The time has come – and it is indeed high time – to debunk the ‘development’ buzzword. To do so means that we must define it properly – relying on actual social practices, rather than wishful thinking. We must be aware of its inclusion in a corpus of beliefs that are difficult to shatter, expose its mischievous uses, and denounce its consequences. (Rist, 2007)
Atas nama percepatan pembangunan pariwisata, Presiden Jokowi melalui pihak Kementrian Pariwisata membentuk Badan Otorita Pariwisata (BOP) pada 10 destinasi prioritas di Indonesia. Kesepuluh detinasi itu antara lain Danau Toba, Tanjung Kelayang di Bangka Belitung, Tanjung Lesung di Banten, Kepulauan Seribu, Candi Borobudur dan sekitarnya, Gunung Bromo, Mandalika di Lombok, Pulau Komodo dan Labuan Bajo, Pulau Wakatobi, dan Pulau Morotai.[1]
Pemilihan Labuan Bajo yang terletak di Kabupaten Manggarai Barat – NTT sebagai salah satu area target BOP tentu tidak lepas dari prestasi destinasi itu menjadi ikon pariwisata dunia saat ini. Mulai dari meroketnya pamor Varanus Komodoensis yang telah terbilang sebagai the new seven wonders sejak tahun 2012, ajang Sail Komodo pada tahun 2013, hingga penetapan Labuan Bajo sebagai salah satu destinasi prioritas secara nasional pada 2017 yang lalu. Dilatarbelakangi oleh situasi-situasi ini, Pemerintah Pusat melalui Perpres No. 32 tahun 2018, merasa perlu menghadirkan BOP dalam rangka percepatan pembangunan pariwisata di Labuan Bajo – Flores.[2]
Meski atas nama percepatan pembangunan pariwisata, publik Labuan Bajo – Flores bukan tidak punya alasan untuk tidak saja mempertanyakan desain pembangunan pariwisata melalui BOP, bahkan lebih dari itu, klaim kehadiran BOP sebagai jawaban atas problem pembangunan pariwisata di daerah itu.
Sebagai sebuah kebijakan pembangunan, pertanyaan yang perlu disodorkan ialah, “Benarkah BOP adalah resep yang tepat bagi problem pembangunan pariwisata di Labuan Bajo – Flores?”
Pertanyaan pokok di atas menurunkan sederet pertanyaan lain berikut. Mengapa perlu dibentuk badan khusus dalam rangka percepatan pembangunan pariwisata di Labuan Bajo – Flores? Di mana porsi bagi ruang Otonomi Daerah Kabupaten Manggarai Barat untuk menentukan arah pembangunan di wilayah kedaulatannya sendiri? Bagaimana pula BOP membangun koordinasi dengan Pemerintah Daerah dalam mengurus pariwisata di Manggarai Barat? Di mana ruang bagi DPRD setempat sebagai wakil rakyat dalam tata kelembagaan BOP? Desain pembangunan pariwisata seperti apa yang bakal ditawarkan oleh BOP?
Sepanjang tidak mengubah bentuk-bentuk ketimpangan relasi kuasa, alih-alih mempercepat pembangunan pariwisata di Labuan Bajo – Flores, BOP dikhawatirkan justru memperparah ketidakadilan struktur ekonomi-politik yang sudah sekian lama terkondisikan oleh pembangunan pariwisata di daerah itu. Inilah yang disebut oleh para penstudi sebagai fenomena depolitisasi dalam pembangunan (Ferguson, 1994; Li, 2007).
Persis dalam kerangka cara pandang ini, membandingkan Perpres BOP No. 32 tahun 2018 dengan situasi riil ekonomi-politik pariwisata di Labuan Bajo – Flores; alih-alih berdalih dalam rangka percepatan pembangunan pariwisata di Manggarai Barat, BOP justru menampakkan problem yang amat fundamental dalam perspektif tata kelola pembangunan arus utama selama ini, yang dengan jelas mengabaikan dimensi politik dan relasi kuasa dalam cara memandang pembangunan.
Pemerintah Pusat vs Pemerintah Daerah
Menarik memang, untuk mengangkat ke permukaan timpangnya relasi kuasa antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menentukan pembangunan pariwisata di Labuan Bajo hari ini. Bahwasannya, sekalipun melalui UU Otonomi Daerah, setiap daerah di Indonesia berwewenang menentukan arah pembangunan di wilayahnya sendiri. Situasi di Labuan Bajo dalam banyak hal justru mempertunjukkan kenyataan sebaliknya. Dominasi Pemerintah Pusat terlampau kuat dalam menentukan kebijakan pembangunan pariwisata di daerah itu.
Situasi ini membuat pada satu sisi, pembangunan pariwisata di Labuan Bajo menjadi arena eksklusif kaum cerdik-pandai atau teknokrat yang bersarang di berbagai Kementerian. Pada sisi yang lain, proses-proses demokratik-partisipatif dalam rangka menentukan kebijakan pembangunan di level daerah Kabupaten Manggarai Barat terkesan dianggap tidak perlu.
Sudah menjadi semacam fenomena yang lumrah bahwa hampir setiap bulan, di hotel-hotel di Kota Labuan Bajo berlangsung banyak kegiatan sosialisasi program-program pembangunan pariwisata dari berbagai Kementerian. Dirumuskan langsung oleh pihak Kementerian, yang dikemas dalam jargon juklak (petunjuk pelaksana) dan juknis (petunjuk teknis), program-program ini dalam banyak hal tidak relevan dengan situasi riil pembangunan pariwisata di Kabupaten Manggarai Barat. Tak jarang, banyak dari program tersebut berujung kisruh dan menuai protes publik.
Jika diselisik jauh ke belakang, cengkeraman Pemerintah Pusat atas pariwisata di Labuan Bajo tampak begitu berurat akar dengan hadirnya Taman Nasional Komodo (TNK) di daerah itu sejak tahun 1980-an.
Buntutnya, meski sekarang ini TNK merupakan magnet utama pariwisata di Labuan Bajo dan tiap tahun makin meransang insentif ekonomi yang kian menjanjikan, porsi ruang intervensi yang amat kecil bagi Pemerintah Daerah, membuat Pemerintah Kabupaten Pemerintah Manggarai Barat tidak mampu mengkapitalisai posisi strategis itu dalam rangka memberdayakan masyarakat melalui sektor pariwisata.
Terbukti bahwa dalam beberapa tahun belakangan ini, meski terus didengungkan sebagai kawasan konservasi, magnet pariwisata dalam area yang menjadi habitat Varanus Komodoensis itu justru menjadi gelanggang eksklusif bagi para investor pemburu dolar. Sementara itu, Pemerintah Daerah hanya kebagian 5% dari tiket masuk (entrance fee) TNK. Pada saat yang sama pula, kondisi masyarakat tiga desa dalam kawasan (Pasir Panjang, Papagarang, dan Komodo) kian terpuruk, terpinggirkan di tengah gemerlap pariwisata yang dibungkus dalam agenda konservasi.[3]
Sementara itu, tidak ingin terkesan tidak berbuat apa-apa, pembangunan pariwisata di bawah kendali Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Barat sepenuhnya terkonsentrasi di Kota Labuan Bajo sebagai penyanggah utama denyut pariwisata dalam kawasan TNK. Buntutnya, pariwisata di Labuan Bajo tampak menampilkan dua sisi yang sangat kontras. Geliat pembangunan infrastruktur yang kian masif di Kota Labuan Bajo pada satu sisi, dan tidak terhubungnya komunitas-komunitas masyarakat di desa-desa sekitar Labuan Bajo dengan dinamika pariwisata di kota itu di sisi yang sisa.
Kendati pada satu sisi situasi ini juga menggambarkan disorientasi pembangunan pada level daerah, pada sisi yang lain, hal ini juga sebenarnya kuat menggambarkan sempitnya ruang gerak Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Barat dalam menentukan agenda pembangunan pariwisata di wilayah kedaulatannya sendiri. Dominasi Pemerintah Pusat terlampau kuat.
Sadar akan timpangnya relasi kuasa ini, dalam dua tahun belakangan ini publik di Labuan Bajo secara konsisten melawan sejumlah sentralisasi kebijakan pembangunan pariwisata di kota itu. Mulai dari penolakan warga atas pembangunan rest area di Pulau Rinca dan Padar dalam kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) pada medio 2018, penolakan Askawi (Asosiasi Kapal Wisata) Labuan Bajo atas hadirnya feri ASDP yang disinyalir bakal merebut rute destinasi kapal wisata orang lokal di Labuan Bajo, hingga yang teranyar, wacana penutupan Pulau Komodo yang keputusannya masih menggantung hingga kini.
Lantas, di tengah timpangnya relasi kuasa ini, Pemerintah Pusat justru membentuk Badan Otorita sebagai solusi mujarab atas problem pembangunan pariwisata di Labuan Bajo – Flores. Dengan demikian, alih-alih mempercepat pembangunan pariwisata di daerah itu, BOP malah ditakutkan bakal memperlemah otonomi Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Barat untuk secara otonomi menempuh jalur-jalur yang demokratik-partisipatif dalam menentukan arah pembangunan pariwisata di kota itu.
Tanpa perlu penafsiran yang mendalam, membolak-balik pasal-pasal dalam Perpres No. 32 tahun 2018 tetang BOP Labuan Bajo, tanda-tanda dominasi Pemerintah Pusat dalam rangka menentukan pembangunan pariwisata di Manggarai Barat dipertunjukkan dengan begitu gamblang. Bahwasannya, BOP yang dibentuk langsung oleh Presiden melalui Perpres yang berkoordinasi langsung dengan Kementerian, tentu mempunyai daya jelajah wewenang yang bakal melampaui batas wilayah administrasi sebuah kabupaten.
Berkaca pada situasi ini, bukankah BOP bakal mewarisi karma TNK di Kabupaten Manggarai Barat? Bahkan, BOP bakal lebih sadis lagi dari TNK. Sebab, tidak seperti TNK yang masih menggendong tujuan konservasi, BOP memusatkan seluruh perhatiannya pada agenda pertumbuhan ekonomi.
Yakin saja, jika hal ini tidak kita sikapi secara serius, di hari-hari yang akan datang, kita bakal mendengarkan lebih banyak lagi pejabat publik yang berujar,
“Ya, kami ini tidak tahu apa-apa, tugas kita kan hanya memberikan rekomendasi saja. Sebab segala urusan perizinan terkait usaha bisnis pariwisata ini semuanya telah berlangsung di Kementerian. Kita bisa apa, coba?”
Ketidaksanggupan Pemerintah Daerah?
Apakah Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat tidak sanggup mengurus pariwasata di daerah itu hingga harus menghadirkan BOP? Klaim ketidaksanggupan Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat konon merupakan salah satu alasan mendasar di balik hadirnya BOP di Labuan Bajo – FLores.
Lantas, seperti apa persisnya ketidaksanggupan Pemerintah Daerah yang dimaksudkan oleh BOP?
Pada tataran praksis, mesti diakui bahwa APBD Kabupaten Manggarai Barat yang kurang-lebih berjumlah 1 T, tentu sangat tidak cukup untuk mendongkrak pembangunan pariwisata di daerah yang pada tahun 2017 lalu, ditetapkan sebagai salah satu destinasi prioritas secara nasional itu. Predikat ini tentu membawa konsekuensi pada kebutuhan jumlah anggaran yang tidak sedikit. Belum lagi bicara soal kenyataan jumlah APBD yang sedikit itu, didukung pula oleh Sumber Daya Manusia birokrasi yang tidak memadai.
Inikah yang dimaksudkan dengan ketidaksanggupan Pemerintah Daerah?
Cara pandang ini tentu saja tidak salah. Sebab, keberhasilan pembangunan juga besar ditentukan oleh kesanggupan birokrasi baik secara anggaran maupun sumber daya sebagai motor penggerak utama pembangunan. Akan tetapi, pandangan ini terlampau sederhana, dan bisa saja terjebak pada reduksi teknikalisasi permasalahan (Li, 2007) dalam memahami problem pembangunan.
Konteks pembangunan pariwisata di Manggarai Barat justru memperlihatkan faktor lain yang lebih struktural sebagai akar masalah. Damanik (2016) membuktikan bahwa kurangnya koordinasi lintas stakeholder atau iklim kerja ego sektoral merupakan salah satu faktor penting penghambat pembangunan pariwisata di kabupaten itu. Penelitian-penelitian lain yang dilakukan oleh Maribet Erb (2015) juga memperlihatkan sandera elite capture sebagai faktor struktural lain yang menghambat pembangunan pariwisata di Kabupaten Manggarai Barat.
Sementara itu, menyalahkan pragmatisme birokrat atas situasi itu bukan pula menjadi disposisi yang benar. Dalam kaca mata pembangunan dan demokrasi, situasi ini sebenarnya kuat bercerita soal tidak tersambungnya agenda kerja representasi di level DPRD, yang ditopang oleh tidak terkonsolidasinya segenap elemen pelaku pariwisata (guide, biro perjalanan, kapal wisata, homestay, desa wisata, petani, peternak) sebagai kelompok asosiasional yang berbasis kepentingan, kian membuat agenda pembangunan pariwisata di Kabupaten Manggarai Barat berjalan tanpa orientasi yang jelas dan terukur.
Fenomena elite capture persis bertumbuh subur di tengah disorientasi pembangunan macam ini.
Fakta di lapangan menunjukkan kebenaran tesis ini. Bahwasannya, kendati secara retoris pembangunan sejatinya merupakan urusan publik, jumlah Perda Pariwisata yang menggambarkan pertarungan riil kepentingan di tengah masyarakat di Kabupaten Manggarai Barat masih terbilang minim. Sejauh ini tercatat baru ada dua Perda yang menyentuh khusus soal pariwisata, yaitu No. 3 tahun 2014 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Kabupaten Manggarai Barat tahun 2014-2025 dan Perda No. 4 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Kepariwisataan di Kabupaten Manggarai Barat.
Padahal, masih banyak kepentingan para pelaku wisata yang membutuhkan sentuhan Perda. Persaingan peternak dan petani lokal versus produk pertaian dan pertenakan dari luar, potensi pariwisata budaya yang belum tergali, persaingan penguasa kapal lokal versus penguasa kapal asing, merupakan setumpuk persoalan yang membutuhkan sentuhan Perda.
Menariknya lagi, di tengah situasi ini, tanggapan para pelaku wisata di Labuan Bajo terhadap berbagai persoalan wisata selama ini justru tidak cukup paradigmatik. Mulai dari mengkapling persoalan pariwisata sebagai isu-isu yang seolah tidak tehubung satu sama lain, hingga kecenderungan para pelaku wisata yang hanya mau mengamankan kepentingannya masing-masing.
Lantas, karakter BOP sebagai badan teknis yang dibentuk oleh Presiden beserta jajaran direksi yang ditunjuk langsung tanpa melewati prosedur demokratis, hampir pasti bakal menawarkan solusi yang bersifat tekno-politik atas problem pembangunan pariwisata di Labuan Bajo – Flores. Problem pembangunan menjadi arena eksklusif para ahli pembangunan. Salah satunya mengunci problem pembangunan di Manggarai Barat semata pada soal ketidakmampuan anggaran dan rendahnya sumber daya birokrasi Pemerintah Daerah setempat.
Dengan kehadiran BOP, kita seolah sedang disuguhkan sebuah keanehan bahwa meski pembangunan pada galibnya merupakan suatu hal yang bersifat publik-politis, arena atau proses, di dalamnya ada keputusan terkait pembangunan, justru diambil oleh lembaga teknis yang bakal tidak menempuh jalur-jalur demokratis dalam mengambil keputusan.
Infrastruktur dan Penetrasi Kapital
Geliat pariwisata di daerah Santiago – Chile beberapa tahun belakangan ini menunjukkan prestasi yang sangat luar biasa. Ketika diselisik, ternyata perkembangan ini diraih berkat kerja Badan Otorita Pariwisata di Negara itu yang mengemban tugas utama membentuk makin banyak image destinasi hingga melakukan promosi yang masif ke luar negeri.
Menariknya, BOP Labuan Bajo justru memiliki agenda kerja yang sangat berbeda dengan badan serupa di Chile. Di bawah arahan BOP, pembangunan pariwisata di Labuan Bajo lebih diarahkan pada pembangunan infrastruktur. Hingga sekarang ini, beberapa megaproyek infrastruktur telah hadir di Labuan Bajo, seperti marina, PLN Rangko, perluasan bandara, proyek air, perbaikan pelabuhan, dan pembangunan jalan baru yang membuka isolasi di pesisir utara Kabupaten Manggarai Barat.
Proyek infrastruktur ini diprediksi bakal kian masif ke depan, sebab atas legitimasi Perpres No. 32 tahun 2018, BOP menguasai basis material berupa lahan paling sedikit seluas 400 hektare di sekitar area Kota Labuan Bajo.
Tanpa menyinggung soal ekonomi-politik dari pembangunan infrastruktur tersebut, kita barangkali menganggapnya sekadar intervensi teknis. Lantas, lupa akan sifat politis dari setiap pembangunan infrastruktur yang ada. Karena itu, kita sepatutnya bertanya, siapa yang bakal lebih diuntungkan dari gelontoran pembangunan insfratruktur tersebut?
Kenyataan memperlihatkan bahwa pembangunan infrastruktur yang berpusat di Kota Labuan Bajo seperti proyek air, revitalisasi Bandara Komodo, bangunan marina, justru lebih banyak melayani bisnis-bisnis pariwisata daripara pemodal. Sudah menjadi semacam rahasia umum bahwa layanan air di Kota Labuan Bajo lebih mengutamakan bisnis hotel ketimbang kebutuhan air bersih masyarakat (Cole, 2017). Revitalisasi bandara dan bangunan marina di Labuan Bajo juga disinyalir cenderung memfasilitasi penetrasi kapital untuk makin masif menguasai kota itu. Investor makin berjaya, masyarakat lokal kian terpinggirkan. Sementara itu, alih-alih membuka isolasi, pembangunan jalan raya di pesisir utara Pulau Flores justru makin memperlancar penjualan tanah secara besar-besaran di daerah itu. Bukan lagi sekadar isu, penguasaan tanah oleh pihak luar sudah menjadi kenyataan yang meresahkan masyarakat Flores sekarang ini.
Pada saat yang sama, model-model pengembangan pariwisata berciri pemberdayaan seperti desa-desa wisata hampir tidak disentuh. Sekadar diingat, sejauh ini baru terdapat dua desa (Liang Ndara dan Tado) yang terletak di sebelah timur Kota Labuan Bajo yang secara serius digarap sebagai desa wisata. Itu pun inisiatif macam ini bukan datang dari pihak pemerintah, tetapi justru dari lembaga lain seperti NGO.
Dengan demikian, alih-alih memberdayakan masyarakat lokal, pembangunan infrastruktur yang menjadi target utama pembangunan pariwisata melalui BOP justru akan memfasilitas penetrasi kapital masuk ke dareah itu. Orang lokal bak menjadi perantau di tanahnya sendiri.
Karena itu, baiklah kita memahami maksud Gilbert Rist (2007), bahwasannya, segala bentuk jargon atau buzzword pembangunan perlu disingkap, membenturkanya dengan situasi riil ekonomi-politik setempat. Menyorot timpangnya relasi kuasa dalam pembangunan pariwisata di Manggarai Barat membuat kita perlu hati-hati, lantas mempertanyakan hingga ke akar-akar, tidak saja desain pembangunan pariwisata yang digagas oleh BOP, tetapi juga eksistensi lembaga itu secara keseluruhan bagi pembangunan pariwisata di Labuan Bajo – Flores.
Venansius Haryanto***
[1] https://bisnis.tempo.co/read/731335/badan-otoritas-pariwisata-akan-kelola-10-destinasi-wisata/full&view=ok.
[2] Perpres terkait BOP Labuan Bajo – Flores bisa di-download melalui situs ini: https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/77913/perpres-no-32-tahun-2018.
[3] Narasi masyarakat dalam kawasan, sebagiannya dapat dilihat dalamhttps://sunspiritforjusticeandpeace.org/2018/07/21/narasi-narasi-dari-rinca-kawasan-taman-nasional-komodo/ dan hasil penelitian lain dari Sunspirit dalam https://sunspiritforjusticeandpeace.org/ Artikel ini sudah pernah dipublikasikan di Horizondipantara.com. Kembali dimuat di sini untuk kepentingan pendidikan.