Kesimpangsiuran skenario Pemerintah mengelola kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) kini memasuki babak baru. Sebelumnya Pemerintah Provinsi merencanakan penutupan Pulau Komodo untuk turis selama setahun dengan alasan penataan dan memindahkan penduduk setempat dengan alasan konservasi. Sementara itu Pemerintah Pusat mengeluarkan izin usaha pariwisata alam di dalam kawasan konservasi yang memberi karpet merah kepada korporasi untuk beroperasi di dalam TNK. Penolakan keras dari masyarakat serta pegiat lingkungan dan hak asasi manusia membuat pemerintah merubah taktik komunikasi publik. Rapat Koordinasi yang melibatkan berbagai kementrian di bawah komando Menko Kemaritiman dan Pemerintah Pronvinsi NTT pada tanggal 30 September 2019 memutuskan bahwa Pulau Komodo tidak jadi ditutup dan rencana pemindahan penduduk dibatalkan. Sebagai gantinya, Pemerintah Pusat dan Provinsi akan sama-sama melakukan apa yang disebut “penataan bersama”.
Yang dimaksud dengan penataan persama ini masih sumir. Namun, satu hal yang jelas sejak awal dan tidak pernah berubah. Yaitu bahwa Pemerintah hendak menyerahkan kawasan Taman Nasional Komodo kepada pihak swasta untuk dikelola sebagai kawasan investasi pariwisata.
Utak-atik Kebijakan terkait Kawasan Komodo
Sejak Pemerintahan Joko Widodo memutuskan Labuan Bajo sebagai salah satu dari “10 Bali Baru” serta “4 Destinasi Super-prioritas”, Pemerintah tampaknya hendak merubah model pengelolaan Taman Nasional Komodo dari kawasan konservasi satwa langka Komodo dan ekosistemnya menjadi lahan investasi pariwisata. Kalau selama ini Balai Nasional Taman Nasional Komodo (BTNK) berada di garda depan konservasi dan pariwisata, kini Pemerintah hendak membawa investor masuk ke dalam kawasan konservasi kebanggaan warga NTT ini.
Bersamaan dengan proses pengurusan izin kepada sejumlah perusahaan pariwisata alam, Pemerintah melalui Gubernur NTT mengumumkan penutupan Pulau Komodo dan relokasi warga kampung Komodo keluar kawasan. Dasar hukum pemberian izin itu adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.8/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2019 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam. Selain itu Pemerintahan Joko Widodo melakukan perubahan zonase dengan menjadikan Kawasan TNK dan sekitarnya sebagai Kawasan Strategis Nasional. Saat ini Draft Perpres sudah disiapkan, namun belum ditetapkan. Kedua perangkat aturan ini menjadi landasan investasi di dalam Taman Nasional Komodo dan sekitarnya.
Sambil membawa masuk sejumlah perusahaan swasta untuk membukan resort/hotel dan sarana wisata lain ke dalam kawasan konservasi Komodo, Pemerintah justru berencana merelokasi warga.
“Kami juga mau agar tidak ada manusia yang tinggal di Pulau Komodo. Mereka yang sekarang tinggal di sana akan kami pindahkan ke Pulau Rinca atau Pulau Padar,” kata Laiskodat (Kompas.com 22/05/2019).
Pemerintah melalui Gubernur Laiskodat juga menyebut warga Pulau Komodo sebagai penduduk liar. Sementara Presiden Joko Widodo dalam kunjungannya ke Flores pada 10-11 Juli 2019 menyatakan dukungan atas rencana gubernur NTT ini.
Rencana Pemerintah ini mendapat perlawanan masyarakat. Selain aksi demonstrasi di Labuan Bajo Flores, perwakilan masyarakat dengan didukung koalisi masyarakat sipil lokal dan nasional mengunjungi Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kantor Staf Presiden (KSP) di Jakarta. Kelompok pro-lingkungan dan hak asasi manusia juga melancarkan kampanye online #savekomodo.
Menanggapi gelombang perlawanan masyarakat, KLHK membentuk tim terpadu mengkaji pengelolaan Komodo. Pada pertengahan Agustus, tim ini berkunjung ke Labuan Bajo dan Pulau Komodo. Menghadapi tim itu, warga Komodo menyampaikan enam tuntutan, antara lain menuntut pengakuan hak argaria mereka. Mereka juga menyatakan penolakan terhadap pemberian izin kepada perusahaan swasta untuk membuka hotel dan resort di dalam kawasan konservasi taman nasional komodo.
Menghadapi perlawanan yang sengit seperti itu, Pemerintah akhirnya mengurungkan niat untuk menutup Pulau Komodo dan memindahkan warga. Sebagai gantinya, Pemerintah mengumumkan skenario baru yang disebut “penataan bersama”.
Ada Apa Di Balik “Penataan Bersama”?
Menurut penjelasan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, penataan bersama ini melibatkan pemerintah Pusat dan Daerah.
“Yang akan dilakukan ialah penataan dalam kewenangan congruent , bersama antara pemerintah (Kementerian Lingkungan Hiduo dan Kehutanan) dan Pemda NTT. Tujuannya untuk kepastian usaha, livelihood masyarakat, konservasi satwa komodo, world class wisata serta investasi,” ( https://mediaindonesia.com/read/detail/262585-menteri-lhk-sepakatpulau-komodo-tak-ditutup-tapi-ditata-bersama)
Sementara itu Menko Kemaritiman Luhut Panjaitan mengatakan bahwa penataan Pulau Komodo akan melibatkan pihak swasta. Bukan hanya pengusaha dalam negeri, Luhut bahkan mengaku sudah mendekati investor dari Amerika. Dalam pengelolaan pihak swasta itu, Pulau Komodo akan menjadi kawasan wisata ekslusif dengan tiket masuk yang tinggi.
“Kita akan tenderkan. Semua yang peduli lingkungan kita akan ditawarkan. Perusahaan A atau dari filontropis B. Misalnya beli tiketnya 1000 dolar (per tiket) kita siapkan 50.000, idenya Pak Gubernur (NTT) itu 50 juta dolar sudah bisa pemeliharaan Pulau Komodo jadi world heritage,” kata Jendreal Purnawiraan Kopasus sekaligus pemilik belasan perusahaan itu (https://www.cnbcindonesia.com/news/20191002211918-4-104019/kelola-pulau-komodo-luhut-mau-gandeng-operator-asing)
Dari pernyataan dua pejabat tinggi itu, tampak terang benderang bahwa Pemerintah sedang membuka kawasan Taman Nasional Komodo menjadi lahan investasi pariwisata yang pengelolaannya diserahkan kepada investor. Setidaknya sudah ada dua perusahaan yang diberikan izin oleh Pemerintah untuk membuka usaha wisata di dalam kawasan TNK, sejumlah perusahaan lain sedang diurus prosesnya. Itu belum termasuk perusahaan asing yang disebut Menteri Luhut.
Artinya, yang berubah dari skenario Pemerintah hanyalah pembatalan relokasi warga kampung Komodo; sementara rencana investasi di dalam kawasan konservasi tetap jalan terus di bawah jargon “penataan bersama”.
Ancaman Serius Bagi Ekosistem Komodo
Selain harus diperiksa logika-logika dalam pernyataan para pejabatnya, Pemerintah juga harus diuji di hadapan prinsip-prinsip konservasi dan keadilan sosial. Jika Pulau Komodo hendak ditata sebagai world heritage seperti kata Menteri Luhut Panjaitan (by the way, lengkapnya adalah man and biophere heritage), mengapa cara yang dipakai adalah memasukkan perusahaan-perusahaan wisata (kendati dibungkus dengan wisata-alam atau eco-tourism)? Kalau penataan bersama adalah penataan dalam kewenangan kongruen antara KLHK dan Pemda NTT seperti kata Menteri Siti Nurbaya, mengapa diserahkan kepada pihak swasta? Mengapa pula “penataan bersama” ini tidak mengatur secara eksplisit penataan bersama masyarakat setempat? Dan mengapa pemerintah justru tidak mengoptimalkan peran Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) sebagai institutsi negara yang bertanggunjawab atas Taman Nasional Komodo?
Selain itu, apa sebenarnya urgensi merubah kawasan konservasi menjadi kawasan tempat dibangunnya resort dan hotel? Sudahkah Pemerintah melakukan analisis dampak investasi bagi kelangsungan hidup (survival) Komodo dan habitatnya? Kalau sudah, mana kajian itu dan apa hasilnya? Apakah tidak cukup membuka hotel dan resort di sekitar kawasan konservasi TNK, dan membiarkan ekosistem Komodo lestari tanpa pembangunan sarana wisata alam para investor?
Dalam kebijakan Pemerintah terkait Komodo sekarang ini, eksistensi satwa langka Komodo dan ekosistemnya sedang dipertaruhkan. Dan rakyat Indonesia sedang menyaksikan apakah Pemerintahan Joko Widodo ini sungguh-sungguh dimotivasi oleh komitment menjaga keberlangsungan hidup Komodo dan ekosistem alaminya serta didorong oleh niat baik meningkatkan kesejahteraan masyarakat NTT ataukah sedang dirasuki kekuasaan oligarki.
Tim Peneliti Sunspirit for Justice and Peace