jalan layang. Dengan desain demikian, pengunjung akan kehilangan kesempatan untuk menikmati alam, sebaliknya mereka melihat komodo seperti di kebun binatang. Sementara, peran dari naturalis guide yang dimana menjadi sumber pencarian orang lokal semakin dikebiri.

Apalagi, pembangunan itu tidak luput dari kepentingan investasi. Di kawasan yang sama,  KLHK memberikan ijin investasi kepada PT. Segara Komodo Lestari dimana dibangun restoran, hotel, dan rest area. Ijin tersebut diprotes dan pengaplingannya dibongkar pada tahun 2018 karena dianggap mengancam ekosistem di kawasan tersebut.

Ironisnya, ijin tersebut tidak pernah dicabut, sementara pemerintah pusat tiba-tiba hadir dengan rencana membangun geopark yang melayani wisata masal di kawasan yang sama. Ibarat hanya menggantikan judul, pembangunan geopark tersebut adalah upaya membangun penginapan, restoran, dan rest area. Pertanyaan, apakah rencana PT. SKL sudah terintegrasi ke dalam rencana pemerintah melalui pembangunan geopark? Tidak diketahui pasti. Yang jelas, skema pembangunan di Labuan Bajo selalu melibatkan swasta. Pemerintah bertugas membangun infrastruktur, sementara pihak swasta didorong berinvestasi.

Proyek Geothermal

Kawasan Ekonomi Eksklusif di bagian selatan kota Labuan Bajo menjadi istimewa karena tidak hanya menjadikan TNK sebagai halaman rumah yang premium, tetapi juga memiliki energi listrik dari panas bumi yakni proyek geothermal Wae Sano.  Sebab, proyek listrik tersebut pertama-tama diperuntukkan mendukung investasi pariwisata di kota Labuan Bajo. KEK termasuk lokasi yang terdekat dari sumber listrik tenaga panas bumi yang berjarak sekitar 50-an km dari kota Labuan Bajo tersebut.

Dalam kenyataannya, proyek geothermal tersebut menjadi ancaman baik bagi lingkungan maupun komunitas setempat. Sebab, proyek tersebut akan berlangsung di danau Sano Nggoang yang merupakan kawasan konservasi untuk burung yang berada di hutan Mbeliling dan digadang-gadang menjadi salah satu destinasi pariwisata favorite selama ini.

Tidak hanya itu. Penduduk Wae sano terancam direlokasi dari pemukiman dan lahan pertanian yang mereka miliki turun-temurun. Selama ini, berbagai gerakan penolakan telah mereka lakukan untuk menentang rencana tersebut yang hanya menguntungkan investasi skala besar di kota Labuan Bajo.  Sementara itu, intervensi teknologi tingkat tinggi tersebut belum diketahui dampak jangka panjangnya terhadap lingkungan di sekitar area tersebut mengingat Flores berada di jalur cicin api.

Keberadaan BOP

Melalui Pepres no. 32 tahun 2018, Presiden Jokowi membentuk Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo, Flores. Pada tahun 2019, kelima direkturnya dilantik oleh Menteri Pariwisata, Arief Yahya. Pembentukan BOP ini tidak lain adalah untuk mendukung rencana wisata superpremium di Labuan Bajo dan mendorong percepatan investasi.

Kehadiran lembaga super ini membawa banyak persoalan dalam dua tahun terakhir. Proses pembentukannya tidak melalui proses yang demokratis, sementara kewenangannya sangat politis dengan anggaran yang fantastis. Sementara itu, BOP juga mengambilalih lahan seluas 400 hektar untuk dimanfaatkan demi kepentingan investasi. Apalagi, BOP terlibat aktif dalam mengambil kebijakan yang terkait dengan upaya wisata premium dan pembangunan infrastruktur di kota Labuan Bajo dan kawasan Taman Nasional Komodo.

BOP adalah lembaga bentukan pemerintah pusat yang semakin mengebiri otonomi daerah dan keleluasaan Pemda. Pasalnya, Kabupaten Manggarai Barat selama ini berebutan dan terus berkonflik atas pengelolaan Taman Nasional Komodo yang masih berada di bawah otoritas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Apalagi proses pembentukan BOP tidak diketahui oleh DPRD Mabar dan pejbata di kabupaten Manggarai Barat masih bingung dengan peran yang mau dilakukan BOP di wilayah tersebut. Kehadiran BOP dan BTNK semakin memperkuat pengaruh pemerintah pusat di daerah baik secara wilayah maupun kekuatan politisnya.

Selain itu, keberpihakan kepada investasi dan wisata premium membuat BOP dipertanyakan fungsinya dan tujuan keberadaannya akhir-akhir ini oleh pelaku wisata, travel agency, dan pengusaha kelas menengah.  Sebagai contoh, kasus booking online baru-baru ini. Alih-alih mendukung pelaku wisata, BOP antara lain mengumumkan rencana booking online yang membatasi kunjungan wisatawan demi persiapan wisata premium. Secara teknis, rencana itu belum siap dan tidak disosialisaskan secara luas yang membuat banyak pelaku wisata menemui masalah dan konflik di lapangan.  Apalagi, pelaku wisata yang alami krisis selama masa pandemi justru berhadapan dengan pembatasan yang merugikan mereka dan menghadapi ketidakpastian.

Dalam kasus pengambialihan lahan seluas 400 hektar, BOP juga memicu soal. Tanah tersebut diambilalih dari pemda/pemprov dan dipergunakan untuk kepentingan investasi, sementara sebagian besar masyarakat kini berhadapan dengan kritis tanah dan lahan pertanian. Menariknya, sosialisasi AMDAL atas tanah itu berjalan stagnan dan berbagai pihak masih mempertanyakan lokasi dan pemanfaatannya. DPRD pun tidak dilibatkan dalam sosialisasi yang diselenggarakan pada bulan Desember 2019. Dalam diskusi tersebut, peserta diskusi juga mempersoalkan kerusakan ekologi akibat investasi skala masif di lokasi yang berdekatan dengan area hutan lindung.  Sementara itu, secara kelembagaan BOP menjadi labil dan kontraproduktif. Hanya dalam setahun tiga dari direkturnya telah mengundurkan diri.

Tidak heran, berbagai elemen masyarakat dan unsur pemerintah daerah telah menolak secara terbuka kehadiran lembaga ini. Pada 8 Mei 2018, Formapp menggelar demonstrasi untuk membubarkan lembaga tersebut. Sementara pada 19 Februari, berbagai asosiasi pelaku wisata dan elemen masyarakat menolak keberadaan lembaga tersebut.  Sementara itu, DPRD Mabar telah berulangkali menolak keberadaan BOP LBF ini.

Senjakala New Common

Sejak dibentuk tahun 1980, Taman Nasional Komodo telah menjadi sumber penghidupan banyak orang.  Tidak hanya di dalam kawasan sebagai zona inti dari TNK tetapi juga Labuan Bajo pada khususnya yang menjadi zona penyanggah.  Keindahan alamnya telah menarik banyak wisatawan dan membuka lapangan pekerjaan bagi banyak orang.

Keindahan TNK telah mendunia. Pada tahun 1991, UNESCO memberikan pengakuan atas status Taman Nasional Komodo (TNK) sebagai situs warisan dunia (the world herritage site).  Status ini disandang TNK karena berhasil memenuhi dua kriteria yaitu kriteria ke-7 lanskap alam yang indah dan kriteria ke-10 sebagai habitat alami satwa unik bernama Varanus komodoensis. Status ini diperteguh lagi melalui pengakuan New7Wonders Foundation pada tahun 2012 atas TNK sebagai salah satu dari New Seven Wonders of Nature.

Faktor keindahan itu menjadi daya tarik utama untuk kunjungan wisatawan.  Menariknya, Wisatawan yang berkunjung bervariasi, mulai dari kelas premium hingga menengah ke bawah. Mereka ingin menyaksikan pesona wisata alam (nature based tourism) di Taman Nasional Komodo yang antara lain menyajikan beberapa atraksi seperti trekking, snorkelling, diving, herping, bird watching.

Kunjungan tiap tahunnya meningkat. Dari data KLHK,  pada tahun 2014, jumlah kunjungan mencapai  80.626 orang, sementara pada tahun  2018 sebanyak 159.217 orang.  Dalam empat tahun, kenaikan kunjungan mencapai satu kali lipat. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga meningkat yakni dari pungutan tiket masuk wisatawan ke dalam TNK. Untuk tahun 2014 sebesar Rp5,4 miliar, sementara pada tahun 2018 sudah mencapai Rp 33,16 miliar.

Manfaat bagi masyarakat juga menjadi keistimewaan tersendiri. Sebab kegiatan berwisata yang berbasis alam  di TNK telah membentuk rantai ekonomi (economic linkage) untuk kota Labuan Bajo dan sekitarnya. Ada banyak usaha kecil dan menengah yang tumbuh dan menyerap tenaga kerja yang banyak ketimbang usaha premium.

Data yang dirilis oleh Dinas Kabupaten Manggarai Barat (2018) mencatat bahwa di Labuan Bajo sekarang ini terdapat kurang lebih 80 hotel (15 hotel berbintang, 1 hotel non bintang, 3 hostel, 45 melati, 8 penginapan, 6 Losmen, 1 P. Wisata dan 1 perkemahan). Juga terdapat 59 biro perjalanan, 16 travel agent dan 7 Informasi pariwisata yang menjual paket perjalanan wisata menuju Taman Nasional Komodo. Perjalanan wisata ke Taman Nasional Komodo juga menciptakan lapangan kerja bagi lebih dari 100 orang pemandu wisata. Sementara, dari segi aksesilibitas, wisatawan yang berkunjung ke Labuan Bajo juga memanfaatkan jasa dari kurang lebih 300 taksi bandara. Perjalanan wisata ke Taman Nasional Komodo telah membuka kesempatan kerja bagi lebih dari 300 kapal wisata yang meperkerjakan lebih dari 3000 crew kapal.

Masyarakat dalam kawasan Taman Nasional Komodo juga merasakan dampak ekonomi wisata meksipun dibayar dengan harga yang mahal antara lain karena kehilangan hak atas tanah dan kekayaan alam di sekitarnya secara utuh. Di Kampung Komodo terdapat 144 orang penjual souvenir, 65 orang pengrajin patung, 26 orang naturalist guide dan 13 orang yang membuka jasa homestay. Belum terhitung masyarakat yang membuka usaha warung yang banyak terpusat di Kampung Komodo. Sementara di Kampung Rinca, walaupun belum semaju orang Komodo, satu tahun belakangan mereka telah membentuk Pokdarwis, mengelola beberapa spot wisatawan alam (gua kalong, batu balok, pulau Kalong) dalam spirit pariwisata komunitas berbasis konservasi.

Karena itu, ambisi yang terlampau akrobatik memajukan pariwisata di Labuan Bajo-Flores dengan mengubah TNK sebagai destinasi premium akan sangat berdampak buruk bagi masa depan pariwisata Labuan Bajo sendiri. Distribusi aliran keuntungan pariwisata bagi usaha-usaha kelas menengah ke bawah dari masyarakat lokal akan terhenti. Belum lagi kerusakan ekologis yang dihasilkan dan penyingkiran komunitas-komunitas lokal.

 

Publikasi Lainnya