Pulau Komodo akan Jadi Seperti di Afrika?

Sunspirit-Pemerintah akan merubah Pulau Komodo menjadi kawasan pariwisata eksklusif atau premium dengan mengambil model safari di Afrika. Hal itu diumumkan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan setelah rapat koordinasi yang melibatkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pariwisata dan Gubernur NTT beberapa waktu lalu di Jakarta (11/10/19). “Kita ingin menata Komodo menjadi tourist destination. Jadi seperti di Afrika ada tempat safari,” kata Luhut seperti dikutip berbagai media. Pemerintah mematok biaya sekitar 1000 USD untuk setiap pengunjung. Pengelolaanya diserahkan kepada investor dalam dan luar negeri. “Pulau Komodo ini akan dibikin eksklusif dengan research yang bagus, penginapan oke. Kalau mau ke situ, keluarinlah uang berapa banyak,” sambung Luhut.

Seperti apakah pengelolaan kawasan wisata dan konservasi di Afrika? Apa yang terjadi dengan satwa endemik Afrika dan ekosistemnya setelah dirubah menjadi kawasan wisata eksklusif? Bagaimana nasib masyarakat setempat? Tim litbang kami merangkum beberapa literatur akademik dan laporan lapangan mengenai situasi di Afrika. Berikut rangkumannya untuk Anda.

Pariwisata Eksklusif, Lingkungan dan Ekonomi Masyarakat Lokal

Pengembangan wisata esklusif pada Taman-taman Nasional di Afrika, menyebabkan begitu banyak bangunan yang didirikan di dalam Taman Nasional. Hal ini membawa dampak buruk, baik bagi ekosistem satwa liar maupun bagi keaslian bentangan alam.

Ngala Private Game Reserve, Pretoriouskop Camp, Jackalberry Lodge dan Sabi Sabi adalah empat perusahaan swasta yang mengembangkan wisata eksklusif dalam kawasan Taman Nasional Kruger Afrika Selatan. Keempat perusahaan ini mengembangkan wisata fotografi Safari sebagai inti bisnis mereka. Ngala Private Game Reserve menawarkan wisata eksklusif yang berbiaya tinggi dan sedikit pengunjung. Setiap wisatawan dibayar US$450 untuk setiap malam. Preterous Camp, terletak di bagian tenggara Taman Nasional Krude. Sekarang Preterous Camp telah menyiapkan 352 kamar yang ada dalam 136 Unit Akomodasi. Dalam camp-camp itu juga terdapat tempat untuk memasak, pondok-pondok dengan dapur dan kamar mandi yang pas, dan kamar mewah untuk tamu. Kisaran harganya adalah US$ 8 hingga $253). Sebagian besar wisatawan menyetir sendiri, sebagian juga perjalannnya diorganisir, ada juga bush berbeque. Jackalberry Lodge terletak di dalam lokasi Thornybush Game Reserve. Jackalberry Lodge menyiapkan 10 kamar yang kisaran harganya US$189 dan $223 dan mengoperasikan perjalanan wisata Safari. Manager Jackalberry Lodge juga kadang menjual paket berburu. Sabi Sabi Private Game Reserve yang terletak di Sabi Sand Wildtuin dan berbatasan langsung dengan Krude National Park mempuyai tiga lodges utama-Bush, Earth dan Saleti Lodges yang menawarkan pengalaman yang berbeda untuk para wisatawan. Sementara Mara Nature Reserve yang terletak di Kenya sekarang ini telah menyediakan 3000 tempat tidur untuk penginapan.

Hadirnya bangunan-bangunan, rute-rute kendaraan wisata safari di dalam Taman Nasional ini membawa dampak buruk bagi lingkungan alam, merusakkan habitat satwa liar, mengubah pola migrasi satwa liar serta merusak ekosistem tumbuhan.

Selain berdampak buruk bagi lingkungan, model pengembangan wisatawan eksklusif ini juga tidak membawa keuntungan ekonomi bagi komunitas setempat. Model pengembangan pariwisata dalam Taman Nasional di Afrika sering kali dikiritik, sebab menciptakan apa yang disebut dengan enclave tourism. Enclave tourism ini cenderung sangat tersentralisasi, di mana wisatawan hanya membayar perjalanan di dalam Taman serta hanya memanfaatkan fasilitas wisata yang ada dalam wilayah taman. Orang-orang Maasai di Kenya dan Tanzania tidak mendapatkan keuntungan dari pariwisata dalam Taman Nasional. Hal ini disebabkan oleh model pengembangan pariwisata dalam Taman Nasional yang memisahkan dengan tegas antara para turist dengan komunitas lokal. Di Taman Nasional Liwonde di Malawi, pembatasan antara wilayah Taman dengan masyarakat lokal, sangat membatasi interaksi antara masyarakat para wisatawan dengan masyarakat lokal.

Penyingkiran Penduduk Setempat

Pengelolaan wisata dalam Taman Nasional di Benua Afrika telah menyingkirkan penduduk setempat dari alam dan tanah mereka. Kehadiran Taman Nasional di Afrika Timur, menyebabkan orang-orang Suku Maasai kehilangan lahan untuk menggembalakan ternak. Sebelum Taman Nasional hadir di sana, orang-orang Maasai hidup sebagai masyarakat penggembala ternak yang tersebar dalam 12 wilayah geografis yang memenuhi sebagian wilayah negara Kenya dan Tanzania.[i] Setiap tahun, bersama dengan satwa-satwa liar di sekitar, penduduk Maasai ini bermigrasi secara alamiah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk dapat bertahan hidup.

Kehadiran Taman Nasional di Kenya dan Tanzania sejak tahun 1945 merupakan babak baru bagi kehidupan orang Maasai. Oleh otoritas setempat, Taman-taman Nasional itu diputuskan untuk dibangun di atas area pengembalaan ternak orang-orang Maasai di Nairobi, Amboseli, Maasai Mara, Serengeti, Ngorongoro, dan Danau Manyara. Lahan untuk menggembalakan ternak pun makin terbatas dan sebagian penduduk Maasai mulai beralih mata pencaharian menjadi petani.

Situasi kian bertambah rumit ketika setiap tahun otoritas setempat makin memperluas area kawasan Taman Nasional. Pada tahun 2009, kurang lebih 1500 km2 tanah-tanah orang Maasai yang diambil secara paksa, tanpa kompensasi sedikit pun dari pemerintah, untuk dikembangkan menjadi area wisata eksklusif. Dua ratus rumah warga dibakar yang menyebabkan lebih dari 3000 penduduk Maasai kehilangan tempat tinggal.[ii] Pada Agustus 2017, konflik kembali terjadi, yang dipicu oleh keputusan otoritas setempat mengeluarkan perintah untuk memindahkan semua ternak orang-orang Maasai dari zona penyanggah Taman Nasional Serengeti. Dalam tempo lima hari, ratusan rumah orang Maasai dibakar yang menyebabkan kurang lebih 350 orang kehilangan tempat tinggal.[iii] Di atas lahan-lahan ini, pemerintah mendirikan Taman Nasional bersama fasilitas pendukung seperti jalan, infrastruktur, pondok-pondok penginapan bagi wisatawan.

Situasi yang serupa juga terjadi di Taman-taman Nasional di negara-negara lain di Benua Afrika. Di wilayah negara Uganda Utara, kehadiran Taman Nasional Kidepo secara perlahan menghilangkan peradaban penduduk asli suku Ik dari alam dan tanah mereka. Hal yang sama juga terjadi di Kamerun Tenggara, yaitu kehadiran Taman Nasional Nki yang menyingkirkan penduduk asli setempat. Atas nama konservasi dan pariwisata, kehadiran Taman Nasional di Botswana juga menyebabkan banyak dari penduduk setempat yang mendapat perlakuan kejam dan dilecehkan.

Penurunan Populasi Satwa Liar

Selain menyingkirkan penduduk setempat, Taman Nasional di Afrika juga menyebabkan penurunan populasi satwa liar. Berdasarkan laporan Patrick Adam, seorang wartawan yang meliput tentang Taman-taman Nasional di Afrika, antara rentang waktu 1970 hingga 2005, populasi beberapa spesies mamalia besar seperti singa, zebra, gajah, dan jerapah mengalami penurunan kurang lebih 59% pada Taman-taman Nasional di Afrika.[iv] Sementara di Tanzania populasi Gajah menurun hingga 53%, dari 109,000 ekor pada tahun 2009 menjadi hanya 51.000 ekor pada tahun 2015.[v]

Sistem konservasi melalui Taman Nasional di Afrika secara derastis mengubah pola migrasi alami tahunan dari satwa liar. Hidup serba terbatas dalam enclave Taman Nasional, menyebabkan satwa-satwa liar itu tidak lagi dapat berpindah tempat secara alami untuk mencari mencari makan. Krisis makanan pada musim-musim tertentu, menyebabkan banyak dari satwa liar itu yang mati. Sementara itu, efek kehadiran Taman Nasional yang memisahkan secara tegas antara antara wilayah konservasi dengan pemukiman penduduk setempat, telah menciptakan permusuhan antara penduduk setempat dengan satwa liar. Di Tanzania, pemisahan ini membuat area-area Taman Nasional tampak seperti Pulau kecil di tengah lautan populasi penduduk Maasai. Alhasil, meski dipaksa untuk hidup dalam enclave Taman Nasional, banyak dari satwa liar itu yang mencari makan di area penggembalaan ternak dan pertanian masyarakat suku Maasai. Akibatnya banyak dari satwa liar tersebut yang mati dibunuh oleh para peternak dan petani.

Selain itu, penurunan populasi satwa liar pada Taman-taman Nasional di Afrika juga disebabkan oleh pilihan pengembangan destinasi wisata safari berburu dalam Taman Nasional. Pada tahun 2015 yang lalu, publik dunia digemparkan oleh kejadian seekor singa yang mati ditembak oleh wisatawan asal Amerika di Taman Nasional di Zimbabwe. Sementara itu, di Bostwana, berdasarkan data yang dirilis oleh sebuah NGO, Elephant Without Borders (EWB) pada tahun 2011, aktivitas wisata safari berburu menyebabkan penurunan popupasi 11 spesies satwa liar hingga mencapai 61 %. Jumlah itu termasuk populasi burung unta yang mengalami penurunan sekitar 95 %, rusa kutub 90 %, kijang Afrika 84 %, Babi Hutan 81 % dan Zerapah 66 %.[vi] Sedangkan di Afrika Selatan pada tahun 2006, terdapat kurang lebih 54,000 ribu binatang yang mati akibat diburu secara legal melalui aktivitas wisata berburu.[vii]

Di tengah problem seperti ini, otoritas setempat memilih untuk mendatangkan organisasi filantropis dari Amerika. Kehadiran organisasi Filantropis ini mengubah manajemen pengelolaan beberapa Taman Nasional di Afrika dari yang sebelumnya hanya ditangani secara eksklusif oleh negara, ke dalam model manajemen kolaboratif yang melibatkan pihak swasta. American Prairie Reserve adalah salah satu organisasi Filantrofi Amerika Serikat yang mendanai konservasi di Afrika. Ada juga Tompkins Conservation, sebuah grup yang dibiayai oleh Filantropist terkenal asal Amerika Kristine McDivitt Tompkins. Bersama suaminya, Douglas, Kristine McDivitt Tompkins telah membuka taman Nasional di negara lain seperti Chile dan Argentina. Di sini bisnis filantropi berfungsi untuk mengatasi krisis sosial dan ekogis dari model pengembangan konservasi dan turisme yang destruktif. Akar masalahnya tidak ditangani.

Akan seperti itukah nasib Komodo, Orang Komodo, dan seluruh ekosistem alam dan manusianya? Ke mana arah konservasi dan pariwisata di NTT pada umumnya?

Tim Peneliti Sunspirit for Justice and Peace dan Litbang Floresa.co

[i] https://www.culturalsurvival.org/publications/cultural-survival-quarterly/maasai-dilemma

[ii] https://www.theguardian.com/global-development/2016/aug/28/exiles-human-cost-of-conservation-indigenous-peoples-eco-tourism

[iii] https://www.iwgia.org/en/news/3252-indigenous-peoples-livelihood-threatened-tanzania

[iv] https://www.nytimes.com/2019/02/20/opinion/africa-national-parks.html

[v] https://www.thetravelspecialists.net.au/impact-of-wildlife-tourism-in-africa/

[vi] Joseph E. Mbaiwa, “Effects of the safari hunting tourism ban on rural livelihoods and wildlife conservation in Northern Botswana” South African Geographical Journal, 2018 VOL . 100, NO . 1, 41–61.

[vii] https://www.bookallsafaris.com/news/impact-ecotourism-african-wildlife

Publikasi Lainnya