Rencana wisata premium akan mempertajam ironi pembangunan pariwisata di Kabupaten Manggarai Barat. Pengelolaan kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) akan dikuasai korporasi, penduduk dalam kawasan dan sekitar area geothermal Wae Sano terancam direlokasi, bentang alam konservasi terancam rusak, tanah dan pulau diambialih dan beralih fungsi, dan peluang pelaku wisata akan dibatasi baik oleh regulasi maupun melalui mekanisme bisnis. Karena rencana wisata premium adalah upaya membangun kota eksklusif sembari mengembangkan suatu โmekanisme ekonomiโ baruย yang meminggirkan semakin banyak orang.
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) menjadi suatu kawasan kota yang eksklusif yang letaknya berada di wilayah selatan kota Labuan Bajo yakni di Tana Mori dan Tana Naga. Luasnya mencapai 560 hektar. Sementara itu, orang per orangan sudah mulai mengincar dan menguasai wilayah ini sebagai daerah yang menjanjikan untuk bisnis pariwisata. Untuk menjangkau wilayah ini, pemerintah akan membangun jalan sepanjang 30-an km dari kota Labuan Bajo. Lebarnya, tak tanggung-tanggung mencapai 20 meter, jauh melebihi lebar jalan lintas-Flores. Padahal, saat ini wilayah ini merupakan wilayah terisolasi dengan jalan yang masih relatif buruk.
Desain “kota ini” akan jauh lebih menarik dari kota Labuan Bajo sendiri. Kota Labuan Bajo sudah tergolong padat, kurang tertata, bahkan tergolong “jorok” karena persoalan sampah. Sebaliknya, Kawasan premium ini akan menjadi lebih tertata dan eksklusif dengan iming-iming menjamu tamu G-20 dan ASEAN Summit tahun 2023.
Letaknya di bagian selatan kota Labuan Bajo ini menjadi sangat strategis.ย Setidaknya karena dua alasan. Pertama, sumber energi listrik tergolong dekat. Kedua, akses ke Taman Nasional Komodo menjadi jauh lebih dekat, apalagi desain pembangunan TNK yang kian eksklusif.
Salah satu sumber listrik yang menjanjikan untuk pariwisata Labuan Bajo yang saat ini menjadi kontroversi adalah geothermal Wae Sano. Letaknya yang berada di Kecamatan Sano Nggoang, tepatnya sekitar Danau Vulkanik Sano Nggoang, dekat dengan pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus ini. Rencana proyek listrik geothermal ini akan mengancam ruang hidup warga Wae sano dan memindahkan mereka dari sana.
Sementara itu, akses dari KEK untuk kawasan Taman Nasional Komodo jauh lebih dekat dibandingkan kota Labuan Bajo. Ketiga pulau wisata utama dalam kawasan TNK, seperti Pulau Rinca, Pulau Padar, dan Pulau Komodo berada dalam garis sejajar dengan KEK ini. Dengan speedboat, wisatawan bisa menjangkau pulau Rinca, pulau terdekat hanya dalam beberapa menit saja.
Impian wisata premium tidak hanya didukung oleh keberadaan KEK ini tetapi juga model pengelolaan baru dalam kawasan TNK. Di pulau Rinca, direncanakan dibangun geopark yang mengubah “kondisi alamiah” di pulau ini. Dengan dalih mempercantik pulau tersebut, “betonisasi” yang masifย ini akan berlangsung di pulau ini dengan keberadaan jalan gertak elevated, penginapan petugas ranger, area pemandu wisata, pusat informasi, pos istirahat dan pos jaga, perpipaan, reservoir, dan pengaman pantai, dermaga.
Padahal, rencana ini akan mempertajam persoalan yang sebelumnya. Pasalnya, KLHK telah menerbitkan ijin kepada PT. Segara Komodo Lestari pada tahun 2014 di atas lahan seluas 22,1 hektar. Rencana ini ditolak oleh berbagai pelaku wisata, penduduk setempat, para pegiat konservasi, dan aktivis pada tahun 2018 karena dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip konservasi dengan keberadaan hotel, restoran, dan rest area. Menariknya, hingga sekarang ijin perusahaan tersebut belum dicabut, sementara kementerian PUPR dalam kerja sama dengan KLHK hadir dengan rencana yang relatif sama yakni “betonisasi” habitat dari satwa langka, komodo.
Sementara itu, pemerintah provinsi NTT juga bersikukuh membuat pulau Komodo dan pulau Padar menjadi destinasi eksklusif dan hanya Rinca yang diperuntukkan bagi wisata massal. Rencana wisata eksklusif yang pernah disinggung gubernur NTT, Viktor Laiskodat sebelumnya antara lain menaikan entrance fee sebesar 1000 US dollar dan merelokasi penduduk komodo. Sementara pemerintah pusat melalui KLHK sudah lebih awal memberikan ijin privatisasi di kedua pulau tersebut kepada PT. Komodo Wildlife Ecoturism (KWE) pada tahun 2014 di lahan seluas 151,94 hektar di pulau Padar dan 274,13 hektar di pulau Komodo.
Rencana ini juga sudah ditolak oleh berbagai elemen masyarakat. Kendati PT. KWE belum beroperasi dan masyarakat komodo tidak jadi dipindahkan, anehnya, ijin perusahaan tersebut belum dicabut dan pemprov tetap mengusulkan kawasan wisata eksklusif tersebut. Pertanyaannya, apakah keberadaan warga Komodo yang kini bergantung kepada kunjungan wisatawan (masal) masih tetap dipertahankan di tengah desain pembangunan dan pengelolaan demikian?
Di atas segalanya itu, model pengelolaan ini akan memiliki pengaruh yang berbanding terbalik bagi pelaku wisata. Sebab, model pengelolaan ini akan menguntungkan desain kawasan ekonomi khusus yang mengimpikan wisata premium. Bukan tidak mungkin, pulau Padar dan pulau Komodo menjadi destinasi mahal yang lebih mudah dijangkau dan diprioritaskan bagi wisatawan dari KEK di Tana Mori dan Tana Naga ini. Apalagi, dua pulau yakni pulau Muang dan pulau Bero yang masih menjadi bagian dari TNK dan beradaย di depan kawasan ini hendak diprivatisasi demi bagian dari KEK ini.
Sebaliknya, peluang pelaku wisata semakin dibatasi. Keberadaan sekitar 400-an kapal, guide yang masih bebas menjajakan jasanya, dan travel agency akan terperangkap dan dikerangkeng oleh sistem satu pintu seperti “booking online” yang diinisiasi oleh BOP Labuan Bajo Flores atau inisiatif “carrying capacity” oleh BTNK yang mulai diperkenalkan atas alasan protokol kesehatan covid-19 baru-baru ini. Padahal, dasar dari berbagai keputusan tersebut tidak didiskusikan dengan pelaku wisata secara luas.