OLEH: NEY DINAN
Pada bulan November tahun lalu, saya diajak oleh Jessica, seorang mahasiswi doktoral dari National University, Singapura untuk terlibat dalam sebuah penelitian tentang orang muda dan migrasi. Lokasi penelitian adalah di empat anak kampung di Kecamatan Cibal, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT). Empat kampung itu yang masuk wilayah Dusun Tungku adalah Kampung Wune, Mawe, Cumpe dan Tungku.
Penelitian ini merupakan bagian penting disertasi doktoralnya yang mengangkat topik pertanian dan migrasi. Dimulai sejal Desember, penelitian ini masih berlangsung hingga kini.
Selain berfokus di Dusun Tungku, penelitian ini kemudian dilanjutkan di Labuan Bajo, Makassar dan Bali sebagai area tujuan migrasi.
Jessica memilih Cibal karena dinilai mewakili semua kriteria terkait tema penelitiannya, antara lain petani yang bekerja di lahan kering dan lahan basah, terjadi alih fungsi lahan dari tahun ke tahun dan anak muda yang sebagian besar memilih merantau.
Di sisi lain, menurut Jessica, selama ini sudah banyak sekali penelitian di Indonesia yang dilakukan di Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Sementara penelitian yang dilakukan didaerah terpencil seperti Flores atau NTT pada umumnya masih sedikit.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mengunakan instrumen wawancara dan observasi. Wawancara dilakukan dengan jalan mendatangi informan satu per satu dan diwawancarai berdasarkan pertanyaan-pertanyaan panduan. Observasi yang dilakukan antara lain mulai dari lingkungan sosial, tempat tinggal dan tempat kerja. Selain itu, ada juga diskusi kelompok di beberapa tempat.
Secara ringkas, hasil penelitian ini menemukan bahwa dunia pertanian tidak sanggup lagi menarik perhatian orang muda dan hanya tersisa petani-petani tua yang bertahan menggarap lahan pertanian. Harga produk pertanian yang tidak stabil, lahan yang semakin terbatas, tenggang waktu panen yang lama, merupakan sebagian faktor penyebab menurunnya minat orang muda untuk bertani.
Di sisi lain, mereka dihadapkan pada situasi tawaran pekerjaan lain yang lebih menarik. Migrasi merupakan salah satu solusi ketika dihadapkan dengan banyaknya kesulitan yang mereka hadapi dalam dunia pertanian. Minimnya lapangan kerja di daerah sendiri, upah yang tidak layak, selain itu kemajuan teknologi informasi menjadi satu kebutuhan baru yang diakses kaum muda.
Tulisan ini akan mengurai sejumlah poin itu dengan lebih rinci, yang fokus pada dua pertanyaan pokok: faktor apa yang menyebabkan rendahnya minat orang muda untuk bertani dan mendorong mereka untuk bermigrasi?
Mengapa Minat Bertani Semakin Menurun?
Ada sejumlah faktor yang diklarifikasi dalam dua bagian: faktor eksternal dan faktor internal
Faktor Eksternal
Pertama, berkurangnya lahan pertanian. Jumlah penduduk yang bertambah setiap tahun tidak dibarengi dengan pembukaan daerah pertanian baru. Dengan demikian, sebagian besar warga tidak memiliki lahan yang cukup untuk diolah sebagai area pertanian. Tercatat bahwa pembagian lingko (tanah ulayat) terakhir di Wune terjadi pada tahun 1967. Karena itu, generasi yang lahir sejak tahun 1970-an ke atas dipastikan tidak mendapat tanah secara langsung dari tua golo (kepala kampung).
Bapak Romanus, salah satu tokoh adat di Kampung Cumpe mengatakan lingko terakhir yang dibagi di Cumpe adalah lingko Rame yang sekarang dijadikan kampung baru, yaitu kampung Wune. Pembagian itu terjadi sekitar tahun 1967.
Mengatasi masalah kelangkaan lahan, secara kolektif mereka menggarap tanah hutan negara yang belum dikelola sama sekali, di mana mereka menanam aneka jenis tanaman pangan seperti padi, jagung, dan ubi. Namun, aktivitas itu berhenti sejak adanya program penghijauan pada masa orde baru yaitu proyek penanaman kayu ampupu sekitar tahun 1978-1979. Sejak saat itu mulai ada penertiban akses penduduk ke hutan dan masih berlanjut sampai hari ini.
Bapa Stanis salah satu petani yang tinggal di Kampung Wune mengatakan, “Kami dulu bisa tanam di tanah ‘pal’ tanaman ladang seperti padi, jagung dan ubi-ubian hasilnya bagus sekali. Subur sekali di sana. Sejak proyek tanam ampupu dimulai, kami pelan-pelan tidak berladang di sana. Waktu ampupu masih kecil, tanah sekitar pohon masih bisa digunakan. Tetapi ketika sudah besar tidak bisa ditanami apa-apa lagi.”
Kedua, tradisi pembagian tanah warisan dalam keluarga Manggarai. Dalam kebiasaan orang Manggarai, tanah dalam satu keluarga akan diwariskan ketika semua anak laki-laki sudah menikah dan orang tua tidak memiliki tanggungan lain. Hal ini juga menjadi penyebab mengapa orang muda kurang merasa memiliki atas lahan pertanian yang dimiliki orang tua. Bahkan dua keluarga muda yang kami wawancara mengatakan, lahan pertanian masih dikelola orang tua karena masih ada adik yang sekolah. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka bekerja sebagai buruh harian dan kerja proyek.
Ketiga, adanya peralihan jenis tanaman dari tanaman jangka pendek ke tanaman jangka panjang. Proses ini bahkan terjadi sejak tahun 1974 yaitu pengalihan fungsi lahan yang sebelumnya dijadikan area sawah atau lahan kering tanaman jangka pendek, menjadi arena tanaman komoditi jangka panjang. Dengan demikian, sekitar tahun 1979 petani di empat anak kampung ini sudah mulai menanam kopi dan kemiri. bahkan sebagiannya sudah mulai panen. Sedangkan jenis komoditi jangka panjang lain seperti cengkeh, kakao dan beberapa jenis kayu (jati putih, mahoni, sengon) ramai ditanam sebelum akhir 1990-an sampai sekarang. Secara umum situasi ini bisa ditemukan di sebagian besar wilayah Cibal bagian timur. Ada pun lahan sawah yang masih digarap umumnya berupa sawah tadahan yang hanya dikelola pada saat musim hujan. Pengakuan beberapa petani mengatakan bahwa tanaman jangka panjang tidak menyita banyak waktu untuk bekerja di kebun.
Keempat, menjamurnya proyek pemerintah dan swasta. Dalam sepuluh tahun terakhir, proyek-proyek pembangunan infrastruktur menjamur di desa-desa dan kota di Flores. Hal ini memberi peluang kerja yang baru bagi petani. Dengan demikian, sebagian besar petani dari Dusun Tungku beralih profesi sebagai pekerja proyek yang mencakup proyek jalan, bangunan dan menjadi tenaga buruh kasar. Pada bulan Maret 2018 kurang lebih 20 petani dari kampung Tungku bekerja di Labuan Bajo sebagai pemecah batu.
Aloysius adalah orang pertama dari Tungku yang mulai bekerja sebagai pemecah batu di Labuan Bajo sejak tahun 2009. Ia membawa serta istri dan 4 anaknya sejak tahun 2010. Setiap hari dia bekerja mengumpulkan batu dan menjualnya kepada sopir truk dengan kisaran harga 1 ret sekitar Rp 300.000 sampai Rp 400.000. Dalam seminggu ia bisa menjual 3 ret.
Dari hasil kerjanya. Aloysius bisa membuat rumah besar dua lantai di kampung Tungku. Dari situlah banyak orang dari Tungku termotivasi untuk ikut bekerja sebagai pengumpul batu. Kedua orangtua Aloysius juga turut bekerja dan tinggal di lokasi kumpul batu. Aloysius memiliki lahan di kampung dan ia memilih untuk tidak mengerjakannya. Selain karena hasilnya sangat sedikit, panenan musiman menurut Aloysius akhirnya tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan cepat. Selain berhasil membangun rumah, uang dari hasil kerjanya digunakan membiayai kebutuhan makan minum setiap hari, biaya sekolah anak juga urusan adat dikampung.
“Saya akan tetap kerja di sini sampai saya tidak kuat lagi atau tunggu diusir pemerintah. Dulunya ada retribusi setiap kali ada penjualan batu. Satu kali angkut, Rp 25.000 buat Dinas Pertambangan, tapi sudah tidak berlaku lagi sekarang,” katanya.
Kelima, harga jual produk pertanian yang tidak stabil. Selama ini yang terjadi adalah ketika musim panen harga produk pertanian cenderung menurun. Ketentuan pemerintah tentang harga produk pertanian selalu berbeda dengan kenyataan di pasar. Di satu sisi, ketiadaan asosiasi petani juga menjadi faktor penting. Belajar dari asosiasi buruh (di Jakarta) misalnya, ketika ketimpangan harga terjadi, semua petani memiliki suara yang sama sehingga langsung berdampak pada kebijakan harga.
Keenam, pertanian konvensional membutuhkan biaya yang besar dan membutuhkan energi yang banyak. Pertanian di kampung Tungku, rata-rata masih dikelola secara konvensional, walaupun sudah ada berbagai bentuk bantuan teknologi dari pemerintah.
Sebagian besar wilayah Dusun Tungku memiliki tingkat kemiringan yang cukup tinggi yang menyebabkan bantuan teknologi dari pemerintah tidak digunakan secara maksimal. Sebagai contoh, rata-rata tinggi teras sawah mencapai 5 meter dan lebar berkisar 1 meter hingga 3 meter yang menyebabkan penggunaan teknologi seperti traktor menjadi sulit. Sejauh ini, hanya mesin rontok padi yang bisa digunakan walaupun harus dipikul dengan tenaga manusia saat memindahkannya dari satu kebun ke kebun yang lain, sehingga pertanian masih membutuhkan banyak tenaga manusia dan biaya yang cukup besar. Hal ini berdampak juga banyaknya lahan yang tidak lagi dikerjakan atau lahan tidur.
Ketujuh, sterotipe bertani sebagai pekerjaan kelas bawah. Anggapan petani sebagai golongan kelas bawah diyakini bahkan oleh petani itu sendiri. Beberapa orang yang diwawancarai menjawab ketika ditanya terkat harapan apa yang mereka miliki untuk masa depan dari anak-anaknya, rata-rata menjawab, “Cukup kami yang bekerja sebagai petani. Anak-anak kami setidaknya bisa kerja di dalam ruangan. Jangan di bawah matahari langsung”.
Anggapan ini ditemukan pada sebagian besar responden yang berkeyakinan bahwa menjadi petani adalah opsi terakhir yang mereka miliki. Sterotipe ini juga yang menjadi pemicu sebagaian anak muda yang bersekolah enggan menjadi petani.
Kedelapan, moderninasi, berupa perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi yang kian canggih, ilmu pengetahuan yang berkembang pesat menjadi pembeda pada setiap generasi. Zaman generasi tua (sebelum 1970-an) ketika akses pendidikan, teknologi dan ilmu pengetahuan belum semumpuni seperti sekarang ini, orang masih banyak orang yang mau menjadi petani. Perputaran uang di masyarakat pun masih sangat terbatas, yang berdampak pada sedikitnya orang yang berpendidikan tinggi dan sebagian besar tinggal di kampung, tidak punya pilihan pekerjaan yang lain selain bertani.
Era sekarang, generasi muda diberi akses yang cukup banyak untuk pendidikan, teknologi dan sumber daya lain yang memberi mereka opsi lebih banyak untuk bekerja. Sebagian dari opsi tersebut mereka temukan di kota atau tempat lain yang secara infrastruktur mudah diakses. Contohnya, anak muda atau mereka yang berada pada usia produktif dari empat kampung ini umumnya bermigrasi ke Labuan Bajo, Makassar dan Bali.
Faktor Internal
Pertama, ingin mendapat uang lebih cepat. Sebagian besar petani merasa bahwa mendapatkan uang dari pertanian membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga beralih profesi seperti menjadi pekerja proyek, pengojek atau merantau ke luar pulau menjadi pilihan yang tepat. Beberapa anak muda dari empat anak kampung ini yang kami jumpai di Makassar mengatakan bahwa tuntutan kebutuhan sehari-hari yang makin tinggi tidak bisa dipenuhi dengan hanya memilih tinggal di kampung, sambil menunggu hasil pertanian yang musiman.
Kedua, kuatnya mindset gengsi menjadi petani. Hal yang paling menarik untuk ditelaah lebih jauh adalah kaum muda sarjana yang tinggal di kampung. Dalam wawancara kami dengan beberapa orang dari antara mereka, rata-rata menganggur dan tidak mendapatkan pekerjaan. Walaupun masih ada yang tetap bekerja membantu d ibidang pertanian sambil menanti informasi lamaran kerja mereka diterima disuatu sekolah. Ujaran yang kerap lontarkan adalah, sangatlah tidak elok bagi orang-orang yang berpendidikan tinggi tidak menjadi petani. Dengan dialek Makassar, seorang anak muda sarjana berujar, “Begini tho, masa kita menjadi petani lagi sementara orang tua susah-susah mengirim kita sekolah. Kalau jadi petani tidak usah sekolah tinggi-tinggi”.
Mengapa orang Muda Merantau?
Pilihan orang muda untuk bermigrasi dikondisikan oleh beberapa faktor berikut.
Pertama, melanjutkan pendidikan. Sekolah di kota besar seperti Makassar konon menelan biaya yang lebih murah jika dibandingkandengan kuliah di perguruan tinggi di Flores. Sebagai contoh, biaya kuliah di YASPIM Makasar untuk 1 tahun kuliah hanya menelan biaya SPP dan uang ujian sekitar Rp 2.400.000. YASPIM adalah salah satu kampus yang kami kunjungi di Makassar, di mana 98% mahasiswa-mahasiswinya berasal dari Flores. Sebagian besar mereka kuliah sambil kerja. Patris, salah satu mahasiswa mengatakan “Saya menyadari ekonomi keluarga saya, tidak memungkinkan jika saya kuliah di Flores. Di sini saya bisa biaya sendiri. Kalau di Flores, menjadi mahasiwa ya semuanya harus dibayar orang tua”.
Kedua, pilihan pekerjaan yang lebih banyak di kota. Di Makassar, kami menemukan beragam pekerjaan yang dilakukan oleh anak muda dari keempat anak kampung ini, seperti penjaga toko, kerja di hotel, pelayan di bar dan restoran. Mereka mengatakan, “Jika kami tinggal dikampung, pilihan kerja sangat terbatas. Kalau bukan petani, ya kerja proyek. Yang memiliki ijasah hanya dua pilihan, kalau bukan guru ya tenaga medis. Itu pun jumlahnya sangat kecil.”
Ketiga, upah kerja yang lebih baik. Kerja di kota besar seperti Makassar atau Bali umumnya mendapat upaya lebih tinggi, karena sesuai dengan nilau upah minimum. Ana, salah satu yang punya pengalaman bekerja sebagai pekerja domestik (rumah tangga) di Ruteng sebelumnya digaji gaji hanya sektar Rp 600.000 untuk satu bulan, sambil tinggal dengan pemilik usaha. Di Makassar, dia mendapat gaji Rp 1.500.000 per bulan untuk pekerjaan yang sama. Upah demikian lebih tinggi dari yang didapat dengan menjadi buruh tani di kampung, di mana Upah sehari untu perempuan umumnya, Rp 25.000, setengah dari yang diperoleh laki-laki Rp 50.000. Bekerja di tempat proyek, juga lebih tinggi, dengan kisaran 80.000-100.000 per hari.
Keempat, akses hidup yang lebih mudah. Infrastruktur merupakan salah satu alasan yang membuat anak muda betah tinggal dan kerja di kota. Beberapa anak muda mengatakan salah satu penyebab mengapa banyak desa atau kampung yang ditinggalkan hampir sebagian besar anak muda adalah keterbatasan infrastruktur. Sebagian dari mereka berpendapat, “Kami mau berbisnis di kampung, tetapi sayang infrasturktur tidak menunjang.”
Kelima, mencari pengalaman. Tidak sedikit para pencari kerja di kota yang memiliki pengalaman kerja minim dari kampung dan juga latar belakang pendidikan yang rendah. Di kota, mereka lebih muda mengakses pengalaman dan keterampilan-keterampilan tertentu seperti mengikuti kursus.
Pertanian Mau ke Mana?
Berkurangnya anak muda yang bekerja di sektor pertanian dan tingginya angka migrasi menimbulkan sejumlah dampak berikut:
Pertama, tersisa petani generasi tua di kampung. Usia anak muda yang menjadi partisipan penelitian ini berkisar antara 17-30–an tahun. Hanya sebagian kecil yang berprofesi sebagai petani. Defisini petani yang dimaksudkan yaitu bertani membantu orang tua dan menjadi buruh upah harian. Jadi, bukan petani tulen yang mengarap lahannya sendiri. Rata-rata petani yang berusia diatas 50 an tahun yang masih aktif bekerja sebagai petani.
Kedua, banyak lahan kosong/ lahan tidur. Fenomena ini dijumpai hampir pada keluarga yang orang tuanya sudah tua dan anak-anaknya bermigrasi. Lahan yang sudah ditanami ditelantarkan dengan alasan tidak sanggup mengelolahnya lagi.
Ketiga, sulitnya mencari tenaga kerja laki-laki pada musim kerja. Ada pembagian jenis kerja antara perempuan dan laki-laki. Pada musim bajak misalnya, karena yang biasanya bekerja adalah laki-laki dan kondisi pekerja laki-laki sangat terbatas maka sebagian petani pekerja laki-laki didatangkan dari kampung lain. Ini salah satu solusi yang mereka bisa lakukan ketika tidak mendapatkan tenaga kerja. Ada fenomena perempuan juga merambah pekerjaan laki-laki.
Keempat, terputusnya rantai pengetahuan lintas generasi. Pengetahuan pertanian konvesional kemudian hanya menjadi milik generasi tua. Bukan hanya pengetahuan tentang pertanian, tetapi juga pengetahuan lain yang diwariskan secara turun-temurun seperti menenun, mengayam tikar dan keranjang (roka), juga membuat gedek (dinding bambu).
Kelima, secara nasional, terjadi krisis pangan, yang antara lain mendorong peningkatan impor setiap tahun.
Rekomendasi
Dari hasil penelitian ini, berikut beberapa rekomendasi:
Pertama, membangun balai pelatihan pertanian untuk anak muda.
Kedua, memberi modal kerja. Modal merupakan salah satu masalah besar yang dihadapi anak-anak muda untuk memulai usaha. Karena itu, pemerintah perlu membantu mereka dalam mengakses dana ke bank.
Solusi lain adalah bagian pertahanan membuat sertifikat tanah gratis untuk anak muda sehingga mereka bisa menggadaikan sertifikat tersebut dan mendapat dana dari bank.
Ketiga, analisis kebutuhan sebelum membuat program. Bantuan yang tidak tepat sasaran hanya menghambur-hamburkan uang negara di kampung-kampung. Contohnya adalah pemberian hand traktor untuk wilayah Cibal, yang topografinya sangat curam bukanlah susuatu yang tepat.
Keempat, perbaikan infrastruktur seperti jalan, listrik, air minum bersih. Kawaban yang paling banyak ditemukan selama proses wawancara di beberapa tempat menunjukan bahwa salah satu penyebab utama mengapa orang muda enggan untuk pulang kampung dan memilih kerja dikota-kota besar karena keterbatasan infratruktur.
Marselinus, salah satu yang kami wawancarai di Bali mengatakan, “Saya memiliki kemampuan yang sangat baik di bengkel kayu. Saya mau saja kerja di kampung sambil merawat kebun, tapi itu tidak mungkin. Di sana tidak ada listrik. Masa iya saya hanya tunggu musim panen kopi baru punya uang,”
Kelima, pemerintah perlu mengontrol pasar, demi memastikan agar harga barang-barang kebutuhan pertanian serta hasil pertanian benar-benar sesuai aturan.
Sebelumnya, tulisan ini dipublikasikan di Floresa.co. Kembali dimuat di sini untuk kepentingan edukasi.
***